alhikmah.ac.id – Setiap Muslim wajib berdakwah, mengajak beriman dan berislam dengan baik dan istiqamah, minimal kepada diri sendiri. Sabda Nabi SAW, “Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat.” (HR Muslim)
Berdakwah adalah pekerjaan mulia yang dapat menjadi motivasi bagi diri sendiri untuk berbuat sesuai dengan yang didakwahkan.
Karena itu, dakwah Islam akan berhasil dan efektif jika sang da’i sudah mengamalkan dan menampilkan keteladanan terlebih dahulu apa yang disampaikan kepada orang lain, seperti yang dilakukan Nabi saw.
Dakwah bil Lisan atau bil Hal tidak akan berhasil dengan baik jika tidak dibarengi dengan uswah hasanah
(keteladanan yang baik) dari sang da’i. Dengan kata lain, setiap Muslim sejatinya harus mampu memberikan teladan yang terbaik bagi diri sendiri, keluarga, dan orang lain.
Allah sangat murka kepada da’i yang hanya menceramahi orang lain, tapi tidak mengamalkan isi dakwahnya. Inilah dakwah lilin: menerangi orang lain tetapi dirinya sendiri terbakar dan habis.
“Hai orang-orang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Sungguh amat besar kemurkaan Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang kamu tidak kerjakan.” (QS Ash-Shaff [61]: 2-3).
Dakwah Rasulullah saw merupakan dakwah sinergi antara kata-kata dan perbuatan nyata. Rasul selalu menyatukan kata dengan perbuatan sehingga menjadi teladan bagi umatnya.
Selain itu, dalam berdakwah Rasul juga mengedepankan etika seperti: kelemahlembutan, kesantunan, empati, kasih sayang, dan kesabaran. Rasul tidak pernah mencaci maki, melaknat, memarah-marahi, apalagi membodohi umatnya.
Rasulullah tidak memendam rasa dendam dan meluapkan emosi amarahnya ketika dicaci maki dan dilukai Abu Jahal dengan dilempari batu dan dipukul dengan kampak, saat mengajak kaumnya berislam di bukit Safa.
Bahkan ketika Sayyidina Hamzah, paman beliau, menemuinya selepas membalaskan dendamnya kepada Abu Jahal, beliau tidak merasa senang terhadap tindak kekerasan yang dilakukan pamannya itu. Kata beliau, “Aku tidak suka engkau berbuat seperti itu. Aku lebih suka engkau berbuat damai dengan bersyahadat, memeluk Islam“.
Respon Rasul tersebut membuat Hamzah tertegun, menyadari pelampiasan dendam tidak menyelesaikan masalah. Akhirnya, Hamzah bertobat dan masuk Islam.
Kisah singkat ini memberi pelajaran kepada kita dakwah bil uswah (dengan keteladanan) jauh lebih efektif daripada dakwah dengan kata-kata yang tidak disertai dengan amal nyata.
Di era globalisasi, dakwah memerlukan sentuhan teknologi. Ilmu dan etika dakwah tidak cukup dikuasai dai, tapi juga teknologi komunikasi, teknologi dakwah, dan teknologi media dakwah.
Jika dakwah menjadi tugas bersama, maka masing-masing pihak berkewajiban bersinergi dalam berdakwah. Sebab, selama ini dakwah bil lisan (dengan kata-kata) sudah mengalami titik jenuh.
Terbukti, pelanggaran moral dan norma hukum masih terus terjadi. Korupsi masih merajalela, padahal pelakunya juga mengaku Muslim. Yang diperlukan adalah keteladanan dalam beramar ma’ruf nahi munkar.
Jadi, sinergi dakwah bil uswah itu harus dengan ibda’ bi nafsik (mulailah dari diri sendiri). Dakwah antikorupsi misalnya akan efektif jika sang da’i bersih dari korupsi, dan benar-benar tidak pernah korupsi.
Kesadaran untuk mau mendakwahi diri sendiri perlu menjadi komitmen bersama, jika kita semua menghendaki masa depan umat Islam Indonesia dan dunia menjadi lebih maju.
Para pemimpin bangsa ini sudah saatnya berintrospeksi diri untuk bisa menjadi teladan dalam mendakwahi diri sendiri agar kata-kata dan kebijakannya didengar dan dilaksanakan oleh bawahan dan warga bangsa ini. Rakyat sudah lelah hanya mendengar kata-kata dan wacana tanpa bukti nyata!