alhikmah.ac.id – Syawal memang sudah berlalu, namun bermaaf-maafan sebagai tradisi idul fitri tetap bisa dilakukan kapanpun dan di manapun. Justru yang masih banyak dilalaikan orang adalah melakukan ibadah sunah setelah idul fitri. Ibadah sunah utama yang perlu dilakukan yaitu berpuasa syawal. Rasulullah saw bersabda, ”Siapa berpuasa Ramadhan kemudian diikuti puasa 6 hari di bulan Syawal, maka (nilainya) sama dengan puasa setahun penuh,” (HR Muslim). Berpuasa syawal tidak harus langsung sesudah hari Id dan tidak harus berturut-turut. Bagaimana dengan kita? Apakah kita melakukannya? Jangan sampai kesibukan berlebaran melalaikan kita melakukan ibadah sunah yang pahalanya luar biasa.
Hari raya lebaran telah berlalu. Namun suasananya masih kental terasa. Para sanak saudara masih saling mengunjungi bahkan ada yang baru berangkat mudik untuk silaturahin spesial di hari raya. Ini menjadai tradisi di negara indonesia. Tradisi yang baik, namun benarkah bila bermaaf-maafan hanya khusus dilakukan di hari raya?
Tahukah engkau saudaraku, bermaaf-maafan tidaklah mesti dikhususkan pada saat hari raya ‘Idul Fithri. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya tidak pernah mengajarkan dan mengkhususkan untuk bermaaf-maafan saat sebelum dan sesudah puasa. Bahkan pada hari raya ini sebenarnya merupakan hari di mana kaum muslimin diberi keleluasaan untuk bersenang-senang dan menghibur diri setelah lelah beribadah, walaupun lebih utama berpaling dari itu.
Bermaafan dihari raya bisa melalui berbagi cara. Tidak melulu harus saling bertemu, berjabat tangan untuk saling memaafkan. Meskipun akan terasa lebih afdhol jika bermaafan langsung bertemu dengan orang yang dimaksud. Karena dengan berjabat tangan langsung akan terasa kedekatan dan persaudaraan. Ketika berjabat tangan, terdapat keutamaan yang telah disampaikan oleh qudwah kita Baginda Rasulullah saw, bersabda: “Tidaklah dua orang muslim bertemu kemudian berjabat tangan kecuali akan diampuni dosa keduanya selama belum berpisah.” (Shahih Abu Daud, 4343). Hadis lain dari Hudzifah bin Al Yaman, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya seorang mukmin jika bertemu dengan mukmin yang lain, kemudian dia memberi salam dan menjabat tangannya maka dosa-dosa keduanya akan saling berguguran sebagaimana daun-daun pohon berguguran.” (Diriwayatkan oleh Al Mundziri dalam At Targhib dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah, 525)
Ketika halal bihalal, saling bermaafan dengan berjabat tangan juga dapat menimbulkan rasa cinta antara orang yang saling bersalaman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maukah kalian aku tunjukkan suatu perbuatan yang jika kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai?” yaitu: “Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim 93). Jika semata-mata mengucapkan salam bisa menimbulkan rasa cinta maka lebih lagi jika salam tersebut diiringi dengan jabat tangan.
Namun jangan diabaikan aturan jabat tangan antar lawan jenis yang sudah diatur dalam Islam. Jangan karena mengutamakana kebaikan berjabat tangan ketika saling bermaafan, lalu membuat antar lawan jenis berjabat tangan. Sebuah kisah dizaman Rasulullah saw, Dari Umaimah binti Raqiqah radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: “Aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama sekelompok wanita yang membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk islam. Para wanita itu mengatakan: “Wahai Rasulullah, kami berbaiat (berjanji setia) kepadamu untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak kami, tidak berbohong dengan menganggap anak temuan sebagai anak dari suami, dan menaatimu dalam setiap perintah dan laranganmu.”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Dalam masalah yang kalian bisa dan kalian mampu.” Para wanita itu mengatakan: “Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih menyayangi kami dari pada diri kami sendiri, mendekatlah, kami akan membaiatmu wahai Rasulullah!
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita (yang bukan mahram), ucapanku untuk seratus wanita itu sebagaimana ucapanku untuk satu wanita.” (HR. Ahmad 6/357 & disahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah, 2/64)
Ditegaskan kembali dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik dari pada dia menyentuh tangan wanita yang tidak halal baginya.” (HR. At Tabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir, 20/212/487 & Ar Ruyani dalam Al Musnad, 2/323/1283)
Jika demikian aturannya, maka seperti apapun kondisi silaturahimnya, kita harus menjaga diri ketika yang akan kita ajak berjabat tangan adalah lawan jenis kita. Tentunya tetap dengan murah senyum sambil meletakkan tangan di dada dan tidak menyambut ajakan lawan jenis untuk berjabat tangan.
Mudah-mudahan kita bisa menerapkan dengan baik. Ssehingga keberkahan saling memaafkan dihari raya tetap merekah dimanapun kita berada.
Wallahu’alam bishowab