1. Dibenarkan bagi seseorang untuk ber-qunut atau tidak ber-qunut demi ta’liful qulub (mengambil hati jama’ah dan menjaga persatuan serta kesatuan kaum muslimin).
2. Dibenarkan juga ia mengambil pilihan yang berseberangan dengan kebiasaan masyarakat dan jama’ahnya, demi menegakkan dan mengajarkan as-sunnah (ajaran Rasulullah SAW). Namun, pilihan ini dibenarkan untuk dilakukan, jika:
a. Sang aktifis dakwah telah mengukur dan menimbang sikap yang mungkin muncul dari jama’ah dan masyarakatnya.
b. Sang aktifis telah melakukan tahyiah nafsiyah atau pengkondisian psikologis jama’ah dan masyarakatnya.
c. Sang aktifis telah lama membangun upaya ta’liful qulub terhadap jama’ah dan masyarakatnya.
d. Sang aktifis telah melakukan berbagai macam muqaddimat (pembukaan-pembukaan) yang dapat diterima oleh jama’ah dan masyarakatnya.
Fiqih da’wah seperti ini beliau dasarkan pada prinsip: al-mafdhul qad yashiru fadhilan limashlahatin rajihatin. Maksudnya, suatu amal yang menurut kajian disimpulkan sebagai amal yang tingkat keutamaannya lebih rendah (mafdhul), bisa berubah menjadi tingkat lebih tinggi (fadhil) karena adanya kemaslahatan yang menjadikannya unggul.
Contoh kasus lain yang disebut oleh Ibn Taimiyyah diantaranya:
1. Shalat qabliyah Jum’at
Ibnu Taimiyyah berkata (XXIV/194): “Jika seseorang berada di tengah suatu kaum yang melaksanakan shalat sunnat qabliyah Jum’at, jika ia adalah seseorang yang ditaati dan dituruti jika meninggalkannya, dan ia dapat memberi penjelasan kepada mereka tentang sunnah Rasulullah SAW yang sebenarnya tanpa mendapatkan pengingkaran dari mereka, bahkan justru mereka akan mengerti mana yang merupakan sunnah Rasulullah SAW, maka sebaiknya ia tidak melaksanakan shalat qabliyah Jum’at, namun, jika ia bukanlah seorang yang ditaati dan dituruti oleh mereka, dan ia berpandangan bahwa dengan melaksanakan shalat qabliyah Jum’at ia akan dapat men-ta’lif hati mereka kepada hal yang jauh lebih bermanfaat, atau dengan melaksanakan shalat qabliyah Jum’at itu ia dapat menghindari permusuhan dan keburukan-keburukan lainnya, sebab memang ia tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan kebenaran kepada mereka, atau agar mereka bisa dapat menerimanya, atau semacam itu, maka melakukan shalat qabliyah Jum’at baginya juga baik”.
2. Shalat Witir antara 2+1 dan 3 rakaat sekaligus
Ibnu Taimiyyah berkata: “Karena inilah para Imam; Ahmad dan lainnya, mengatakan bahwa sunnat hukumnya bagi seorang imam meninggalkan sesuatu yang afdhal menurutnya jika hal itu memberi dampak ta’liful qulub terhadap makmum. Contohnya adalah masalah shalat witir antara tiga rakaat langsung dengan dua rakaat salam lalu tambah satu rakaat. Jika menurut seorang Imam bahwa yang afdhal adalah 2 + 1, namun makmum menghendaki tiga rakaat langsung, jika sang imam ini tidak mampu melaksanakan yang afdhal menurut dirinya, maka hendaklah ia melaksanakan shalat witir tiga rakaat secara langsung”.
____________
Sumber bacaan:
1. Tazahumul ahkam asy-syar’iyyah fid-da’wah ‘inda Syaikhil Islam Ibn Taimiyyah, tulisan Abu Bakar Al-Baghdadi, Majallah Al-Hikmah, (Leeds: Britain, tahun 1412 H), vol. VII, hal. 63 – 64.
2. Ibnu Taimiyyah, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah bitahqiq Abdirrahman bin Muhammad bin Qasim, (Madinah: KSA, 1416 H/1995M), vol. 22, hal. 344 – 345.