Bagaimana Bekerja Sama Dengan Ahli Bid’ah Dalam Masalah Yang Disepakati?

Share to :

alhikmah.ac.id – Pencentus Kaidah “tolong-menolong dalam hal yang  kita  sepakati   dan bersikap  toleran  dalam  masalah  yang  kita  perselisihkan” adalah al-Allamah Sayyid Rasyid Ridha rahimahullah, pemimpin madrasah  Salafiyyah  al-Haditsah, pemimpin majalah al-Manar al-Islamiyyah   yang   terkenal   itu,   pengarang   tafsir, fatwa-fatwa, risalah-risalah, dan kitab-kitab yang mempunyai pengaruh besar terhadap dunia  Islam.  Sebelum  ini,  beliau telah   mencetuskan  kaidah  al-Manar  adz-Dzahabiyyah  yang maksudnya ialah “tolong-menolong sesama ahli kiblat”  secara keseluruhan dalam menghadapi musuh-musuh Islam.

Beliau  mencetuskan  kaidah tersebut tidak sembarang, tetapi berdasarkan petunjuk Al-Qur’an,  As-Sunnah,  bimbingan  salaf salih, karena kondisi dan situasi, dan karena kebutuhan umat Islam untuk saling mendukung dan membantu  dalam  menghadapi musuh  mereka  yang banyak. Meskipun diantara mereka terjadi perselisihan dalam banyak hal, tetapi mereka  bersatu  dalam menghadapi  musuh.  Inilah  yang  diperingatkan dengan keras oleh Al-Qur’an,  yaitu:  orang-orang  kafir  tolong-menolong antara  sesama mereka, sementara orang-orang Islam tidak mau saling menolong antara sesamanya. Allah berfirman:

“Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang diperintahkan Allah itu, niscaya  akan terjadi  kekacauan  di  muka bumi dan kerusakan yang besar.” (al Anfal: 73)

Makna illaa taf’aluuhu (jika  kamu  tidak  melaksanakan  apa yang  telah  diperintahkan Allah itu) ialah: jika kamu tidak saling melindungi dan saling membantu antara sebagian dengan sebagian  lain sebagaimana yang dilakukan orang-orang kafir.

Jika itu tidak dilakukan, niscaya akan terjadi kekacauan dan kerusakan  yang besar di muka bumi. Sebab, orang-orang kafir itu mempunyai sikap saling membantu, saling  mendukung,  dan saling  melindungi  yang sangat kuat diantara sesama mereka, terutama dalam menghadapi kaum muslimin yang  berpecah-pecah dan saling merendahkan sesamanya.

Karena  itu,  tidak  ada  cara  lain  bagi orang yang hendak memperbaiki Islam kecuali menyeru umat Islam  untuk  bersatu padu  dan tolong-menolong dalam menghadapi kekuatan-kekuatan musuh Islam.

Apakah  cendekiawan  muslim  yang  melihat  kerja  sama  dan persekongkolan   Yahudi   internasional,  misionaris  Barat, komunis dunia, dan keberhalaan Timur di  luar  dunia  Islam, dapat  merajut  kelompok-kelompok  dalam  dunia  Islam  yang menyempal dari umat  Islam?  Mampukah  mereka  menyeru  ahli kiblat  untuk  bersatu  dalam  satu  barisan guna menghadapi kekuatan musuh yang memiliki  senjata,  kekayaan,  strategi, dan  program  untuk  menghancurkan  umat  Islam, baik secara material maupun spiritual?

Begitulah,  para  muslih  menyambut  baik  kaidah  ini   dan antusias  untuk  melaksanakannya. Yang paling mencolok untuk merealisasikan  hal  itu  ialah  al-Imam  asy-Syahid   Hasan al-Bana,  sehingga banyak orang al-Ikhwan yang mengira bahwa beliaulah yang menelorkan kaidah ini.

Adapun masalah bagaimana kita  akan  tolong-menolong  dengan ahli-ahli  bid’ah  dan  para penyeleweng, maka sudah dikenal bahwa bid’ah itu bermacam-macam dan bertingkat-tingkat.  Ada bid’ah  yang  berat  dan  ada  yang  ringan, ada bid’ah yang menjadikan pelakunya kafir dan ada pula  bid’ah  yang  tidak sampai  mengeluarkan  pelakunya  dari  agama Islam, meskipun kita menghukuminya bid’ah dan menyimpang.

Tidak  ada  larangan  bagi  kita  untuk  bantu-membantu  dan bekerja  sama dengan sebagian ahli bid’ah dalam hal-hal yang kita sepakati dari pokok-pokok agama dan kepentingan  dunia, dalam menghadapi orang yang lebih berat bid’ahnya atau lebih jauh kesesatan dan penyimpangannya,  sesuai  dengan  kaidah: “Irtikaabu  akhaffidh  dhararain” (memilih/melaksanakan yang lebih ringan mudaratnya).

Bukan hanya bid’ah, kafir pun  bertingkat-tingkat,  sehingga ada  kekafiran  dibawah kekafiran, sebagaimana pendapat yang diriwayatkan dari para sahabat dan tabi’in.  Dalam  hal  ini tidak ada larangan untuk bekerja sama dengan ahli kafir yang lebih kecil kekafirannya demi menolak bahaya kekafiran  yang lebih  besar.  Bahkan  kadang-kadang kita perlu bekerja sama dengan sebagian orang kafir dan musyrik – meskipun kekafiran dan kemusyrikannya sudah nyata – demi menolak kekafiran yang lebih  besar  atau  kekafirannya  sangat  membahayakan  umat Islam.

Dalam   permulaan   surat   ar-Rum   dan   sababun-nuzul-nya diindikasikan bahwa  Al-Qur’an  menganggap  kaum  Nashara meskipun  mereka juga kafir menurut pandangannya (Al-Qur’an) lebih  dekat  kepada  kaum  muslim  daripada  kaum  Majusi penyembah  api.  Karena itu, kaum muslim merasa sedih ketika melihat kemenangan bangsa Persia yang majusi terhadap bangsa Rum  Byzantium  yang  Nashara.  Adapun kaum musyrik bersikap sebaliknya, karena mereka melihat kaum  majusi  lebih  dekat kepada aqidah mereka yang menyembah berhala.

Ketika  itu turunlah Al-Qur’an yang memberikan kabar gembira kepada kaum muslim  bahwa  kondisi  ini  akan  berubah,  dan kemenangan  akan  diraih  bangsa  Rum  dalam  beberapa tahun mendatang: “…  Dan  pada  hari   (kemenangan   bangsa   Rumawi)   itu bergembiralah  orang-orang  yang beriman, karena pertolongan Allah …” (ar-Rum: 4-5)

Secara lebih lengkap Al-Qur’an mengatakan: “Alif laam miim. Telah dikalahkan bangsa  Rumawi  di  negeri yang terdekat Dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah  (mereka  menang).  Dan pada hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang  yang  benman,  karena pertolongan  Allah. Dia menolong siapa yangdikehe ndaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.”  (ar-Rum: 1-5)

Nabi  saw.  pernah  meminta  bantuan  kepada  sebagian  kaum musyrik  Quraisy  setelah  Fathu  Makkah,  dalam  menghadapi musyrikin Hawazin, meskipun derajat kemusyrikan mereka sama. Hal itu beliau lakukan karena menurut pandangan beliau bahwa kaum  musyrik  Quraisy  mempunyai hubungan nasab yang khusus dengan beliau. Disamping itu,  suku  Quraisy  termasuk  suku yang  mendapat  tempat  terhormat  di  kalangan  masyarakat, sehingga Shafwan bin  Umayyah  sebelum  masuk  Islam  pernah mengatakan,  “Sungguh saya lebih baik dihormati oleh seorang Quraisy daripada dihormati oleh seorang Hawazin.”

Bagi Ahlus-Sunnah – meski bagaimanapun  mereka  membid’ahkan golongan   Muktazilah   –   tidak  ada  alasan  untuk  tidak memanfaatkan ilmu dan produk pemikiran  golongan  Muktazilah dalam  beberapa  hal yang mereka sepakati, sebagaimana tidak terhalangnya mereka untuk menolak pendapat  Muktazilah  yang mereka  pandang bertentangan dengan kebenaran dan menyimpang dari Sunnah.

Contoh yang paling  jelas  ialah  kitab  Tafsir  al-Kasysyaf karya  al-Allamah  az-Zamakhsyari,  seorang  Muktazilah yang terkenal. Dapat dikatakan hampir tidak ada seorang alim  pun (dari  kalangan  Ahlus  Sunnah)  –  yang  menaruh  perhatian terhadap Al-Qur’an dan tafsirnya –  yang  tidak  menggunakan rujukan  Tafsir  al-Kasysyaf  ini,  sebagaimana tampak dalam tafsir ar-Razi,  an-Nasafi,  an-Nisaburi,  al-Baidhawi,  Abi Su’ud, al-Alusi, dan lainnya.

Begitu pentingnya Tafsir al-Kasysyaf ini (bagi Ahlus-Sunnah) sehingga kita  dapati  orang-orang  seperti  al-Hafizh  Ibnu Hajar  mentakhrij  hadits-haditsnya  dalam kitab beliau yang berjudul   Al-Kaafil   asy-Syaaf   fi   Takhriji   Ahaadiits al-Kasysyaaf.  Kita  jumpai pula al-Allamah Ibnul Munir yang menyusun kitab untuk mengomentari al-Kasysyaf ini, khususnya mengenai  masalah-masalah  yang diperselisihkan dengan judul al-Intishaaf min al-Kasysyaaf.

Imam  Abu  Hamid  al-Ghazali,  ketika  menyerang   ahli-ahli filsafat  yang  perkataan-perkataannya  menjadi  fitnah bagi banyak orang, pernah meminta  bantuan  kepada  semua  firqah Islam  yang  tidak  sampai derajat kafir. Karena itu, beliau tidak menganggap sebagai halangan untuk  menggunakan  produk dan  pola  pikir Muktazilah dan lainnya yang sekiranya dapat digunakan untuk  menggugurkan  pendapat/perkataan  ahli-ahli filsafat tersebut. Dan mengenai hal ini beliau berkata dalam mukadimah Tahafut al-Falasifah sebagai berikut:

“Hendaklah  diketabui  bahwa  yang  dimaksud  ialah  memberi peringatan   kepada  orang  yang  menganggap  baik  terhadap ahli-ahli filsafat dan mengira bahwa jalan hidup mereka  itu bersih  dari  pertentangan, dengan menjelaskan bentuk-bentuk kesemerawutan (kerancuan) mereka.  Karena  itu,  saya  tidak mencampuri  mereka  untuk  menuntut  dan  mengingkari, bukan menyerukan  dan  menetapkan  perkataan  mereka.  Maka   saya jelekkan  keyakinan  mereka dan saya tempatkan mereka dengan posisi yang berbeda-beda. Sekali waktu saya nyatakan  mereka bermazhab  Muktazilah,  pada  kali lain bermazhab Karamiyah, dan pada kali lain  lagi  bermazhab  Waqifiyah.  Saya  tidak menetapkannya  pada  mazhab  yang khusus, bahkan saya anggap semua firqah  bersekutu  untuk  menentangnya,  karena  semua firqah  itu  kadang-kadang  bertentangan  dengan  paham kita dalam masalah-masalah tafshil (perincian, cabang), sedangkan mereka menentang ushuluddin (pokok-pokok agama). Karena itu, hendaklah  kita  menentang  mereka.  Dan  ketika  menghadapi masalah-masalah  berat, hilanglah kedengkian diantara sesama (dalam masalah-masalah cabang).”

Ada yang bertanya “Bagaimana  kita  bersikap  toleran kepada   orang   yang   menentang   kita,  yang  nyata-nyata menyelisihi nash Al-Qur’an  atau  hadits  Nabawi,  sedangkan Allah berfirman:

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah  ia  kepada  Allah   (Al-Qur’an)   dan   Rasul (As-Sunnah).” (an-Nisa’: 59)

Yang bertanya ini kurang memahami bahwa nash-nash itu  mempunyai  perbedaan  besar  dilihat  dari  segi tsubut (periwayatan) dan dilalah  (petunjuk)-nya,  yaitu  ada  yang qath’i  dan ada yang zhanni. Diantara nash-nash itu ada yang qath’i tsubut seperti Al-Qur’an al-Karim  dan  hadits-hadits mutawatir   yang   sedikit  jumlahnya  itu.  Sebagian  ulama menambahkannya dengan  hadits-hadits  Shahihain  yang  telah diterima   umat   Islam  dan  disambut  oleh  generasi  yang berbeda-beda  sehingga  melahirkan  ilmu  yang   meyakinkan. Tetapi  sebagian  ulama lagi menentangnya, dan masing-masing mempunyai alasan:

Disamping  itu,  ada  nash  yang  zhanni  tsubut.  Misalnya, hadits-hadits  umumnya,  baik  yang  sahih maupun hasan yang diriwayatkan dalam kitab-kitab sunan,  musnad,  mu’jam,  dan mushannaf yang bermacam-macam.

Pada taraf zhanniyyah ini derajat hadits itu bermacam-macam. Ada yang sahih, hasan, shahih lidzatihi dan hasan lidzatihi, serta  ada pula yang shahih lighairihi dan hasan lighairihi, sesuai dengan sikap imam-imam dalam mensyaratkan  penerimaan dan  pentashihan suatu hadits, ditinjau dari segi sanad atau matan, atau keduanya. Karena itu, ada  orang  yang  menerima hadits mursal dan menjadikannya hujjah, ada yang menerimanya dengan  syarat-syarat  tertentu,  dan  ada  yang  menolaknya secara mutlak.

Kadang-kadang  ada  yang  menganggap  seorang rawi itu dapat dipercaya, tetapi yang lain menganggapnya  dhaif.  Ada  pula yang  menentukan  beberapa  syarat  khusus  dalam  tema-tema tertentu   yang    dianggap    memerlukan    banyak    jalan periwayatannya,  sehingga  ia  tidak  menganggap  cukup bila hanya diriwayatkan oleh  satu  orang.  Hal  ini  menyebabkan sebagian   imam  menerima  sebagian  hadits  dan  melahirkan beberapa  hukum  daripadanya,  sedangkan  imam   yang   lain menolaknya  karena  dianggapnya tidak sah dan tidak memenuhi syarat sebagai hadits sahih. Atau ada alasan lain yang lebih kuat   yang   menentangnya,   seperti  praktek-praktek  yang bertentangan dengannya.

Masalah di atas banyak contohnya dan  sudah  diketahui  oleh orang-orang yang mengkaji hadits-hadits ahkam, fiqih muqaran (perbandingan), dan flqih mazhabi. Mereka  menulisnya  dalam kitab-kitab  mereka  yang  disertai dengan dalil-dalil untuk memperkuat   mazhabnya   dan   menolak   mazhab orang   yang bertentangan dengannya. Sebagaimana   perbedaan  nash  dari  segi  tsubut-nya,  maka perbedaan nash dari segi dilalah lebih banyak lagi.

Diantara nash-nash  itu  ada  yang  qath’i  dilalahnya  atas hukum,   yang   tidak  mengandung  kemungkinan  lain  dalam memahami dan menafsirkannya. Contohnya,  dilalah  nash  yang memerintahkan   shalat,   zakat,  puasa,  serta  haji  (yang menunjukkan wajibnya);  dilalah  nash  yang  melarang  zina, riba,  minum  khamar,  dan  lain-lainnya  (yang  menunjukkan keharamannya),  dan  dilalah   nash-nash   al-Qur’an   dalam pembagian  waris.  Tetapi  nash  yang  qath’i dilalahnya ini jumlahnya sedikit sekali.

Kemudian ada pula nash-nash yang  zhanni  dilalahnya,  yakni mengandung  banyak kemungkinan pengertian dalam memahami dan menafsirkannya.

Karena itu, ada sebagian  ulama  yang  memahami  suatu  nash sebagai  ‘aam  (umum),  sedangkan  yang  lain  menganggapnya makhsus (khusus). Yang sebagian menganggapnya  mutlak,  yang lain muqayyad. Yang sebagian menganggapnya hakiki, yang lain majazi. Yang  sebagian  menganggapnya  mahkam  (diberlakukan hukumnya),  yang  lain  mansukh. Yang sebagian menganggapnya wajib, yang  lain  tidak  lebih  dari  mustahab.  Atau  yang sebagian  menganggap  nash itu menunjukkan hukum haram, yang lain tidak lebih dari makruh.

Adapun  kaidah-kaidah  ushuliyyah  yang  kadang-kadang  oleh sebagian  orang  dikira sudah mencukupi untuk menjadi tempat kembalinya segala persoalan, hingga setiap  perbedaan  dapat diselesaikan   dan  setiap  perselisihan  dapat  diputuskan, ternyata dari beberapa segi masih diperselisihkan. Ada  yang menetapkannya,  ada  yang menafikannya, dan ada yang memilih diantara yang mutlak dan muqayyad.

Picture of admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter