alhikmah.ac.id – Hari itu para santri Pesantren Abu Hurairah, Sapeken, Madura berkumpul di lapangan. Disaksikan para ustadz, tokoh masyarakat, wali santri, pejabat tingkat desa dan kecamatan mereka akan menjalani momen penting dalam kehidupan mereka. Mereka hendak diambil sumpah (ba’iat), khususnya santri yang hendak menjalankan tugas dakwah di luar daerah.Sudah menjadi ‘tradisi’ di Abu Hurairah, santri yang purna masa belajarnya, harus mengikuti tugas daerah selama setahun. Setelah menyelesaikan masa pengabdian itu, mereka baru boleh kembali ke pesantren untuk mengambil ijazah.
Termasuk yang mengikuti ba’iat itu adalah Manda Ikramullah (19) dan Firdausin (19). Dua santri kelahiran Sapeken ini mengikuti ikrar sumpah dengan sungguh-sungguh. Mereka memperhatikan setiap kalimat ikrar dengan penuh seksama.
Di antara isi ba’iat itu, antara lain, setiap santri mesti siap ditugaskan di manapun dan kapanpun. Lebih jauh lagi, mereka siap menerima azab dari Allah manakala mengkhianati sumpah.
Tidak hanya santri, orangtua santri juga di ba’iat. Isinya, antara lain, mendukung sepenuhnya tugas pengabdian anak dimanapun dan kapanpun. Orangtua juga disumpah tak bakal menarik anaknya, apapun alasannya, kecuali dengan takdir Allah.
Hingga upacara ba’iat usai, Manda dan Firdaus belum tahu hendak ditugaskan ke mana. Baru belakangan tahu, mereka berdua ‘dilempar’ ke Pulau Kera, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Santri yang lain ada yang ditugaskan di perbatasan Timor Timur dan Kupang. Ada juga yang bertugas di beberapa daerah di Sulawesi Selatan
Bagi Manda dan Firdaus, Pulau Kera adalah sesuatu yang asing. Di mana dan bagaimana persisnya pulau yang namanya mirip dengan nama binatang itu, mereka belum punya data.
Yang pasti, tahu bakal bertugas di tempat nan jauh, rasa sedih sempat menyelimuti hati Manda.
“Sedih karena bakal jauh dari orang-orang terdekat saya,” katanya kepada media ini di Pulau Kera pada suatu kesempatan.
Bersyukur Manda punya ibu yang bijak. Tahu anaknya lagi galau, ibunya datang memberikan nasihat. “Seorang dai,” kata sang Ibu, “tak boleh mengeluh. Kalian harus hijrah agar tahu jati diri kalian sendiri.”
Mendapat suntikan moril dari orang yang dihormatinya, hati Manda menjadi tenang. Ia pun bersiap berangkat. Setelah minta restu orangtua, Manda dan Firdaus bertolak mengarungi laut menuju Bali. Selama 12 jam ia berada di atas gelombang air luat bersama perahu ikan.
Dari Bali mereka kemudian terbang menuju Kota Kupang, NTT, dengan pesawat. Dari pelabuhan ikan Oeba, Kupang, perjalanan disambung dengan perahu tempel sekitar 40 menit.
Tidak ada ‘sponsor’ dalam perjalanan ini, semua biaya dirogoh dari kocek sendiri.
Dari Oeba, Pulau Kera hanya terlihat sebagai titik putih. Makin mendekat titik itu makin besar. Luas pulau ini sekitar satu kilometer persegi. Tidak ada kera –seperti namanya, yang ada hamparan pasir putih yang menyilaukan mata karena terpaan sinar matahari. Jika tak biasa, mata terasa sakit.
Masuk agak ke dalam pulau, akan ditemui gubuk-gubuk yang berserakan. Itulah rumah-rumah penduduk. Terbuat dari seng, bambu dan jerami, gubuk-gubuk itu berukuran 3 x 5 meter. Ada juga yang lebih kecil dari itu.
Di pulau ini tak ada listrik. Tidak ada sekolah. Tidak ada fasilitas kesehatan. Padahal jumlah penghuninya cukup banyak 80 kepala keluarga atau sekitar 350 orang.
Juga tidak ada air bersih. Untuk keperluan memasak, mereka harus mengambil air dari kota Kupang. Satu jiregen berisi 25 liter harganya 2 ribu rupiah.
Kata Syaiful Bahri, ustadz dari Hidayatullah, tiadanya fasilitas umum itu lantaran mereka masih dianggap penghuni liar oleh pemerintah Kupang. Karena itu mereka semua juga tidak ber-KTP. Warga sendiri sudah bolak-balik mendatangi pemerintah, tapi hingga kini mereka masih belum diakui sebagai penduduk Kupang. Padahal, masih kata Syaiful, mereka menghuni pulau itu sudah puluhan tahun lalu.
“Yang aneh lagi, meski tidak akui sebagai penduduk, kalau pemilu mereka disuruh mencoblos,” kata Syaiful yang sejak lama membina di Pulau Kera bersama dai dari Dewan Dakwah, Ustad Ramli.
Manda dan Firdaus datang pertama kali pada akhir Juli 2012, bersamaan dengan dai dari Dewan Dakwah, Rabithah Alam Islami. Hati Manda pedih melihat kondisi masyarakat Pulau Kera yang 99% Muslim. “Mereka sangat tertinggal dalam segala hal,” katanya. Rabithah menambahkan, “Mereka sudah tiga generasi ini mengalami buta huruf.”
Tantangan berat dihadapi tiga dai muda itu. Terutama tantangan air. “Pernah saya seminggu tidak mandi, karena tak tahun mandi air laut,” kata Rabithah. Sekali mandi ia terpaksa pergi ke Kupang. “Sekarang sudah biasa mandi air asin,” kata dai kelahiran Temanggung, Jawa Tengah ini.
Tetapi Manda bersyukur, kedatangannya diterima dengan baik. Mereka kemudian dibuatkan gubuk berukur 3 x 4 meter. Berlantaikan pasir, gubuk itu terbuat dari seng dan bambu. Di beberapa bagian masih nampak bolong, sehingga angin leluasa menerobos masuk ke dalam. Manda, Firdaus dan Rabithah tinggal di situ.
Mereka bertiga, setiap pagi mengajar ngaji anak-anak di masjid yang tak jauh dari gubuk mereka. Kini, ada sekitar 60 anak yang mengaji.
Tak hanya mengaji, setiap sore mereka juga mengajar Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Akidah dan Aklak. “Malamnya tidak ada aktivitas, karena tidak ada listrik,” ujar Manda.
Yang sedang mereka pikirkan adalah para remajanya. “Hampir remaja di sini tak ada yang sekolah, padahal jumlahnya cukup banyak,” kata Manda.
Kini, pemuda berkulit hitam manis ini berencana membentuk remaja masjid. Lewat wadah inilah ia hendak menularkan ilmunya kepada remaja di Pulau Kera.
Manda mengaku, mereka bisa diterima masyarakat dengan baik, bisa jadi karena Manda dan Firdaus berasal dari suku yang sama, suku Bajo. Kesamaan bahasa memudahkan mereka berinteraksi dengan masyarakat Pulau Kera yang mayoritas bekerja sebagai nelayan itu. Tak heran bila pada akhir pekan ia kadang ikut melaut membantu warga mencari ikan. Dari melaut itu ia juga mendapat bagian hasil. “Lumayan, bisa untuk beli jajan,” katanya. (hdytlh)