alhikmah.ac.id – Suatu hari saya hendak men-copy sebuah buku, saya pun harus menunggu lama karena banyaknya halaman yang akan dicopy, saya pikir daripada menunggu di tempat copian lebih baik pergi mencari sebuah tempat yang bisa membuat waktu menunggu menjadi tak terasa begitu lama, masjid di pusat kota Bandung (PUSDAI) akhirnya menjadi pilihan saya sekaligus melaksanakan shalat Zhuhur berjamaah di sana.
Sesampainya di masjid, nuansa religi senantiasa menawarkan ketenangan dan menjadi penawar keletihan seharian ini, maklum saja dari tempat saya tinggal di daerah Bandung bagian timur menuju Universitas tempat saya mengajar di tengah kota Bandung waktu tempuh dengan sepeda motor bisa lebih dari 45 menit, belum lagi ditambah kemacetan yang hampir setiap hari terjadi. Singkat cerita saya pun segera berwudhu karena adzan Zhuhur akan segera dikumandangkan .
Sebelum shalat dimulai, saya melihat banyak anak kecil berseragam sekolah berlarian kesana kemari, saling kejar-kejaran, berlarian dengan teman-teman seumurnya menuju tempat berwudhu, saya berpikir, kenapa juga ya mereka harus berlari kesana kemari?!
Dalam renungan saya, jika mau kita hubungkan dengan tujuan hidup seseorang di dunia, memang ada kalanya ia harus berlari mengejar cita-cita yang hendak dicapai, apalagi kalau cita-cita tersebut untuk menuju surga-Nya. Ia harus berlari layaknya para anak kecil yang dengan kencang berlari menuju tempat berwudhu, tentunya harus tetap berhati-hati dalam berlari agar tidak terpeleset, begitu seseorang yang berlari untuk mengejar akhirat, harus waspada.
Tanpa disadari kita sering kali berlari dalam mengejar hasrat duniawi, mengejar mimpi-mimpi dunia/cita-cita dunia, ingin punya modal dan cepat punya usaha, ingin bangun rumah yang bagus, ingin punya banyak tanah, ingin punya uang banyak dan hasrat normatif lainnya, akan tetapi tanpa disadari kita berjalan santai dalam menggapai redha Ilahi (akhirat).
Kita sering kali hitung-hitungan dalam berbagi kepada kerabat dan sesama, tapi seakan lupa bahwa Allah Taala tidak pernah hitung-hitungan dalam memberi karunianya kepada siapa saja yang dikehendaki, kadang diluaskan. kadang disempitkan dan Allah Taala sangat mudah untuk memberi rezki kepada hamba-hambaNya dari jalan yang tidak mereka sangka-sangka.
Kita sering kali membicarakan materi yang telah dimiliki oleh orang lain, sederet jabatan yang telah disandangnya, status sosial yang dimilikinya, usahanya yang laris manis, kendaraannya yang banyak dan sering bergonta-ganti, tanahnya di mana-mana hingga membuat kita seakan lupa segala nikmat yang Allah Taala berikan kepada kita dengan terus memikirkan nikmat yang ada pada orang lain.
Kita sering kali takut tidak mendapat pekerjaan dengan menjadi orang kantoran, pekerja di pabrik hingga di sebuah perusahaan, seakan tak bisa hidup selain menjadi pekerja, tapi berani mengabaikan kejujuran untuk terus bersemai di dalam diri, banyak orang memilih jalan pintas untuk cepat kaya tanpa peduli perkara halal haram, mengurangi takaran/timbangan saat berniaga, rela menyuap demi mendapat pekerjaan dan menipu orang lain hanya untuk mendapat sedikit keuntungan.
Kita sering kali berharap pada makhluk, berpura-pura baik di hadapan atasan karena takut dipecat, tapi tidak peduli dengan krisis tawakal yang sudah menggerogoti jiwa, lupa kalau Allahlah yang sejatinya memberi rezki kepada seluruh makhluk di alam semesta, yang penting seseorang itu tidak melupakan usaha dan tetap menjadi pribadi jujur.
Kita hampir saja lupa, kalau umur manusia di era global rata-rata hanya setengah abad, tentu tidak ada apa-apanya jika mau kita bandingkan dengan waktu para manusia menunggu untuk disidang di padang mahsyar selama 50 ribu tahun, jika dibandingkan dengan umur kita, berapa kali lipat jadinya!
Tipu daya dunia kadang kala membutakan mata hati dan menggelapkan pikiran seseorang, rutinitas sering menjebak manusia hidup dalam ego dan kepentingan kelompok, tak ayal KKN menjadi sulit diberantas karena krisis SDM yang berkualitas, kenapa demikian? Karena banyak orang lebih memilih untuk sibuk mengurusi hajatnya masing-masing daripada sibuk mempedulikan banyaknya fenomena sosial yang terjadi.
Coba perhatikan, banyak pekerja pergi pagi pulang petang, bahkan ada yang dari subuh sudah berangkat kerja dan pulang larut malam, berdesak-desakan di tengah kerumunan kendaraan dan kerumanan manusia, tapi tetap saja penghasilannya ada yang pas-pasan, hanya cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari, bahkan tak pernah bisa menabung, parahnya mengaji dan berdoa pun menjadi semakin jarang seiring dunia yang terus menyibukkannnya.
Di suatu pagi kala embun masih enggan menyapa, seorang pekerja bangunan menyapa saya, sebutlah namanya fulan, ia tinggal di daerah Bandung selatan, pekerjaannya tidak tetap, di mana ada tawaran proyek maka di situlah ia kerjakan, ia menuturkan bahwa gaji yang didapatnya perhari dari kerja bangunan hanya sekitar 100 ribu rupiah, dipotong untuk makan sekitar 20 ribu rupiah. Dengan penghasilan ini ia mengeluh kepada saya, uang yang didapat hanya pas untuk mencukupi kebutuhan jajan anak dan belanja istrinya.
Saya pun tidak banyak berkomentar menanggapi keluhan sang pekerja tersebut, hanya sedikit kata, “Alhamdulillah kita ini masih bisa makan, coba bayangkan di kota-kota besar seperti Jakarta banyak orang yang sulit cari makan dan masih tinggal di kolong jembatan, saya tambahkan sedikit padanya, coba jalani dan syukuri saja nikmat hari ini, toh kita hidup di masa sekarang, yang belum ada tak usah dipikirkan, kuncinya hanya dua yaitu pandai bersyukur dan pandai bersabar.
Di zaman sekarang ramai-ramai orang belajar urusan/ilmu duniawi, tapi sedikit sekali mereka yang ingin mendalami ajaran Ibrahim (ajaran agama), indikasinya jelas, jumlah mahasiswa di Universitas Islam Negeri maupun swasta kebanyakan mengambil jurusan umum.
Ada seseorang perempuan yang meminta untuk dicarikan jodoh oleh saya, tapi ia berkata “oh ya kalau bisa jangan dari kalangan santri ya!!” hmm… Saya hanya bisa tersenyum. Entah apa yang ada di pikirannya, sambil berusaha berpikir positif, mungkin saja ia memang ingin calon suami dari kalangan umum.
Sebagian orang ada yang berpendapat bahwa kalangan santri terkesan kolot, tidak kenal kemajuan, kemana-mana hanya memakai sarung dan peci, bahkan yang lebih heboh lagi ada yang menganggap orang yang belajar jurusan agama rezkinya hanya sebatas menjadi guru ngaji, masa depannya suram. Halah!
Indikasinya banyak para orangtua lebih memilih memasukkan anak-anaknya ke sekolah umum dan sebagian orang merasa takut jika anaknya masuk pesantren, saya katakan memang takut, takut anaknya tidak mempunyai masa depan yang cerah. Hal ini pun turut saya rasakan dari lingkungan kerabat saya.
Padahal kalau mau kita lihat, bukankah para santri sudah pernah mewarnai negeri ini, ada dari mereka yang sudah jadi Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Pengusaha, Politikus, artis dan lain-lain.
Sedikit berbagi cerita, ketika remaja, saya termasuk orang yang terobsesi untuk ikut membicarakan hegemoni barat, makanya sangat wajar banyak orang yang ingin kuliah atau pergi berlibur ke barat/Amerika, termasuk saya.
Dalam sejarah hidup saya, bahasa Inggris adalah bahasa asing pertama yang saya pelajari jauh sebelum saya mengenal bahasa Arab di lingkungan pesantren, pelajaran IPA dan Matematika adalah kegemaran saya sewaktu kecil jauh sebelum saya berinteraksi dengan pendidikan agama.
Kursus-kursus bahasa asing (Inggris & Perancis) pernah saya masuki, kursus di LIA, ICLF (International culture language foundation), GIC (Galung international culture), hingga Universitas Amerika di Kairo, konon katanya Universitas ini hanya ada di dua negara di tanah Arab yaitu Mesir dan Lebanon. Saya berhasil lulus dari Univesitas Amerika pada tahun 2005 kelas “Conversation” dengan nilai “Excellent”. Tapi apa ini sebuah kebanggaan!?
Sewaktu sekolah di SDN 29 Mekarjaya Depok nilai IPA dan Matematika saya lebih besar dari nilai-nilai yang lain, saya juga pernah mendapat nilai tertinggi ketika ulangan pelajaran Matematika di PONPES Darunnajah Bogor. Tapi apa ini sebuah kebanggaan!?
Semasa kuliah S1 & S2, saya berhasil menamatkan studi tepat waktu walau nilai akumulatifnya hanya “Cukup”, program S1 saya selesaikan pada tahun 2008 di Universitas Al Azhar Kairo-Mesir selama 4 tahun, menurut data KBRI Kairo presentasi tingkat kegagalan di Mesir sangat tinggi kala itu, bandingnya antara sekitar 90 % (tidak tepat waktu) dan hanya sekitar 10 % (tepat waktu), jumlah mahasiswa Indonesia di Mesir pada angkatan saya lebih dari 1000 orang pada tahun 2004.
Adapun S2 saya selesaikan selama 2 tahun dan di tempat saya belajar, saya adalah orang Indonesia kedua dalam sejarah mahasiswa Indonesia di negeri seribu benteng Maroko yang lulus program master bidang “kaidah fiqih” di Universitas Cidi Mohammed Ben Abdellah kota Fes kerajaan Maroko-Afrika Utara. Tapi apa ini sebuah kebanggaan!?
Sekedar tahadduts binni’mah (membicarakan nikmat Tuhan), sepulangnya dari negara-negara Arab, tahun 2013 saya mencoba mengikuti beberapa test untuk menjadi dosen tetap di perguruan tinggi negeri maupun swasta, kendati gagal pada test kedua “TKB CPNS”, pada hasil psikotes untuk CPNS, saya berhasil lolos dan masuk 13 besar dari lebih 60 pelamar tingkat nasional calon dosen PAI yang memperebutkan 2 formasi dosen di Universitas Negeri.
Namun pada tes lainnya saya berhasil masuk di perguruan tinggi swasta, kala itu pelamar yang lulus seleksi berkas sekitar 200 orang dan yang tersaring (lulus) melalui beberapa tes (TKD, TKB dan Test kesehatan) mengerucut menjadi 20 orang saja mewakili 10 fakultas di tempat yang saya tuju dan saya berhasil merebut satu formasi yang dijatahkan pada fakultas tempat saya mengajar sekarang. Tapi apa ini sebuah kebanggaan!?
Jujur saja, saya baru belajar/mengenal tentang materi psikotes, lulus atau gagal bagi saya tidaklah penting, yang terpenting adalah berusaha dan menguatkan doa kepada Allah dalam menggapai tujuan, apapun hasilnya kita serahkan pada-Nya.
Karena apapun jenis capaian duniawi seperti pintar dalam masalah eksak, menguasai banyak bahasa asing, pandai dalam bermusik, birokrat, diplomat, jago berbisnis, lihai berpolitik, menjadi pesohor, penulis hebat dan lain-lain), jika kita perhatikan sejatinya bisa dicapai oleh seseorang jikalau niat dan usahanya juga seimbang. Tinggal bagaimana ia bisa menghargai sebuah proses dan bersabar untuk mewujudkan cita-citanya.
Pada hakikatnya siapa pun yang bekerja keras, Allah Taala akan sampaikan pada tujuannya, kendati maksud yang hendak dicapai berorientasikan kepada ambisi personal dan kenikmatan duniawi semata, sedikit pun Allah Taala tidak akan mengurangi hasil dari jerih payahnya
Tengoklah Korun, seorang yang sukses dalam urusan dunia karena kekayaannya begitu melimpah ruah sehingga banyak membuat orang di sekitarnya menjadi silau akan harta miliknya dengan berharap nasib mereka sama seperti Korun. Saking kayanya setiap harta yang ditemukan oleh seseorang diistilahkan “harta karun”.
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.” (Huud: 15)
Ada sebuah teori normatif: Tiada manusia yang terlahir pintar, yang ada adalah manusia yang malas. Bahkan ada sebuah pepatah bijak:
- Jangan malas sebelum pintar, boleh malas kalau sudah pintar tapi alangkah sayangnya tiada orang pintar yang malas.
- Orang yang kepintarannya biasa saja tapi rajin dan mau belajar sejatinya bisa mengalahkan orang yang pintar tapi malas.
- Orang pintar, ia malas hidup dengan rutinitas membosankan, sehingga ia membuat hidup menjadi lebih bergairah dengan berani menghadapi tantangan, membuat terobosan dan inovasi.
Adapun cikal bakal orang yang gagal adalah mereka yang rajin hidup bersama kemalasan tanpa ide, gagasan dan kebutuhan. Setiap manusia pastilah mempunyai kebutuhan sedangkan orang yang tidak mempunyai kebutuhan adalah orang yang sakit.
Seseorang yang sedang atau sudah berlari mengejar urusan akhiratnya, ia akan pandai dalam memahami isi kandungan Alquran dan Hadits dengan kemampuan bahasa Arab yang Allah Taala karuniakan kepadanya seraya pandai mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kesibukannya di dunia tidak serta menjadikan ia lupa akan tujuan hidup sebagai seorang hamba Tuhan.
Seharusnya umat Islam di negeri ini tidak melulu membicarakan hegemoni barat, yang dibutuhkan saat ini adalah berlari meninggalkan segala ketertinggalan dalam menggapai redha Ilahi, melupakan kesedihan di masa lalu, karena Syaitan sejatinya menjadikan seseorang minder (sulit move on) dengan dosa, angan dan keterlambatannya dalam mengejar akhirat.
Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, Padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. (An-Nisaa: 20)
Hidup bukan saja bicara pada hitung-hitungan seperti matematika, walaupun ilmu ini juga bisa menguak berbagai rahasia baru dalam ilmu pengetahuan, namun bukan patokan untuk menjadikan seseorang sukses saat bertemu Rabbnya.
Semua kebanggaan, capaian prestasi, status sosial sejatinya akan sirna jika tidak diiringi dengan sujud penghambaan dari seorang hamba kepada Rabb semesta alam. Sepintar apapun, sekaya apapun dan sehebat apapun seseorang. ia hanyalah manusia lemah yang kelak membutuhkan syafaat dari seorang nabi bernama Muhammad.
Idealnya sebuah kebanggaan adalah mendapatkan kebaikan dunia berupa kebahagiaan, bisa menggapai cita-cita yang diimpikan, mendapat kehidupan layak dan memiliki akhlak mulia.
Seseorang yang orientasi hidupnya untuk kehidupan akhirat, ia akan senantiasa menjadikan dunia sebagai ladang amal untuk bekal di kehidupan yang berkekalan kekal, ia akan bekerja keras bukan pada urusan dunianya saja, tapi dalam urusan akhirat pun ia begitu semangat mengejarnya, seraya memohon pertolongan kepada Allah Taala dalam setiap langkahnya dan tidak merasa rendah diri di hadapan manusia.
Seseorang yang orientasi hidupnya untuk kehidupan akhirat, ia akan senantiasa waspada dengan segala tipu daya dunia yang melenakan, selain mengharap kesuksesan dalam urusan duniawi, ia juga lebih berharap untuk bisa sukses dalam urusan ukhrawi dengan berusaha mendapatkan kebahagiaan di akhirat kelak berupa Surga. Kenapa demikian?
Karena definisi sukses bagi seorang muslim bukan saja bicara pada bagaimana seseorang bisa sukses mengisi lembaran kehidupannya, melainkan bagaimana ia membuat sejarah manis dalam mengakhiri kehidupannya dengan mendapat predikat “husnul khatimah” dan tidaklah disebutkan kata “kebahagiaan” dalam Alquran kecuali di satu tempat:
“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka mereka berada di dalam surga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya. ” (Huud: 108)