Kekuatan Finansial (Quwwatul Maal), Bagian ke-4

Share to :

Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah

C. Jihad Harta Upaya Perimbangan Dalam Menghadapi Musuh Dakwah

التوازن في مواجهة الاعداء

alhikmah.ac.id – Sebagaimana telah diterangkan terdahulu, jihad dengan harta merupakan jihad yang melengkapi bentuk jihad lainnya. Dengan demikian, segala bentuk jihad Islam pasti memerlukan jihad harta ini. Di sinilah peranannya yang sangat vital untuk mensukseskan misi-misi jihad lainnya. Tanpa ditunjang harta, jihad lainnya akan terhambat ataupun tidak mustahil menemui kegagalan.

Dr. Said Hawwa dalam bukunya Jundullah menulis tentang jihad harta ini,

“Sebenarnya jihad dengan harta (jihad bil-mal) ini merupakan bagian vital dari jihad-jihad yang lain. Risalah dakwah tidak akan berjalan dengan sempurna tanpa adanya bantuan logistik dan dana yang kuat, lebih-lebih ketika sedang mempersiapkan kekuatan dalam rangka menghadang kekuatan musuh. Setiap gerak dakwah tidak bisa terlepas dari masalah dana, sebab dalam pelaksanaannya, dakwah memerlukan sarana dan prasarana, apalagi untuk berdakwah di zaman sekarang ini.

Jihad lisan memerlukan banyak dana guna mencetak buku, surat kabar, pamflet, majalah, dan sebagainya, sedangkan jihad pendidikan memerlukan banyak dana untuk membiayai pembentukan lembaga-lembaga pendidikan dan pengajaran representatif yang ditunjang peralatan secara memadai serta tenaga-tenaga pendidik yang profesional.

Jihad fisik dengan berbagai macamnya memerlukan banyak dana untuk pengadaan senjata, peralatan tempur yang canggih, logistik, dan biaya tunjangan untuk para syuhada. Jadi jelaslah, jihad yang tidak didukung oleh kekuatan dana yang memadai akan mengalami berbagai kegagalan. Oleh karena itu, dalam berbagai ayat Al-Qur’an, Allah SWT mengaitkan jihad dengan harta dalam suatu rangkaian kalimat”

Untuk melaksanakan jihad dengan harta ini, seorang muslim yang telah memenuhi syarat untuk membelanjakan hartanya di jalan Allah, harus mengeluarkannya sebagaimana yang telah diperintahkan Islam, baik di medan dakwah, pendidikan, politik, sosial, peperangan, dan medan jihad lainnya. Berikut ini akan dinukilkan beberapa pendapat ulama tentang masalah ini, terutama yang sering dilupakan/dilalaikan kaum muslimin.

Di sini tidak dibahas bentuk-bentuk pembelanjaan, seperti membangun masjid, madrasah, menyantuni fakir miskin, membiayai peperangan, dan hal-hal yang sudah umum diketahui masyarakat, namun beberapa hal yang kurang disentuh, bahkan sering ditelantarkan karena salah pengertian.

Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam Fiqhuz-Zakah menulis tentang beberapa bentuk jihad masa kini yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut

  • Mendirikan pusat-pusat kegiatan Islam yang representatif di negara Islam, sebagai pusat ta’lim dan tarbiyah bagi generasi muda Islam, menyampaikan/mengajarkan ajaran Islam secara sharih ‘jelas’ dan benar, membentengi aqidah dari bahaya kemusyrikan dan kekufuran, memelihara kemurnian pola pikir islami agar tidak tergelincir, serta mempersiapkan diri untuk membela Islam dan menghalau musuh-musuhnya.
  • Mendirikan pusat kegiatan bagi kepentingan penyiaran dakwah Islam ke luar (non muslim) di semua benua, terutama yang sedang berkecamuk dalam berbagai macam pergolakan pemikiran dan ideologi.
  • Mendirikan unit usaha di bidang percetakan, baik berupa surat kabar, majalah tabloid, maupun brosur-brosur, untuk menangkis berita-berita dari luar yang merusak dan memutarbalikkan fakta kebenaran Islam, membuka tabir kebohongan musuh-musuh Islam, serta menjelaskan Islam yang sebenarnya.
  • Termasuk di dalamnya adalah penyebaran buku-buku Islam dari penulis-penulis Islam yang bersih, yang mampu menyebarkan ide/pikiran Islam dan membangkitkan semangat umat Islam, yang mampu mengungkap mutiara-mutiara Islam yang selama ini tertutupi oleh derasnya buku-buku Islam karya para orientalis, islamolog-islamolog Barat dan Timur yang kafir. Untuk semua itu, diperlukan tenaga-tenaga tangguh, berdedikasi, jujur, amanah, beridealisme dan bercita-cita tinggi, ber-iltizam pada manhaj Islam, bekerja penuh perhitungan, dan ikhlas karena Allah semata.

Dr. Said Hawwa menulis dalam bukunya Kai lam Namdhi Baidan an Ihtiyajat al-Ashr,
“Sebagai konklusi dari banyak ukuran syariat, saya berpendapat bahwa sekarang ini dibenarkan memberikan zakat kepada lima kelompok dengan tetap menjaga pelaksanaan-pelaksanaan zakat yang lain, fatwa, dan takwa. Mereka itu adalah sebagai berikut  Gerakan-gerakan jihad Islam. Gerakan-gerakan dakwah dan para dai yang menyuruh kepada Allah; Pendidikan yang melahirkan tokoh-tokoh agama.; Pendidikan yang melahirkan cendekiawan-cendekiawan spesialis dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan yang dibutuhkan kaum muslimin; Jamaah-jamaah Islam Internasional.

Jika masyarakat Islam memiliki universitas yang mengelola masalah-masalah ini dan memang memenuhi syarat karena di situ terdapat banyak tenaga ahli yang dapat dipercaya, di samping universitas ini melaksanakan putusan fatwa yang berwawasan luas yang mementingkan kesejahteraan warga masyarakat, maka membantu lembaga ini merupakan langkah yang paling mendekati orang yang mendekat kepada Allah menuju jalan yang hendak ditempuh.”

Syekh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar menulis, “Wajib dipelihara dalam aturan lembaga infak dan zakat bahwa sabilillah tetap mempunyai hak atasnya karena mereka memiliki suatu sasaran, yaitu berbuat untuk mengembalikan hukum Islam. Tindakan ini lebih baik (lebih penting) daripada perang karena mereka memelihara hukum Islam dari serangan orang-orang kafir. Cara lain dalam berdakwah serta membela hukum Islam apabila sulit untuk mempertahankannya dengan pedang, kekuatan, dan perang, adalah dengan lisan dan tulisan.”

Selanjutnya, beliau menulis, “Yang benar, sabilillah adalah kepentingan-kepentingan umum kaum muslimin yang menegakkan kepentingan agama dan negara, bukan pribadi-pribadi. Adapun proses perjalanan haji individu-individu (masyarakat) tidak termasuk dalam kategori ini karena haji hanya diwajibkan kepada orang-orang yang mampu saja; di samping itu, haji merupakan fardhu ain seperti halnya shalat dan puasa, bukan termasuk kepentingan-kepentingan dunia-kenegaraan.

Akan tetapi, syiar haji dan pelaksanaan umat termasuk kategori ini sehingga bisa dibiayai dari jatah sabilillah ini guna mengamankan jalur-jalur transportasi yang akan dilalui dalam perjalanan haji, menyediakan air, makanan, dan sasaran-sasaran mudik untuk para jamaah haji kalau memang tidak ada dana lain.”

Selanjutnya dia menulis, “Orang-orang yang berjuang fi sabilillah mencakup kepentingan-kepentingan syariat secara umum yang merupakan inti persoalan agama dan negara yang terpenting, yaitu mendahulukan persiapan perang dengan membeli senjata dan logistik untuk para pasukan, sarana-sarana angkutan, mempersiapkan para pejuang, dan sebagainya. Di antara langkah sabilillah yang terpenting di zaman ini adalah mempersiapkan dai dan mengirimkan mereka ke negara-negara kafir dengan dikelola oleh organisasi-organisasi yang manajemennya teratur rapi, yang memberikan dana yang cukup kepada mereka.”

Asy-Syahid Sayyid Quthb dalam Fi Zhilaalil-Qur’an menulis, “Sabilillah adalah pintu lebar yang mencakup semua kepentingan masyarakat yang ingin merealisasikan kalimat Allah. Yang paling penting di antaranya adalah mempersiapkan jihad, mempersiapkan dan melatih para sukarelawan, mengutus dai Islam, menjelaskan hukum-hukum dan syariat-syariat Islam kepada segenap manusia, mendirikan sekolah-sekolah dan universitas-universitas yang mendidik putra-putri Islam secara islami dan benar, sehingga kita tidak perlu menitipkan mereka di sekolah-sekolah pemerintah yang mengajarkan segala ilmu pengetahuan kecuali Islam, maupun sekolah-sekolah yang dikelola oleh para misionaris yang mengikis keimanan mereka sejak anak-anak padahal mereka tidak punya daya penangkal untuk menghadapi pendangkalan iman itu.”

Demikianlah beberapa medan jihad yang perlu diperhatikan oleh kaum muslimin saat ini dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah. Sangat perlu kita bahas, di antara yang disebutkan itu, manakah yang lebih utama (afdhal), karena Islam memerintahkan kepada pengikutnya agar mencari yang lebih utama dalam membelanjakan harta ini. Said Hawwa dalam Kai Lam Namdhi menulis. Firman Allah SWT,

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا

“Allah menganugerahkan al-hikmah (kepahaman yang dalam tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan, barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, dia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak….,’ (Qs. Al-Baqarah: 269)

Ayat di atas diturunkan dalam konteks ayat-ayat yang memerintahkan agar berinfak yang disebut dalam surah al-Baqarah, sebab ayat ini mendahului firmanNya,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ

‘Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (dijalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik….’ (Qs. Al-Baqarah: 267)

Di antara hikmah yang paling menonjol dari konteks ayat-ayat tersebut adalah meletakkan infak-infak sesuai dengan tempatnya. Itulah fenomena hikmah yang paling tinggi karena memang akan melahirkan banyak kemaslahatan dan jasa.”

Pada kenyataannya, masih banyak hartawan muslim yang kurang jeli dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah. Sebagai contoh, banyak hartawan Timur Tengah yang jika menginfakkan hartanya kepada negara-negara miskin, hanya mau memberikannya kepada masjid ataupun madrasah dalam pembangunan fisiknya. Walaupun sudah banyak masjid dibangun bahkan dengan megahnya, namun sedikit sekali dimanfaatkan jamaah, baik untuk shalat berjamaah maupun aktivitas-aktivitas keislaman lainnya.

Semua ini tentu akibat dari ketidakmengertian, kebodohan, dan kemalasan mereka. Apalah artinya masjid megah dengan segala kelengkapannya jika tidak bermanfaat membimbing manusia menuju hidayah Islam. Apakah yang terpenting, bangunan megah sebuah masjid ataukah mendidik manusia-manusia yang akan memanfaatkannya? Membangun gedung megah itukah yang lebih afdhal ataukah membiayai pendidikan ulama dan dai yang akan mengarahkan mereka? Di sinilah hartawan muslim dituntut kejeliannya.

Mengenai masalah ini, Said Hawwa menulis dalam Kai Lam Namdhi, “Akan kami buatkan tiga ilustrasi:

  • potret orang yang membantu orang yang tunawicara, tunarungu, dan tunanetra;
  • potret orang yang membela seorang pekerja yang tidak mempunyai bahan makanan;
  • potret orang yang menyisihkan zakatnya untuk melahirkan seorang alim yang mengajak kepada Allah.

Tak pelak lagi, barangsiapa yang membantu yang mana pun juga dari tiga ilustrasi tersebut, dia adalah orang yang bijak dan berjasa. Akan tetapi, dari ketiga ilustrasi itu, manakah yang paling banyak hikmah dan pahalanya?

Orang yang menyeru kepada Allah dengan berbekal ilmu dan pengalaman, yang menyebabkan Allah membuka sekian banyak kalbu, akal, dan kantong manusia, akan melahirkan banyak limpahan rahmat yang hanya Allah yang mengetahuinya, kemudian menghidupi banyak keluarga, bahkan bangsa. Berkat nasihat-nasihat yang disampaikannya, banyak orang yang terdorong membayar zakat dan menerima agama Allah. Dari aspek ini dan aspek-aspek lain, jelaslah bahwa potret yang ketigalah yang paling banyak manfaat dan pahalanya.

Andaikata seseorang mengeluarkan zakatnya untuk membiayai seorang dai yang mengajak kepada Allah di suatu wilayah yang didominasi oleh kebodohan, kefasikan, kemaksiatan, dan kemurtadan, lalu si dai berhasil mengajak orang-orang tersebut dan generasi-generasinya kembali ke dalam pangkuan Islam, bukankah Anda sependapat bahwa orang-orang tersebut dan generasi-generasinya berada dalam barisan orang yang bersedekah itu? Bukankah pahala orang ini dan hikmahnya lebih besar dibandingkan saudara kita yang ada dalam potret terdahulu padahal masing-masing dari kedua orang ini telah memperbaiki usahanya?”

Selanjutnya, beliau menulis, “Ada banyak kondisi di mana kita dianjurkan untuk bersedekah dalam membangun masjid-masjid. Ada banyak kondisi yang memperbolehkan kita memberikan fatwa agar kita menyerahkan zakat/infak untuk membantu kondisi itu. Barangsiapa menyerahkan zakat kepada salah satu dari dua kondisi itu, berarti ia mendapat yang baik.

Akan tetapi, ada ukuran-ukuran syariat yang harus kita tempatkan dalam perhitungan ini, misalnya keluarga, tetangga, dan penduduk setempat didahulukan atas pihak-pihak lain; orang yang lebih rajin menjalankan kewajiban didahulukan atas yang lain; kewajiban-kewajiban yang terbengkalai harus mendapat perhatian lebih khusus; menghidupkan kewajiban-kewajiban yang ditinggalkan orang didahulukan atas kepentingan-kepentingan lainnya; menegakkan kewajiban-kewajiban fardhu ‘ain dan fardhu kifayah harus mendapat perhatian khusus, dan sebagian fardhu kifayah harus didahulukan bergantung pada waktu dan tempat.

Semua itu harus dicamkan betul oleh seorang pembayar zakat ketika hendak menyerahkan zakatnya. Ketepatan menjatuhkan pilihan kepada siapa zakat dan sedekah itu akan diserahkan, merupakan salah satu fenomena kebajikan dirinya. Kalau ia tepat menyerahkannya kepada bidang yang paling bermanfaat, berarti ia berhak mendapat pahala yang paling banyak. Dalam keadaan bagaimanapun juga, ia akan mendapat pahala asalkan niatnya benar.”

Demikianlah beberapa kaidah yang perlu diperhatikan oleh para hartawan muslim dalam membelanjakan hartanya di jalan Allah agar apa yang dilakukannya mendapat balasan di sisi Allah. Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk menginfakkan harta di jalan Allah harus benar-benar jeli dalam memperhitungkannya. Setiap tempat dan kondisi tertentu berbeda pelaksanaannya dengan tempat dan kondisi lainnya, sebagaimana dikemukakan Said Hawwa.

Sebagai ilustrasi, dalam sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim terdapat banyak ulama dan sarana pendidikan Islam, namun tidak dapat berbuat banyak karena dikuasai pemerintah kuffar yang dilengkapi dengan fasilitas militer. Dalam kondisi seperti ini, membebaskan negara tersebut dari pemerintah kuffar harus diutamakan. Semua pembelanjaan harus dikerahkan ke sana, seperti melatih pasukan/tentara Islam, mempersenjatai mereka dengan segala kelengkapannya, mendidik ulama dan dai yang mengarahkan umat agar berjihad, dan memperlengkapi sarana menuju ke sana adalah lebih utama dari pekerjaan lainnya.

Apalah artinya membangun masjid besar, sarana pendidikan lengkap jika akan dipergunakan memperkuat kekuasaan pemerintah kuffar tersebut ataupun tidak dapat difungsikan sebagaimana dikehendaki Islam.

Dalam kondisi seperti ini, membelanjakan harta untuk pembebasan ini adalah lebih utama daripada yang lainnya karena pembebasan negara dari cengkeraman pemerintah kuffar adalah pintu menuju pelaksanaan ajaran Islam secara sempurna dan murni. Karenanya, membantu gerakan-gerakan Islam yang akan membebaskan bumi ini dari cengkeraman pemerintah-pemerintah kuffar dan kaki tangannya adalah pekerjaan yang sangat besar dan mulia, memiliki hikmah tertinggi di hadapan Allah. Semua usaha menuju ke arah sana harus dibantu sepenuhnya oleh hartawan muslim yang menghendaki hikmah.

Demikian pula halnya ketika umat Islam tidak memiliki ahli dalam bidang-bidang tertentu yang akan memperkuat kejayaan Islam, membelanjakan harta untuk melahirkan ahli spesialis tersebut adalah utama. Apalah artinya kelengkapan fasilitas yang dimiliki umat Islam jika tidak ada yang mengelolanya secara maksimal. (dkwt)

– Bersambung

downlod

admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter