Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah
alhikmah.ac.id – Sendi stabilitas dunia ada empat: Keberdayaan ulama (dengan ilmunya), keadilan para penguasa, kedermawanan orang-orang kaya dan doa para fuqara. Bila salah satu sendi tak berfungsi sebagaimana mestinya, maka akan terjadi instabilitas dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Ulama secara etimologis adalah jama’ dari kata ‘alim’ yang artinya orang yang memiliki ilmu, yang membawanya takut hanya kepada Allah :
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” Al Fathir: 28
Dari sini berarti pengertian ulama tidak hanya terbatas pada orang-orang yang memiliki kafa’ah syar’ iyah -latarbelakang bidang agama- saja, tapi juga mencakup semua ahli dalam bidang keilmuan apapun yang bermanfaat, dengan syarat ilmu yang dikuasainya membawa dirinya menjadi orang yang memiliki rasa khasyyah (rasa takut) kepada Allah swt. Rasa khasyyah inilah yang mendorong para ulama untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Karenanya dalam pengertian ini para kader dakwah adalah para ulama yang berperan sebagai ‘waratsatul anbiya’ (pewaris para nabi) yang selalu melakukan tawashau bil haqqi dan tawashau bis shabri (saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran).
Ada beberapa hal yang menuntut para kader dakwah untuk melakukan tawashau bil haqqi dan tawashau bis shabri:
Khairiyyatul haadzihil ummah (kebaikan umat ini) terletak pada konsistensi pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi munkar. Bila amar-ma’ruf dan nahi munkar tidak dilaksanakan maka akan hilanglah salah satu ciri kebaikan umat Islam ini.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُون
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” Ali Imran: 110
Kader dakwah adalah stabilisator umat yang menjadi tumpuan utama masyarakat. Ciri utama kader dakwah yang menjadi stabilisator umat adalah senantiasa melakukan ‘ishlah’ (perbaikan). Seorang kader dakwah tidak cukup hanya menjadi seorang yang shalih saja tapi harus menjadi seorang ‘mushlih’ (men’shalih’kan orang lain). Orang-orang yang shalih saja tidak cukup untuk menjadi penyelamat umat dari kehancuran.
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya: “Apakah kita akan dihancurkan walaupun di antara kita terdapat orang-orang sholihin.”? Rasulullah saw. menjawab, “Ya”, bila terdapat banyak kebobrokan atau keburukan. Allah swt. menegaskan dalam surat Huud ayat 117 yang artinya: Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zhalim sedang penduduknya orang-orang yang melakukan ishlah (perbaikan).
Di antara ciri manusia yang tidak akan merugi adalah sebagaimana yang diungkap dalam surat Al-Ashr, yaitu senantiasa saling menasihati dengan kebenaran (saling menasihati untuk melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah) dan saling menasihati dengan kesabaran (maksudnya saling menasihati untuk bersabar menanggung musibah atau ujian). Surat ini amat penting sehingga ada riwayat dari Imam At-Thabrani dari Ubaidillah bin Hafsh yang menyatakan bahwa dua orang sahabat nabi bila bertemu, maka tidak berpisah kecuali membaca surat Al-Ashr, kemudian mengucapkan salam untuk perpisahan.
Imam As-Syafi’i pernah mengatakan: “Seandainya manusia mau merenungi kandungan surat Al-Ashr, pasti cukuplah itu bagi kehidupan mereka.” (lihat Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, Juz III hal 674)
Di antara hak seorang muslim dengan muslim lainnya adalah bila dimintai nasihat oleh saudaranya tentang sesuatu maka ia harus memberinya, dalam artian ia harus menjelaskan kepada saudaranya itu apa yang baik dan benar. Dalam sebuah hadits disebutkan:
إِذَا اسْتَنْصَحَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيَنْصَحْ لَه
“Bila salah seorang dari kamu meminta nasihat kepada saudaranya maka hendaknya (yang diminta) memberi nasihat.” (HR Bukhari)
Dalam hadits lain disebutkan:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasihat bagi Allah, bagi Rasul-Nya, untuk para pemimpin umat Islam dan untuk para orang awamnya.” ( H.R Bukhari)
Maksud hadits di atas adalah:
Agama adalah nasihat, maksudnya bahwa sendi dan tiang tegaknya agama adalah nasihat. Tanpa saling menasihati antara umat Islam maka agama tidak akan tegak.
Agama adalah nasihat bagi Allah swt. artinya: Sendi agama adalah beriman kepada-Nya, tunduk dan berserah diri kepada-Nya lahir dan batin, mencintai-Nya dengan beramal shalih dan mentaati-Nya, menjauhi semua larangan-Nya serta berusaha untuk mengembalikan orang-orang yang durhaka agar bertaubat dan kembali kepada-Nya.
Agama adalah nasihat bagi Rasulullah saw. maksudnya: sendi tegaknya agama adalah dengan meyakini kebenaran risalahnya, mengimani semua ajarannya, mengagungkannya, mendukung agamanya menghidupkan sunnah-sunnahnya dengan mempelajarinya dan mengajarkannya, berakhlaq dengan akhlaqnya, mencintai keluarganya, sahabatnya dan para pengikutnya.
Agama adalah nasihat bagi para pemimpin umat Islam, maksudnya adalah bahwa tegaknya agama dengan mendukung dan mentaati mereka dalam kebenaran, mengingatkan mereka dengan kelembutan bila lalai atau lengah, meluruskan mereka bila salah.
Agama adalah nasihat bagi orang awam dari umat Islam (rakyat biasa bukan pemimpin), maksudnya bahwa tegaknya agama hanyalah dengan memberikan kasih sayang kepada orang-orang kecil, memperhatikan kepentingan mereka, mengajari apa-apa yang bermanfaat bagi mereka dan menjauhkan semua hal yang membahayakan mereka dsb.
Saling menasihati di antara kader dakwah adalah kewajiban. Karena di satu sisi bangkit dengan kebenaran adalah sangat sulit sementara di sisi lain hambatan-hambatan untuk menegakkannya sangat banyak, misalnya: hawa nafsu, logika kepentingan, tirani thaghut, dan tekanan kezhaliman.
Pemberian nasihat merupakan pengingatan, dorongan dan pemberitahuan bahwa kita satu sasaran dan satu tujuan akhir. Semua kader senantiasa bersama-sama dalam menanggung beban dan mengusung amanat. Bila saling menasihati ini kita lakukan bersama-sama, di mana berbagai kecenderungan individu bertemu dan saling berinteraksi, maka akan menjadi berlipat gandalah kekuatan kita untuk menegakkan kebenaran. Masyarakat Islam tidak akan tegak kecuali dijaga oleh sekelompok kader yang saling tolong menolong, saling menasihati dan memiliki solidaritas yang tinggi.
Para salafus shalih telah memberikan contoh luar biasa dalam hal saling menasihati. Sebagai contoh adalah Umar bin Al Khatab ra, pada suatu kesempatan ketika banyak pembesar sahabat yang mengelilinginya tiba-tiba salah seorang sahabat berkata: “Ittaqillaha ya Umar.” (Bertaqwalah kepada Allah wahai Umar!) Para sahabat yang mengetahui kedudukan keislaman Umar marah kepadanya, namun Umar r.a mencegah kemarahan sahabat-sahabatnya seraya berkata: Biarkanlah dia berkata demikian, sesungguhnya tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak mau mengatakannya, dan tidak ada kebaikan bagi orang yang tidak mau mendengarnya.”
Itulah Umar yang termasuk dalam golongan sepuluh orang yang mendapat kabar gembira dijamin masuk surga, beliau sangat perhatian terhadap setiap nasihat yang benar yang ditujukan kepadanya.
Kita sebagai kader dakwah yang menjadi stabilisator umat, harus saling menasihati dan saling menerima berbagai nasihat yang baik dengan lapang dada, bahkan harus berterima kasih kepada yang mau memberi nasihat.
Terutama dalam kaitannya dengan aktivitas dakwah yang menginginkan kebaikan dalam segala kehidupan umat, berbangsa dan bernegara, kehidupan individu, social dan politik, sehingga adanya saling nasihat menasihati, dan menerima nasihat antar sesama kader dakwah, antara kader dakwah dan pemimpinnya, sebaliknya, yang pada akhirnya dapat saling memberikan ishlah -perdamaian-, tawaddud -cinta-, tarahum -kasih-sayang- antar sesama. Wallahu a’lam. (dkwt)