Al-Ghazali dan Konsep Kesejahteraan

Share to :

alhikmah.ac.id – Beberapa hari lalu, isu hangat yang menghiasai media peekonomian Indonesia adalah masalah perburuhan. Bahkan dalam aksi demo dan mogok massal buruh di banyak kawasan industri di Indonesia Rabu, 3 Oktober 2012 1 berdampak bagi industri makanan dan minuman (mamin). Mereka mengklaim merugi hingga triliunan rupiah karena tak bisa produksi.

Masalah perburuhan atau lebih tepatnya  keterasingan buruh yang menuntut hak selalu muncul dan terjadi.

Problematika buruh sebenarnya tidak hanya sebatas upah dan keterasingan, jauh lebih kepada permasalahan kesejahteraan yang diberikan oleh pihak-pihak penguasa kepada para pekerjaanya. Kesejahteraan (maslahah) dalam hal ini merupakan pencapaian seseorang kepada tingkat pemenuhan kebutuhan yang standar tidak kurang dan tidak lebih, sehingga pola kehidupan menjadi stabil dengan tercapainya maslahah.

Cendikiawan muslim  Imam Al-Ghazali merupakan seorang yang pertama merumuskan  konsep fungsi kesejahteraan (maslahah) sosial. Dalam bukunya Ihya ulumuddin Al-Ghazali mengemukakan dalam masyarakat Islam ada 5 aspek yang sangat berpengaruh kepada tercapainya kesejahteraan sosial yaitu; tujuan utama syariat Islam adalah Agama (din), Jiwa (nafs), Akal(aql), Keturunan (nasl), Harta (maal).(lihat Al-Musthofa fi al-ilmi ushul, Abu Hamid Imam Al-Ghazali Jus I).

Menurut Imam al Ghazali aktifitas  ekonomi merupakan bagian dari kewajiban sosial masyarakat yang sudah ditetapkan Allah swt, apabila hal ini tidak dipenuhi, kehidupan dunia akan runtuh dan kehidupan umat manusia akan binasa.

Lebih jauh, Al-Ghazali merumuskan tiga  alasan mengapa seseoarang harus melakukan aktivitas ekonomi;

Pertama untuk memenuhi kebutuhan hidup yang bersangkutan, Kedua; mensejahterakan keluarga, dan ketiga membantu orang lain yang membutuhkan.

Dari tiga kreteria di atas, membuktikan bahwa kesejahteraan seseorang akan terpenuhi apabila tingkat kebutuhan mereka tercukupi. Sebenarnya kesejahteraan dalam tataran teori memiliki banyak dimensi pengapilkasiannya,  namun dalam hal ini lebih difokuskan kepada terpenuhnya kesejahteraan sesorang berdasarkan tingkat kebutuhannya dalam hal harta benda.

Maslahah dalam Harta

Untuk mecapai tingkat kemaslahatan berkaitan dengan terpenuhinya kebutuhan sesorang  tidak akan terlepas dari faktor harta, karena harta merupakan objek salah satu objek utama  dalam memenuhi kebutuhan jasmani khususnya sandang, papan, pangan.  Menurut Al-Ghazali Harta adalah alat (wasilah) yang berfungsi sebagai perantara dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Namun meskipun demikian harta bukanlah tujuan akhir atau sasaran utama manusia dimuka bumi ini, melainkan sarana bagi seorang muslim dalam menjalankan perannya sebagai khalifah, dimana ia wajib memanfaatkan hartanya tersebut demi pengembangan segenap potensi manusia dan meningkatkan kemanusian manusia disegala bidang, baik moral maupun material. (Iqtishaduna, Muhammad Baqir Ash Shadr, 2008)

Saat ini fenomena yang terjadi dalam masyarakat adalah pergeseran paradigma dalam memandang dan menganggap keontentikan suatu harta. Harta dipandang sebagai sebuah sarana pemuas kebutuhan(satisfiers) dan sarana utama untuk tetap bertahan hidup, sehingga harta menjadi sebuah tujuan akhir(finel destination) dalam hidup. Bagi mereka dengan harta dapat melakukan segala-galanya, dengan harta akan mendapatkan kedudukan dan martabat dihadapan orang, dengan harta dapat hidup tentram tenang dan bahagia.

Pandangan masyarakat terhadap harta telah sangat jauh dari kacamata islam. Masyarakat saat ini beranggapan standar kemampuan manusia diukur berdasarkan harta yang dimilikinya, artinya manusia akan menyesuaikan dengan kondisi keuangannya, apabila anda memiliki satu dolar, berarti kondisi anda sama dengan satu dolar, dan jika anda memiliki seribu dolar maka kondosi anda sama dengan seribu dolar. (Hukum Al-Islam Fi Ra ‘sumaliyyah, Dr . Mahmud Al-Khaladi)

Pemahaman keliru

Doktrin kapitalisme (doctrine of capitalism) semakin memasuki ranah pemikiran masyarakat atas harta sehingga berdampak krusial bagi kesetabilan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat (welfare society), hingga akhirnya paham ini menimbulkan kontra kepada kalangan yang berkuasa atas harta, mereka semakin cinta terhadap harta, percaya diri untuk menimbun harta(treasure hoard) dan mengakumulasi kekayaan (wealth accumulation), melebarkan sayap kekuasaannya atas harta mengedepankan individualism yang berlebihan sehingga menafikan kepentingan umum dan kesejahteraan yang merata.

Menurut paham ini faktor yang mendorong manusia agar tetap bergaiarah dalam berproduksi dalam rangka memperbanyak kuantitas kekayaan adalah kebebasan dalam kepemilikan harta. (Asas-asas Ekonomi Islam, M. Sholahuddin)

Atas dasar kekeliruan pemahaman di atas Imam Al-Ghazali mengemukakan konsep maslahah dalam harta untuk mencapai kesejahteraan yang merata(sosial) dan kemaslahatan bersama, karena menurutnya peran dan fungsi harta selain sebagai wasilah dalam memenuhi kebutuhan dapat juga menjaga  kesejahteraan dan kestabilan ekonomi yang adil dan merata.

Menurut Al-Ghazali konsep kesejahteraan dalam Islam bukanlah secara eklusif bersifat materialistis ataupun spiritual. Dalam hal ini, melalui serangkaian penelitiannya terhadap berbagai ajaran Islam yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadits. Imam al Ghazali menyimpulkan bahwa utilitas sosial dalam Islam dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:

a. Dharuriah, terdiri dari seluruh aktivitas dan hal-hal yang bersifat esensial untuk memelihara kelima prinsip tersebut di atas.
b. Hajah, terdiri dari seluruh aktivitas dan hal-hal yang tidak vital bagi pemeliharaan kelima prinsip di atas, tetapi dibutuhkan untuk meringankan dan menghilangkan rintangan dan kesukaran hidup.
c. Tahsimiah atau Tazyinat. Secara khusus, kategori ini meliputi persoalan-persoalan yang tidak menghilangkan dan mengurangi kesulitan, tetapi melengkapi, menerangai, dan menghiasi hidup.

Hirarki di atas merupakan sebuah klasifikasi peninggalan tradisi Aristotelian yang disebut sebagai kebutuhan ordinal yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap barang-barang eksternal dan kebutuhan terhadap barang-barang psikis. (Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari masa klasik hingga Kontemporer, Euis Amalia M.Ag).

Esensi Harta

Imam Al-Ghazali mengemukakan konsep maslahah dalam harta sebagai kesejahteraan masyarakat, harta baginya dapat menimbulkan kebaikan dan sebaliknya dapat membuat keburukan. ”Al-maalu tazri bi. Aqwaamin dzawii hasabin—wa qad tusawwidu ghaira al_Sayyidi al maal” (Harta dapat membuat rendah kaum-kaum terhormat dan dapat mengangkat derajad yang bukan tuan menjadi tuan).

Tujuan manusia mencari harta antara lain memenuhi fitrah dan nafsunya, mencukupi diri dan keluarga, membantu masyarakat dan memperoleh keridhaan Allah. Mencari harta merupakan fitrah manusia sejak diciptakan, tetapi dalam memenuhi tuntutan nafsunya harus dikendalikan dengan batasan syariah dan menggunakan cara sesuai syariat Islam. Dalam ayat suci Al-Qur’an telah disebutkan :

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاء وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللّهُ عِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS: Ali ‘Imran: 14)

Dalam hal ini, Islam sebenarnya telah menentukan batasan dan cara-cara dimana individu, kelompok, masyarakat dan Negara dapat menguasai harta benda sedemikian rupa sehingga perolehan dalam tingkatan yang berbeda-beda masih dapat diraih oleh semua orang walaupun ada perbedaan dalam kemampuan mereka.

Harta itu memang indah, melezatkan dan menggembirakan sehingga banyak orang ingin memburunya, meskipun hanya sampai batas yang dihalalkan saja, akan tetapi menurut Al Ghazali, masyarakat saat ini terbiasa mencintai harta sehingga sulit untuk berpisah dengannya.

Perbuatan semacam ini dapat meresap dalam jiwanya, sehingga kadangkala dapat mengalahkan perasaan yang dahulunya suci menjadi kurang suci, dahulunya baik menjadi kurang baik. Bahkan yang dahulunya halal menjadi haram.

Letak harta dalam kehidupan manusia sangatlah berperan penting (dominan) dan tingkat kesejahteraan merupakan titik pencapaian seorang manusia. Maka pandangan maslahah dalam harta menurut Al-Ghazali yang sarat dengan semangat kemanusiaan universal serta etika bisnis Islami sangat penting untuk di resapi dan diteladani.

Mengenai kasus-kasus yang terjadi saat ini sebenarnya hanyalah problem perut yang sarat akan makna kebutuhan serta harta yang selalu menjadi tolak ukur kesejahteraan seseorang, hingga akhirnya gejolak ekonomi yang berkesinambungan tak kunjung bosan menjamahi negeri ini, dikarnakan kekosongan akan makna kesejahtaraan dan esensi harta bagi kehidupan manusia

Picture of admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter