alhikmah.ac.id – Dua kata di atas merupakan penggalan dari Qs. 3: 64. Ayat ini menjadi komoditas perhelatan pemikiran yang begitu laris, khususnya bagi kaum pluralis-liberal. Ia dijadikan semacam “karet”, bisa ditarik kesana-kemari. Benar-benar bak kacang goreng; renyah dan gurih.
Biasanya, ayat ini dijadikan bumper paling kuat oleh kaum pluralis. Cak Nur alias Nurcholish Madjid kemudian menerjemahkannya menjadi common platform (kesamaan titik temu). Dari terjemahan ini kemudian dicomot oleh kaum pluralis setelahnya, seperti Budhy Munawar-Rachman dalam Islam Pluralis (2001), Fathimah Usman dalam Wahdat al-Adyan (2002), dan yang lainnya.
Apa yang kaum pluralis pahami dari kalimatin sawa’ tidaklah salah sepenuhnya, tapi juga tak dapat dibenarkan seratus persen. Bagi mereka, kalimatin sawa’ adalah kata yang paling penting untuk mendukung paham “pluralisme agama” dan teologi “inklusif”. Dengan paham ini akan tercipta ko-eksistensi, kerjasama dan saling-kesepahaman. Karena mereka mengharapkan seluruh agama dapat berlomba-lomba dalam mengerjakan kebaikan untuk bangsa Indonesia. Tapi jika dilihat lebih cermat, pemahaman mereka terhadap kalimatin sawa’ ini begitu parsial dan tak komprehensif.
Sejatinya, kaum pluralis tidak seharusnya mencomot ayat ini sebagai bumper paham pluralisme. Karena ayat ini sebenarnya “ajakan” dialog kepada kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Kristen), yaitu: seruan kembali kepada ajaran Tawhid. Intinya adalah: keyakinan bahwa Allah Subhanahu Wata’ala. itu esa: tunggal, bukan Trinitas. Allah dalam Islam tidak beranak dan tidak diperanakkan (Qs. al-Ikhlāsh [112]: 3). Karena, sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam al-Qur’an, kedua agama tersebut telah banyak menyelewengkan ajaran nabi mereka, khususnya dalam masalah ketuhanan.
Menurut Muhammad ‘Abduh dalam tafsir al-Manār, pembicaraan yang ada dari awal surat –al-Mā’idah itu—adalah tentang afirmasi kenabian (nubuwat) Nabi Muhammad s.a.w. dan “bantahan” terhadap orang-orang yang menolaknya (al-munkirin). Bahkan Rasulullah mengajak mereka melakukan “mubāhalah”. Karena ternyata mereka sendiri tidak yakin dengan ketuhanan Kristus (ulūhiyat al-Masīḥ). Dan orang yang kehilangan keyakinan, tegas ‘Abduh, merasa goyah ketika diseru kepada sesuatu yang dia takuti konsekuensinya (akibatnya).
Bukan Pluralisme Agama
Perlu dicatat, bahwa kalimatin sawa’ bukan mengajak kepada paham “pluralisme agama” atau teologi “inklusif” sehingga harus dimaknai dengan sangat simplistis sebagai common platform. Kalimatin sawa’ lebih menekankan kepada aspek teologis (akidah).
Abduh kemudian menegaskan bahwa lanjutan ayat tersebut (allā na’buda illā Allāh wa lā nusyrika bihi syai’an wa lā yattakhidzu ba’dhunā ba’dhan arbāban min duuni Allah) menegaskan keesaan Allah (wahdāniyyat al-ulūhiyyah) dan wahdāniyyat al-rubūbiyyah (Ketuhanan). Keduanya merupakan terma yang disepakati oleh seluruh para nabi.
Di sini kelihatan bahwa kaum pluralis mencoba untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an lewat realitas. Sehingga menjauhkan signifikansi (maghza) ayat yang sebenarnya. Ayat-ayat yang berbicara ko-eksistensi antar-umat manusia bertebaran di dalam Al-Qur’an. Dalam surat al-Hujuratm, misalnya, ditegaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan; dan mereka dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Semua itu muaranya adalah untuk “saling kenal-mengenal” (lita’ārafu). Ini lebih riil. Karena memang konteksnya berbicara tentang metode memahami orang lain (the other, al-akhar). Karena perbedaan itu merupakan salah satu sunnah Allah di alam ini.
Dari konsep ta’aruf yang ada dalam Islam ini, diharapkan adanya ‘pembersihan’ citra yang telah mengotori konsep tasamuh (toleransi) dalam Islam. Dan perlu ditegaskan bahwa dalam konsep tasamuh ini, Islam tidak perlu diajari. Karena Islam mengajarkan bahwa intoleran adalah satu sikap yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam dan kemanusiaan. Juga, dapat dirumuskan kerja-sama yang lebih produktif dalam membangun bangsa dan negara antar-umat beragama.
Selain konsep ta’āruf di atas, al-Qur’an menawarkan konsep lain: konsep fastabiqul khayrāt (Qs. 2: 148). Ini juga perlu dipahami dengan baik dan benar. Ayat ini mengajarkan bagaimana setiap orang (terlepas apa agama dan keyakinannya) dapat memberikan kontribusi dalam berbagai bentuk kebaikan (al-khayrāt) kepada umat manusia. Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menyeru kepada isu-isu kemanusiaan.
Perlu kembali ditegaskan bahwa kalimatin sawa’ memiliki penekanan dialog yang berbeda. Benar-benar murni teologis (al-hiwār al-‘aqadī). Sasarannya pun khusus: Ahli Kitab. Di sini dipertaruhkan kebenaran dan kemurnian tauhid dalam masing-masing agama –yang mengklaim sebagai agama tawhid (monoteis) —itu. Maka di sana diterangkan agar “kita” (Muslim, Yahudi dan Kristen): tidak menyembah selain Allah; tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain; dan sebagian dari kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai “tuhan” selain Allah.
Karena ternyata umat Nasrani meyakini bahwa “Yesus Kristus” (Islam: ‘Isa a.s.) itu salah satu oknum (person) “tuhan”. Sehingga belakangan muncullah dogma Trinitas yang diperdebatkan dan dicetuskan lewat voting dalam Konsili Nicea pada tahun 325 M. Maka kita menemukan al-Qur’an begitu keras menantang dogam Trinitas di dalam al-Qur’an.
Ini perlu diperhatikan oleh ketiga agama itu. Agar arah dialognya jelas. Karena jika kalimatin sawa’ diseret menjadi ‘topeng’ pluralisme agama, ini namanya “pemerkosaan” ayat. Karena secara de facto, alasan kaum pluralis menjadikan kalimatin sawa’ sebagai “ayat pluralisme” disebabkan meruyaknya aksi-aksi kekerasan. Padahal kekerasan itu sifatnya kasuistik.
Fakta yang tak mungkin dibantah adalah: Islam adalah agama terakhir. Merupakan kewajaran jika ia mengajak “dialog” kepada agama-agama awal untuk melihat kembali dogma-dogma dan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Dan pihak yang menyatakan bahwa agama Islam “tidak toleran”, keras, fanatik, dslb adalah pemahaman yang parsial terhadap Islam. Dan tidak serta merta mengharuskan kalimatin sawa’ diubah arahnya menjadi ayat pluralisme agama.
Dan, kalimatin sawa’ bukan sekadar common platform alias titik temu ‘tanpa titik’. Lebih dari itu, kalimatin sawa’ adalah titik temu “Tauhid”. Maka ia menjadi terikat, bukan mutlak. Ia juga tidak bisa dijadikan ayat “inklusif”. Ia tetap sebagai kalimatin sawa’: ayat yang menyeru kepada persamaan titik temu, yakni titik temu Tauhid, bukan yang lain.
oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi