alhikmah.ac.id – Bergegas seorang pria bersarung dengan baju koko dan peci menuju ke arah segerombolan anak-anak berseragam putih abu-abu. Ia berteriak sembari melempari batu. Sebanyak 20 anak kocar-kacir. Motor-motor mereka segera dilajukan secara serampangan, keluar dari lokasi Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pondok kelapa, Jakarta Timur.
“Saya kalau sudah ngamuk, ya gitu,”kenang Abu Ovan mengenang perilaku anak sekolah yang berpacaran di lokasi pemakaman.
Menurut Abu, ia sering mendapat laporan dari warga disekitar TPU mengenai keberadaan gerombolan yang melakukan perzinahan di atas motor.
“Nggak sampai buka baju. Tapi pacarannya udah keterlaluan. Lebih dari 15 laki. Perempuannya cuma dua orang, mereka “digilir” sama cowo-cowo itu,”ungkapnya mengenai kejadian tiga tahun lalu itu.
Peristiwa yang pernah terjadi disiang bolong itu sontak membuat darah Abu mendidih. Apalagi kegiatan maksiat itu dilakukan di bawah pohon rindang, di antara batu-batu nisan yang berjejer.
Keesokan harinya, salah seorang anak di antara mereka datang. Dengan berurai air mata, Ia mohon maaf atas kejadian yang sempat membuat geger warga Rawadas, daerah sekitar pemakaman.
Ternyata anak itu pernah menjadi jamaah di pengajian binaan Abu, Al Huda Ibnu Sabil.
“Saya bilang, Kamu tuh, malu-maluin aja pake seragam melakukan itu. Jangan sekali-kali lagi! Kalau terjadi lagi, Abu nggak pandang bulu apakah ngaji di sini atau nggak. Abu langsung datangi sekolahan dan tanya gurunya,” ucapnya tegas.
Tidak ada kata kompromi bagi Abu terhadap hal-hal semacam itu. Tidak hanya perzinahan, lokasi pemakaman juga kerap dijadikan tempat konsumsi narkoba.
Duduk dipinggiran makam, para pemakainya dengan nikmatnya mengirup Shabu dari Bong.
“Saya paranin, saya tarik bajunya. Saya tanya, Elu anak mana? Jangan ngotorin sini!” tegas pemilik nama Adi Nuryadi itu.
Tanpa perlawanan, orang-orang itu Abu giring pada Ketua RT setempat. Abu menuturkan, orang-orang yang didatanginya rata-rata tanpa perlawanan. Mereka cuma tahu kalau Abu adalah seorang Ustad, guru ngaji. Begitu saja biasanya langsung kabur.
Di Balik Pohon Kamboja
Hampir tiap malam, Abu bersama beberapa orang warga menyisir lokasi pemakaman. Dalam keremangan, ditemukan muda-mudi bermesraan di balik batang-batang pohon Kamboja.
Ada juga pemuda terkulai dipinggiran kuburan seusai menenggak Minuman Keras (Miras).
Sebagai warga asli Rawadas, Ia mengaku geram melihat banyaknya kemaksiatan ini. Seringkali Abu menghadapi mereka sendiri, Ia pasang badan saja. Pasrah dan meyakini akan ada pertolongan jika menolong agama Allah.
Tidak jarang, dalam memburunya, Abu berkejaran dengan mereka. Semangatnya memberantas maksiat dilakukannya sampai lewat dari jam 12 malam.
“Warga di sini pada nggak berani ngusir yang pacaran, takut dikeroyok. Soalnya, pernah karyawan TPU negur, eh malah dia yang balik dikeroyok,”ulas pria yang mengutamakan penggunaan tangannya sendiri dalam memberantas kemaksiatan.
Kemiskinan dan Misionaris
Sebagaimana diketahui, daerah Rawadas termasuk salah satu kantong kemiskinan di Jakarta Timur. Di sana banyak tinggal keluarga para pemulung, tukang cuci, dan pembantu rumah tangga.
Lokasi pemakaman juga dijadikan tempat memulung anak-anak SD sebagai tambahan pemasukan bagi keluarga. Dua ribu perak bisa membuat dapur mereka tetap mengepul.
Tak hanya kemiskinan, kemaksian yang menjadi ancaman menakutkan warga. Misionaris juga menelusup melalui sektor pendidikan.
Rumah warga dijadikan TK. Secara berkala pengurus sekolah mengundang orangtua rapat perkembangan anak. Pembagian sembako dan alat tulis menjadi umpannya.
Bahkan gerakan misionaris juga sempat menghantui warga di sekitar pemakaman.
Dengan alasan berziarah ke kuburan anak, ada yang membagi-bagikan makanan-minuman plus uang Rp.2000 setiap pekan. Terutama pada bulan Ramadhan, warga kampung diminta mencicipi makanan yang mereka bawa.
Mendengar info tersebut, ia langsung melesat menuju pekuburan yang dimaksud.
Apa yang didengarnya ternyata sesuai dengan kenyataan. Di tempat itu ia perhatian para misionaris mempengaruhui warga Rawadas menirukan ucapan-ucapan tentang keyakinan agama tertentu.
“Saya dekati suaminya. Saya bilang, kalau Bapak masih seperti ini, Bapak sudah salah karena Bapak memaksakan agama pada orang yang sudah punya keyakinan. Kalau Bapak berlaku baik, saya akan berlaku baik juga,”tegas pria lulusan Abu Bakar Islamic University, Gulshan e Iqbal, Karachi, Pakistan ini pada pria tersebut. Begitulah kegiatan Abu.
Melalui pengajiannya, Abu menasihati warga untuk tidak tergiur. Jika akidah yang digadaikan, sembako tidak ada artinya. Akhirnya, warga memindahkan anak-anak mereka ke sekolah negeri.
Saat ini bisa dikatakan sebesar 90 persen lokasi pemakaman bersih dari maksiat. Hampir setiap malam Polisi dan Satpam berpatroli dengan mobilnya. Dari patroli itu banyak terciduk pelaku esek-esek dan Narkoba.