alhikmah.ac.id – Haji Ahmad Djuwaeni menangis setelah menapaki perjalanan menembus lautan manusia. Di atas kursi rodanya, kakek berusia 82 tahun ini masih tepekur seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat dengan mata berkaca-kaca. Beberapa kalinya dirinya memekikkan takbir, walau tak segagah dahulu kala.
Ada sesuatu, entah apa itu yang membuat matanya sembab, yang mengalir bak air di sungai melewati keriput di pipinya. Dengan tertatih-tatih, suara bergetar, ia membuka mulutnya seraya setengah berbisik,” saya nggak mau ketinggalan urusan begini,” katanya kepada Islamic News Agency (INA), (2/12/2016).
Berempat, bersama sang anak dan mantu, ia datang memenuhi panggilan jiwanya, walau tak lama pulang dari rawat inap. “Saya masuk ICU 4 hari, lalu 5 hari dirawat, sengaja baru bisa keluar langsung ke sini, selama fisik memungkinkan, masih bisa bergerak, meski dipaksa menggunakan kursi roda,” lirihnya.
Firmansyah sang mantu sambil mendorong kursi roda sang mertua mengisahkan bahwa justru anak-anaknya diminta untuk ikut aksi. “Sempat ada rasa khawatir, tapi tekad bapak mengalahkan rasa sakitnya, semangatnya bahkan melebihi kami,” katanya.
Kini, tak kuasa menahan haru, Haji Ahmad Djuwaeni nampak mematung berdoa khusyuk di punggung pelataran Monas. “Ya Rabb, Engkau sendiri yang memutarkan sejarah ini, kini umatMu bangkit untuk memenuhi seruanMu, Engkau perlihatkan doa yang terus hamba panjatkan tiap malam, agar umat Islam Indonesia bangkit,” lirihnya.
“Terlihat ruhud din yang selama ini antara hidup dan mati mulai bangkit,” khusyuk. Tak terasa air mata tertumpah, bagi siapa yang melihatnya menangis berdoa. Di pengujung senjanya, ada rasa yang bercampur aduk: sedih, senang, haru, gembira: rasa yang tak tergambarkan.
Yang mengaduk-aduk rongga dada, naik perlahan ke atas, dengan nafas yang tak beratur, berkumpul di sudut mata hingga gerimis itu tak hanya dari atas langit, gerimis itu turun dari mata. Dan lihatlah, kini seorang kakek di pengujung usia senjanya, datang walau tak bisa berjalan kaki.
“Saya rela meninggal dalam keadaan berhijad, ya Allah, mudah-mudahan acara ini membangiktkan untuk izzul islam dan muslimin, ya Allah kabulkanlah,” terbata-bata karena tak kuasa menahan tangis.
“Tak kuasa manusia mengumpulkan massa sebanyak ini, kalau bukan karena panggilan iman, mereka tidak akan bersusah payah ke sini,” tutupnya sambil tersenyum simpul dengan bola mata yang berkaca-kaca kering sudah tangisnya keluar.
Aksi Bela Islam selalu memberikan kesan tersendiri bagi siapa pun yang pernah mengikutinya, meskipun mewujud dalam variasi yang kadang sulit diungkapkan dan dijelaskan dengan kasatkata. Tak pernah terbayang memang, bagaimana ribuan orang rela berpeluh, mengadu nyawa, berjalan kaki dari Ciamis hingga Jakarta. Sebagaimana dilakukan Haji Nonof bersama santrinya rela jalan kaki hingga tindakannya memberi inspirasi banyak orang di seluruh Indonesia.
”Pelarangan-pelarangan tidak akan menyurutkan langkah kami,” ujar Ketua Kafilah Ciamis, Haji Nonof Hanafi saat tiba di Bandung setelah menyusur 120 KM melewati malam-malam panjang.
Luar biasa. Perjalannya menuju Jakarta telah membuat ribuan orang di setiap perjalanan memberikan simpati dan applaus. Tak sedikit tangisan warga tumpah ruah meluber sepanjang jalan yang menyambut bak pahlawan besar.
Pantauan INA dalam perjalanan, dari balik kaca jendela, di sudut sekolah, selama jalan mereka lalui dalam perjalanan menuju Jakarta disambut tangis haru seraya melambaikan tangan.
Warga menyambutnya degan tulus. Ada yang membawakan setandan pisang, sekarung bonteng (timun), hingga keresek berisi buah-buahan yang baru dipanen dari kebunnya.
Sambutan tumpah ruah, bak mengiringi pasukan perang. Hadiah bunga, air mineral, sendal, dan lainnya, ada yang bangga menenteng karton coretan tangan pesan sambutan mereka: “Selamat Berjuang Para Pembela al Quran”.
Berbondong masyarakat merindu. Tak usah tanya sebanyak apa makanan yang menggunung hingga puluhan truk, kekuatan hati telah menggerakkan mereka. ”Mereka adalah para pembela al Quran, apapun akan kita lakukan oleh mereka,” kata seorang warga Bandung sambil menangis.
Setiap kafilah melewati warga, selalu saja air mata tak bisa tertahan. Bak pahlawan – dan memang pahlawan-, sorak takbir mengiringi perjananan menuju Cianjur hingga akhirnya mereka bisa tiba di Jakarta tanggal 2 Desember 2016, sekira pukul 09.00. Sekarang, kita akan melihat pemandangan yang begitu dramatis.
Detik-detik ketika mereka melewati Thamrin hingga menembus lautan manusia di kolam Bundaran Bank Indonesia hingga masuk ke Monas. Satu per satu wajah coklat yang tersengat sinar mentari ini tiba. Wajah yang didominasi para belia.
Menyipit matanya, tetiba saja air mata tertumpah ruah.Tangis pecah bersedu-sedu.
“Huuuu….uuu…uu,” suara massa menangis sesenggukan tak bisa berhenti. Sebagian jurnalis, sambil menyorot mereka dengan kamera SLRnya tak kuasa menahan air mata yang sudah mengucur deras melewati dagunya. ”Allahu Akbar..Allahu Akbar..Allahu Akbar..saudara kita dari Ciamis telah tiba,” menggemuruh.
Semua larut dalam haru. Semua tergugu. Kafilah Ciamis, hanyalah orang-orang biasa dari sudut kampung nun jauh di sana. Tapi, apa yang dilakukannya dapat menggetarkan jutaan manusia dari penjuru negeri. Sambil terus berjalan, tangis haru menemani mereka menembus lautan manusia.
Berdatangan massa, bersimpuh, segera memeluk saudara-saudara mereka: erat. Lama mematung, tangis itu kian menggedor-gedor emosi. Seorang kakek peserta jalan kaki dengan surban kumalnya menerima sekuntum bunga merah sambil mengusap sudut matanya walau ia tahu itu tak kan membuatnya berhenti menangis.
”Sunnguh! Perjuangan kalian tidak sia-sia,” histeris seorang penyambut sambil memeluk erat-keras pemuda-pemuda Ciamis yang tak seorang pun dikenalinya. Pekik takbir bercampur tangis terus berbaur mengiringi kafilah ini hingga ke panggung utama. Akhirnya, wajah yang selama ini hanya beredar di medsos, kini berbaur di antara jutaan massa aksi.
”Ciamis mengubah segalanya,” kata Riwa, seorang peserta aksi asal Riau yang rela menghabiskan sebulan gajinya agar bisa datang ke Aksi Damai Bela Islam di Jakarta.
”Kami benar-benar malu kepada mereka,” katanya. Tak hanya Riwa sendiri, mungkin kita sendiri merasakannya.”
Bola Salju Ciamis
Aksi jalan Kaki warga Ciamis telah dipilih Allah Subhanahu Wata’ala menjadi wasilah umat Islam Indonesia, apakah benar nilai-nilai Islam ada dalam hati mereka.
Alhamdulillah, tekanan, penggembosan, intimidasi dan serangkaian fitnah agar gerakan umat Islam tidak menyatu justru berbalik layaknya bola salju.
Aksi nekad sauda Muslim Ciamis berjalan kaki setelah aparat keamanan melakukan intimidasi agar mereka tidak sampai Jakarta, justru menjadi viral di media sosial (medsos).
Aksi jalan kaki mereka, melahirkan solidaritas dan simpati banyak orang sehingga mereka semakin ingin datang ke Jakarta.
”Ini adalah panggilan di sini (menunjuk dada), kami tak kan pernah rela al Quran kami dinista,” kata Irmansyah, yang datang jauh-jauh dari Balikpapan bersama kawannya yang bahkan menjual HP satu-satunya untuk bisa datang ke Jakarta.
Irmansyah dan ratusan temannya rela mencarter pesawat dan kucing-kucingan dengan aparat saat masuk ke bandara.
”Kami dari Balikpapan ingin menyuarakan agar Ahok segera ditangkap,” kata Abu Syamil.