alhikmah.ac.id – Dalam interaksi sosial, orang sering terlibat dengan orang lain dalam berbagai bentuk transaksi antar individu atau kelompok. Ada hubungan pinjam meminjam barang, penitipan, utang piutang, penunjukan jabatan dan lain-lain. Dari urusan paling kecil terkait antara dua orang, sampai urusan sebuah organisasi dan perusahaan hingga urusan paling besar yang melibatkan seluruh komponen masyarakat dan bangsa. Jika interaksi itu dibangun di atas prinsip dan transaksi yang benar maka selamatlah individu, kelompok masyarakat, perusahaan dan negara tersebut. Namun jika tidak, kehancuran, keretakan hubungan akan mengancam hubungan sosial.
Ajaran amanah dalam Islam terkait dalam dua dimensi hubungan. Dimensi hubungannya sebagai individu dengan sang Khaliq dan dimensi social terkait dengan orang lain. Islam mengajarkan kepada umatnya bahwa hidup ini adalah amanah, karunia kesehatan adalah amanah, anak, istri dan semua beban di pundak kita adalah amanah yang haknya harus ditunaikan sebaik-baiknya. Semua itu adalah tanggung jawab yang harus ditunaikan dengan baik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tunaikanlah amanah pada orang yang memberikan amanah itu kepadamu, dan jangan kau khianati orang yang pernah mengkhianatimu.” (HR. Al-Imam Ahmad dan Ahlus Sunan). Artinya, jangan bermuamalah dengan orang yang berkhianat itu sebagaimana dia bermuamalah denganmu, dan jangan membalas perbuatan khianatnya dengan perbuatan khianatmu. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/400) (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 240).
Hadits ini umum, meliputi amanah-amanah yang wajib ditunaikan oleh setiap orang berupa hak-hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti shalat, zakat, puasa, kaffarah, nadzar, dan yang lainnya, yang dia diberi beban untuk menunaikannya dan tidak perlu dilihat oleh hambahamba yang lain, maupun amanah berupa hak-hak hamba yang harus ditunaikan oleh sebagian mereka pada sebagian yang lain, seperti barang titipan dan yang lainnya yang diamanahkan oleh orang lain tanpa pengawasan secara terang-terangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menunaikan itu semua. Siapa yang tidak melaksanakannya di dunia ini, akan diberikan hukuman di akhirat nanti.
Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Bahkan nilai seseorang itu ditentukan oleh tingkat amanah seseorang. Semakin tinggi tingkat amanahnya, maka nilai dirinya di hadapan Allah. Sebaliknya semakin rendah amanah seseorang maka ia tidak bernilai di mata Allah dan dalam Islam. Prinsip ini diterapkan dalam seluruh aturan syariat Islam. Ketika menjelaskan kenapa seseorang harus dipotong tangannya hanya karena mencuri 4 dirham, seorang ulama menjelaskan rahasia syariat itu dengan ucapan hikmah: “Jika tangan itu amanah maka ia mahal dan jika berkhianat maka ia hina (tidak berharga)” Artinya tangan yang tidak amanah hanya dinilai dengan 4 dirham atau senilai 200 ribu. Sebaliknya jika jari kelingking yang dipotong orang tanpa alasan yang benar, maka diyatnya (denda) adalah 100 ekor unta.
Dalam hal ini Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin – rahimahullahu – mengatakan, “Menunaikan amanah termasuk tanda keimanan seseorang. Karena itu, jika kau dapati seseorang memiliki sifat amanah dalam segala sesuatu yang diamanahkan kepadanya, menunaikannya sesempurna mungkin, ketahuilah bahwa dia seorang yang kuat imannya. Dan jika kau dapati seseorang bersifat khianat, ketahuilah bahwa dia lemah imannya.” (Syarh Riyadhish Shalihin, 1/731).
Amanah yang dibebankan Allah kepada hambanya itu bermacam-macam. Di sini amanah sinonim dengan kewajiban dan beban seorang pribadi. Secara umum amanah itu dibagi menjadi dua; amanah individu dan social. Amanah bersifat individu misalnya amanah fitrah. Dimana Allah menjadikan fitrah manusia senantiasa cenderung kepada tauhid, kebenaran, dan kebaikan. Tugas manusia adalah menjaga dan melestarikan fitrahnya agar senantiasa selaras dengan syariat Allah dan waspada terhadap dorongan hawa nafsu agar tidak menyimpang. (Al-A’raf: 172). Amanah individu lainnya, adalah amanah taklif syar’i, dimana setiap hamba yang sudah memenuhi syarat tertentu dibebankan menunaikan kewajiban syariat Allah.
Selain itu amanah individu ada amanah tafaqquh fiddin (mendalami ilmu agama). Di satu sisi ini bertujuan menjaga agama itu sendiri dari campur tangan manusia. Di sisi lain ia sebagai rujukan manusia dalam urusan agama. “Tidaklah sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (At-Taubah: 122).
Sementara amanah bersifat sosial adalah amanah dakwah, dimana setiap Muslim berkewajiban menyampaikan Islam kepada masyarakat. Tujuannya adalah membangun masyarat Muslim sesuai dengan aturan Allah. Sehingga ia mampu menunaikan amanah lebih besar yakni amanah untuk mengukuhkan kalimatullah di muka bumi. Tujuannya agar manusia tunduk hanya kepada Allah swt. Dalam segala aspek kehidupannya.
Menyerahkan Urusan Kepada Yang Tidak Amanah
Menunaikan amanah bukanlah pekerjaan ringan. Bahkan langit, bumi dan gunung tidak mampu mengembannya. “Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.” QS. Al Ahzab: 72.
Manusia diberi beban amanah karena ia memiliki kemampuan berbeda dengan bendabenda padat. Manusia memiliki hati dan akal pikiran, keimanan, perasaan kasih sayang, empati kepada sesama yang mendukungnya menunaikan amanah.
Amanah itu menentukan nasib sebuah bangsa. Jika setiap orang menjalankan tugasnya dengan penuh amanah dan tanggung jawab maka selamatlah mereka. Sebaliknya jika diselewengkan maka hancurlah sebuah bangsa. Sehingga Rasulullah saw mengingatkan dalam sebuah haditsnya, “Bila amanah disiasiakan, maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk penyianyiaannya?. Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (Bukhari dan Muslim).
Namun demikian amanah itu memiliki tingakatan dan kadar berat ringannya. Beratnya amanah dipengaruhi oleh faktor kapabilitas dan ruang lingkup dan cakupan penunaiannya. Semakin tinggi kapabilitas seseorang, maka ia amanahnya semakin berat. Semakin tinggi jabatan seseorang dan semakin luas ruang lingkup tugasnya maka semakin berat pula amanahnya. Di sini bisa katakan bahwa amanah kepemimpinan adalah paling berat. Tak heran bila ayat-ayat Al-Quran yang memerintahkan amanah seperti di atas lebih ditujukan kepada para pemimpin, pejabat publik, dan penegak hukum. Karenanya, Islam memiliki perhatian besar terhadap masalah yang satu ini.
Karenanya, para ulama yang memiliki perhatian besar terhadap kepemimpinan dan politik Islam rata-rata memiliki buku khusus menguraikan hal ini. Ibnu Taimiyah misalnya memiliki buku “Al-Ahkam as-Sulthaniyah” (hukumhukum terkait kekuasaan). Di dalamnya Ibnu Taimiyah menguraikan urgensi kepemimpinan: ”Penunjukkan seseorang sebagai pemimpin merupakan salah satu tugas agama yang paling besar. Bahkan agama tidak akan tegak, begitu juga dunia tidak akan baik tanpa keberadaan pemimpin. Kemaslahatan umat manusia tidak akan terwujud kecuali dengan menata kehidupan sosial, karena sebagian mereka memerlukan sebagian yang lain. Dalam konteks ini, kehidupan sosial tidak akan berjalan dengan baik dan teratur tanpa keberadaan seorang pemimpin”.
Terkait hal yang sama Imam Ghazali menegaskan, “Dunia adalah ladang akhirat, Agama tidak akan sempurna kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah kembaran. Agama adalah tiang sedangkan penguasa adalah penjaganya. Bangunan tanpa tiang akan roboh dan apa yang tidak dijaga akan hilang. Keteraturan dan kedisiplinan tidak akan terwujud kecuali dengan keberadaan penguasa”.
Inilah yang menjadi alasan kenapa pemimpin itu memiliki amanah lebih berat di banding lainnya. Semakin tinggi cakupan kepemimpinannya semakin berat amanahnya. Itu juga diperjelas dengan sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan karenanya akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Amir adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Lelaki adalah pemimpin di tengah keluarganya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan atas anak-anaknya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentangnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang itu. Dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.” (Muttafaq ‘Alaih)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa memilih seseorang menjadi pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang yang lebih diridlo’i Allah dari pada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.”
Sayangnya di negeri ini amanah kepemimpinan dan jabatan diperebutkan secara massif. Tokoh dan pemimpin berlomba-lomba memperebutkan amanah itu. Masyarakat tidak memiliki jalan lain kecuali harus memilih mereka. Namun sebagai muslim tetap harus berprasangka baik kepada mereka bahwa itu dalam rangka kompetisi dalam kebaikan. Tugas kita adalah mengenal dan memiliki informasi watak, track record, moral, visi misi calon-calon pemimpin bangsa itu. Apakah watak dan moralnya diharapkan mampu mengemban amanah atau berpotensi menyimpang. Apakah visi dan misinya ingin menegakkan syariat Allah di bumi ini sehingga menjadi negeri makmur gemah ripah loh jinawi yang diberkahi Allah? Ataukah justru mempersempit ruang penerapan syariat Islam di segala bidang? – Wallahu a’lam bishshowab –