alhikmah.ac.id – Rumah yang mereka tempati sederhana. Sesederhana penghuninya. Bukan milik mereka berdua, namun rumah dinas. Shaila, perempuan yang tengah hamil tua itu tersenyum menyambut kedatangan kami berlima, tamunya. Kami memang sudah lama tidak bersua, bahkan semenjak Shaila belum menikah dengan Rais, yang masih kuliah hingga sekarang.
“Alhamdulilah kami bisa menempati rumah ini!” kata Shaila mengawali bincang-bincang kami, sementara saya melihat-lihat sudut-sudut ruangan yang nampaknya belum selesai dibersihkan. Maklum baru ditempati.
Sambil melemparkan pandangan kesana-kemari, dalam hati saya berpikir, betapa beratnya membersihkan rumah yang lama nampaknya tidak ditempati ini. Rumah dinas itu konon sudah lebih dari sepuluh tahun tidak dihuni. Bisa dibayangkan betapa beratnya kalau kita harus membersihkan dan merapikan perabotan dalam bulan-bulan pertama. Kelelahan yang saya bayangkan ini ternyata tidak tergambar dalam raut muka si empunya rumah. Sebaliknya, Shaila dan Rais justru penuh senyuman yang membuat kami makin betah tinggal disana. “Rumahku Surgaku”. Barangkali begitu prinsip mereka!
Pertemuan Shaila dan Rais terjadi karena si Rais aktif mengurusi pengajian kelompok. Demikian pula Shaila. Ada 5 orang pemuda sebaya Rais yang barangkali karena semangatnya sebagai pemuda dan pelajar, sehingga urusan pengajian menjadikan sebagian kegiatan yang menyenangkan. Tinggal di luar negeri, belajar sambil beribadah, mengurusi pengajian kelompok masyarakat mereka.
Rais dan Shaila dipertemukan oleh Allah SWT karena kegiatan positif ini. Tidak ada satu kekuatanpun yang mampu menghalangi yang satu ini, jodoh, jika sudah dikehendaki olehNya. Meski si Shaila sudah bekerja dan Rais masih sekolah. Meski keduanya belum bisa dikatakan siap secara finansial. Meski si Shaila waktu itu diliputi kebingungan kelak akan tinggal di mana jika sudah menikah. Dan masih banyak “meski-meski” lainnya. Allah SWT-lah yang menentukan. “Kun..! (Jadilah!)” maka, jadilah mereka sepasang suami-istri yang sah. Subhanallah!
Shaila semula tinggal di sebuah asrama bujangan milik pemerintah. Dua kamar dalam satu flat. Sesudah pernikahannya dengan Rais, Shaila memang belum mampu untuk pindah keluar dari asrama dan mencari pondokan sendiri. Sementara Rais yang masih sekolah, juga tinggal di asrama pelajar. Jadi sebagai suami-istri, mereka “mencuri-curi” kesempatan.
Shaila menyadari bahwa jikalau Rais datang ke asramanya, meski mereka sudah menikah, teman se-flat Shaila nampaknya kurang senang. Naluri kewanitaan Shaila yang membaca suasana ini. Sehingga Rais hanya datang di kala teman Shaila sedang bertugas atau tidak ada di rumah. Kalaupun terpaksa, biasanya Shaila melarang Rais untuk tidak keluar kamar selagi teman Shaila ada di kamar sebelah. Entah apa yang membuat Shaila sepertinya takut sekali terhadap rekan sekerja di asramanya. Yang jelas Shaila memang tidak ingin menyakiti hatinya, sekalipun Rais adalah suami Shaila yang sah.
Waktupun terus berlalu. Nampaknya teman se-flat Shaila, sebut saja Ira namanya tidak betah melihat “pemandangan” di depannya. Shaila menyadari betul situasi ini. Kamar yang ditempatinya memang bukanlah disediakan untuk keluarga. Adalah ilegal jika keluarga tinggal di dalam asrama. Shaila tahu betul akan peraturan yang satu ini. Hanya saja, karena Shaila sudah berumah-tangga, sementara sang suami juga tinggal di asrama pelajar, satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi hal ini adalah harapan Shaila terhadap rekan se-flatnya untuk mengerti akan keadaannya. Ternyata harapan Shaila tak tersambut.
Perang dingin pun terjadi. “Kan sudah aku kasih tahu, kenapa mau juga masih bawa suamimu ke sini,” tanya Ira suatu hari. Menyadari akan kesalahan ini, Shaila hanya diam. “Kalau kamu masih ulangi lagi, saya akan laporkan, bahwa kamu membawa orang lain ke kamar!” ancam Ira terhadap Shaila.
Shaila yang penakut, semakin gelisah mengingat ancaman-ancaman dan sikap yang semakin tidak bersahabat dari Ira semenjak pernikahannya dengan Rais. Padahal dulu sikap Ira tidaklah demikian. Bahkan kala menyelenggarakan pengajian bulanan atau arisan bersama, mereka selalu nampak rukun dan bekerja sama menangani segala kebutuhan kelompok. Apa yang menyebabkan si Ira begitu berbeda adalah di luar jangkauan Shaila. Makanya Shaila amat sedih dibuatnya.
“Bagaimana jika kita pindah saja dari sini? Apapun yang terjadi, barangkali itu lebih baik ketimbang hubungan saya dan Ira semakin keruh!” begitu keluh Shaila kepada Rais suatu hari. “Tapi pindah ke mana? Status saya tidak memungkinkan, apalagi saya tidak memiliki penghasilan, kecuali uang saku yang teramat sedikit jumlahnya jika dibandingkan dengan jumlah kebutuhan bulanan kita,” si Rais mencoba menjelaskan sekali lagi kepada Shaila tentang keadaannya, sekalipun Shaila sebenarnya sudah mengerti.
Shaila mendengar berita bahwa kisah suaminya yang sering menginap di asrama puteri sudah sampai “ke atas”. Artinya, ada orang yang melaporkan ke sana, yang membuat hatinya semakin sedih. Sebelum Shaila menerima surat peringatan akan hal ini, dia berharap segera mendapatkan jalan keluar.
Beberapa saat sesudah itu, Rais ketemu Zulkarnaen, rekan sepengajian. Sebagaimana biasa, perbincangan mereka dari yang sifatnya umum, merambat kepada persoalan rumah tangga. Hingga sampailah kepada permasalahan kamar mereka. “Bagaimana kalau tinggal di tempat kami saja? Biar aku tinggal di kamar sebelah bersama rekan.” Begitu ungkap Zulkarnaen mencoba menwarkan jasa baiknya.
Rais terdiam, antara senang dan susah. Sebegitu besar pengorbanan mereka. Demikian batinnya. Dalam hati dia tidak ingin menyusahkan temannya, namun dilain pihak, dia juga tidak tega melihat sang istri Shaila menderita batin di asrama manakala Rais mengunjunginya. Lagi pula, sebagai suami-istri mereka tidak selalu bisa bertemu setiap hari karena kendala yang selama ini mereka alami.
Semula Rais berharap-harap cemas atas berita yang akan disampaikan oleh Zulkarnaen hari itu. Rais tahu betul sifat Zulkarnaen yang jika membantu seseorang tidak sebedar di bibir. “Subhanallah. Terimakasih Zul…!” kata Rais ketika Zulkarnaen menyampaikan berita bahwa rekan se-flatnya tidak keberatan akan niat baik Zulkarnaen, yang pula tinggal di apartemen milik pemerintah, untuk bujangan pria. Akhirnya Shaila dan Rais pindah ke flat tempat Zulakrnaen. Legalah perasaan mereka. Di sinipun mereka tinggal gratis. Rais berpikir toh mereka tidak akan selamanya tinggal disana.
Rupanya kepindahan mereka kali inipun belum menjanjikan perbaikan nasib. Karena selang beberapa minggu kemudian, mereka mendapatkan berita “buruk”. Bahwa pada dasarnya mereka tidak memiliki izin tinggal di asrama tersebut. Ada orang yang kurang senang yang melaporkan kejadian tersebut ke kantor pusat yang mengurusi pemondokan itu.
Batin Shaila kembali menangis. Shaila bingung sekali menghadapi kenyataan ini. Bingung karena harus pergi ke mana. Si Rais, meski sebagai suami, namun belum mapan ekonominya, juga dihadapkan pada persoalan yang amat pelik. Tidak pindah ini melanggar hukum dan dapat tekanan, mau pindah ini uang dari mana untuk beaya sewa rumah? Apa yang dikuatirkan kemudian terjadi. Sepasang suami-istri ini kemudian menerima surat panggilan dari dinas, yang mengurusi pemondokan mereka, termasuk Shaila.
Dalam kegaduhan yang tidak menentu, mereka esoknya menemui sang manager. “Orang-orang kamu ini bagaimana sih? Yang melaporkan kamu ini juga orang-orang dari bangsamu sendiri, bukanya orang lain!” Kata sang manager, menyatakan bahwa laporan yang diterimanya adalah dari orang-orang yang tidak lain adalah rekan-rekan kerja Shaila sendiri. Rasanya malu sekali Shaila mendengarnya.
Rais dan Shaila makin bergetar hati menunggu vonis yang bakal mereka terima nanti sebagai konsekuensi tinggal mereka yang tanpa izin. Namun betapa mereka terkejut ketika sang manager memberikan sebuah kunci, dan “Mulai besok, kamu harus keluar dari apartemen Zulkarnaen. Ini kunci rumahnya, dan kamu bisa tinggal di sana mulai besok. Tolong dibersihkan, karena rumah tersebut sudah lama tidak ada penghuninya!”
“Subhanallah!” Begitu ungkap Rais dan Shaila menerima berkah dari Allah SWT. Mereka semula sangat takut. Namun, siap menerima sangsi yang bakal diberikan. Hari ini, bukannya hukuman yang mereka terima, tetapi hadiah. Shaila menangis! Terharu menghadapi semua kenyataan ini.
Shaila jadi ingat ketika suatu hari Rasulullah SAW bersama Umar r.a sedang melayat, di tengah jalan mereka ketemu seorang Yahudi, Zaid Bin Su’nah namanya. Tiba-tiba ghamis Rasulullah SAW ditarik dengan keras olehnya, sambil berkata kasar “Hai Muhammad, kembalikan hutangmu..!” sementara itu, leher Rasulullah, karena tarikan keras ghamisnya, membekas kemerahan. Melihat sikap kasar tersebut, nyaris Umar r.a. membabat leher si Zaid. “Kalau bukan karena Rasulullah melarang, sudah aku tebas kepalamu!” kata Umar. “Umar, mestinya aku dan dia lebih membutuhkan perkara yang lain!” kata Rasulullah, maksudnya nasihat. Rasulullah SAW membutuhklan nasihat untuk melunasi hutangnya dan si Zaid membutuhkan nasihat untu meminta hutangnya dengan baik. “Umar, berikan hak-haknya, dan tambahkan dua puluh sa’ kurma!” perintah Rasulullah SAW kepada Umar r.a.
Melihat Umar membawa serta hutang ditambah 20 sa’ kurma, sang Zaid terkejut. “Ada apa ini Umar?” “Rasulullah memerintahkan saya untuk memberikan ini kepadamu sebagai imbalan kemarahanmu!”
“Siapa kamu sebenarnya? Kenapa kamu berbuat demikian kasar terhadap Rasulullah?” kata Umar. “Saya Zaid bin Su’na. Pendeta Yahudi. Saya sudah mengamati sejak dari dulu tanda-tanda kenabian yang ada pada Muhammad, kecuali dua hal: kesabarannya bisa memupus kejahilan dan kejahilan yang ditujukan kepadanya bisa menambah kemurahan hatinya. Karena itu ketahuilah ya Umar, aku bersaksi bahwa tiada Tuha selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah.”
Esok harinya Shaila dan Rais berkemas menuju rumah “baru” mereka, sebagai “buah” kesabaran yang selama ini mereka jalani. Rumahnya kotor sekali. Perabotan-perabotan yang ada di dalamnya sudah banyak yang rusak. Shaila merapikan perabotan-perabotan tersebut. Bahkan korden pun dia lipati karena kuatir ada orang lain yang memilikinya. Meja kursi pun banyak yang patah kakinya. Sepasang suami istri ini menggotong bersama barang-barang tersebut ke tepi. Karpet rumah juga sudah tidak lagi layak dipakai. Debunya barangkali bisa diukur dalam hitungan centimeter.
Hari kedua sesudah mereka bersihkan rumah, sang manager datang lagi. Kali ini bukan melihat hasil bagaimana mereka membereskan rumah yang tidak dihuni selama sepuluh tahun tersebut. Sebaliknya dia membawa barang-barang kebutuhan rumah, termasuk meja-kursi baru, korden, karpet, dan sebagainya, untuk pasangan muda tersebut.
Subhanallalah. Melihat Rais dan Shaila saya jadi teringat betapa kita kadang tidak pernah sabar dalam menghadapi sebuah cobaan. Bukannya syukur yang terungkap namun cemoohan. Padahal Allah SWT selalu akan menggantikannya dengan yang jauh lebih baik. Mungkin saja tidak sekarang tapi nanti. Dan itu pasti!
Sebagaimana kisah Rasulullah SAW dan Pendeta Yahudi Zaid yang diriwayatkan oleh Hadist Riwayat (HR) Hakim diatas, ternyata sabar selalu berbuah positif bahkan mampu memupus kejahilan. Tidak ada kamus kalah-menang untuk urusan yang satu ini. Dan, sekiranya kesabaran diterapkan sebagai sebuah ibadah, seperti yang dialami Rais dan Shaila, tidak ada istilah kesengsaraan dalam lembaran-lembaran kehidupan. Yang ada hanyalah kenikmatan yang tertunda!