Demi Jadi Guru “Gadaikan” Ijazah kepada Allah

Share to :

alhikmah.ac.id – Menjadi guru. Itulah cita-cita saya sejak kecil. Tak lain, karena tergiur dengan Hadits Nabi; bahwa kelak ketika manusia meninggal, maka segala urusannya dengan keduniawiaan terputus, kecuali tiga hal. Satu di antaranya ilmu yang bermanfaat.

Nasihat ini kerap saya terima dari orangtua ketika tengah memberi wejangan anak-anaknya. Saya pun terobsesi untuk mewujudkannya. Dengan jalur gurulah wasilah saya ingin mewujudkannya.

Sebagai langkah awal, setiap sore, saya membantu orangtua mengajar TPA. Bertepatan saja, ayah memang sudah lama menjadi guru mengaji.

Selain itu, saya juga membuka les privat mata pelajaran sekolah untuk adik-adik sekitar rumah. Karena niatnya untuk mengamalkan ilmu, saya tidak menarik tarif untuk kegiatan ini. Bahkan, tidak sedikit yang tak bayar sepeserpun alias gratis.

Tak masalah. Bagi saya, yang penting bisa mengamalkan ilmu. Dan adik-adik bisa mengambil manfaat dari apa yang saya lakukan. Itu saja sudah cukup membahagiakan.

Cita-cita menjadi guru ini pulalah, yang melecut diri untuk terus semangat menuntut ilmu. Syukur Alhamdulillah, Allah pun memberikan kemudahan bagiku untuk menyerap ilmu-ilmu di sekolah, terutama bagian eksak/matematika (dan sejenisnya).

Prestasi akademik juga tidak mengecewakan. Saya kerap meraih juara kelas. Meski demikian, sama sekali tidak membuat jemawa. Yang ada, terus semangat belajar demi mengejar cita-cita; menjadi guru profesional.

Kehilangan Kaki

Asa itu kemudian mendapat batu ganjalan yang sangat besar. Ketika saya tengah duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA/sederajat).

Suatu pagi, ketika di perjalanan menuju sekolah, temanku yang mengemudikan sepeda motor, secara mendadak mengambil arus kanan untuk menghindari senggolan dengan seorang pengendara motor yang membawa rombong jualan.

Tak dinyana, dari arah berseberang ada truk tronton yang jaraknya hanya beberapa meter saja.

Bruakk…!!

Kecelakaan tak bisa dihindari. Saya yang saat itu duduk dengan posisi khas wanita, terjatuh terlungkup. Celakanya, kaki kananku terlindas ban.

Innaa lillah…

Kindisinya sungguh mengenaskan. Meski tidak mengalami patah tulang, tapi daging dan pembuluh darah hancur. Hanya tersisa 5 persenan saja yang selamat dari bagian kakiku tersebut.

Tak ada pilihan. Keputusan dokter bulat; kaki saya harus diamputasi, agar tak mengalami pembusukan dan menyebar ke organ tubuh lainnya.

Berat terasa mendengar vonis itu. Bayang-bayang kesuraman nasib masa depan dengan hidup tanpa sepasang kaki berseliweran begitu saja di benak.

Mulanya saya bersikukuh menolak. Namun, berkat bujukan orangtua, saya pun akhirnya mengalah. Amputasi itu pun dilakukan.

Sedih bukan kepalang mendapati kenyataan kaki hilang satu. Syukurnya, dalam kondisi sulit demikian, keluarga, tetangga, dan teman-teman di sekolah, senantiasa memberi semangat hidup.

Tak ada yang berubah dari sikap mereka. Masih seperti sediakala. Respek, ramah, dan terus memberi motivasi. Hal inilah yang akhirnya menjadi peneguh diri menghadapi cobaan.

Bersamaan dengan itu pula, semangat belajarku tidak pernah pupus. Hasrat untuk menjadi guru, masih tertancap, meski kondisi tubuh telah mengalami cacat permanen.

Karena itu, saya terus belajar sungguh-sungguh. Ibuku menjadi ‘ojek’ tetapku, yang setia mengantarkanku pulang-pergi sekolah.

Lulus SMA, saya melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi di Malang, Jawa Timur. Saat itu masih dibuka kuliah jarak jauh. Jadi cukup meringankan, karena hanya seminggu sekali bertandang ke Kota Apel. Selebihnya, kuliah dilaksanakan di kota sendiri.

“Gadaikan” Ijazah

Singkat cerita, ketika saya telah duduk di semester empat, dalam rangka mewujudkan cita-cita menjadi guru, saya coba ajukan lamaran ke sekolah-sekolah untuk mengabdikan diri di sana.

Puluhan proposal saya kirimkan. Namun, tak satu pun yang diterima. Jawabannya nyaris seragam; “Lembaga kami belum membutuhkan tenaga pengajar baru,” atau, “Kami butuhnya yang sudah sarjana.”

Selulus kuliah, kembali saya coba untuk mendaftarkan diri. Tapi ternyata, hasilnya tetap sama; ditolak. Padahal, tak jarang saya jelaskan kepada pengelola sekolah;

“Saya siap untuk tidak dibayar, asal diberi kesempatan mengajar.”

Tapi apa mau dikata, kesempatan itu juga tak kunjung tiba. Kondisi ini terus berlanjut, hingga saya berkeluarga. Bersama suami, saya terus mencoba mencari lembaga yang siap menerima saya sebagai guru.

Hingga suatu hari, saya berujar kepada suami. “Mas, pokoknya saya mau mengajar, bagaimana pun caranya! Saya ingin mengamalkan ilmu yang sudah saya pelajari,” rengekku.

“Oke, kalau begitu, serahkan ijazah sarjananya kepada mas,” tanggap suami.

“Untuk apa, mau digadain, ya,” candaku untuk menyelidiki maksud jawaban suami.

“Iya, mau digadaikan. Tapi kepada Allah,” terangnya, yang semakin membuat saya tidak mengerti.

“Maksudnya, Mas?,” tanyaku sambil mengeritkan jidat, tanda tak paham arah pembicaraan.

“Kalau adik memang berniat mengajar untuk mengabdikan diri, tapi tidak diterima di sekolah-sekolah, ya sudah kita dirikan sekolah sendiri saja. Kita gratiskan semuanya. Niatkan membantu orang-orang tak mampu. Kita gadaikan apa yang kita miliki kepada Allah,” terang suami.

Terang, saya sendiri kaget dengan ide suami itu. bukan tanpa alasan. Kami tidak memiliki modal apapun untuk merintis ide itu. Tapi, saya menangkap keseriusan yang sangat dari ucapan suami. Sehingga, kami pun sepakat untuk mewujudkannya.

Mimpi Terwujud

Segala sesuatunya pun kami urus. Mulai dari keadministrasian, menghubungi sahabat-sahabat yang siap berjuang, hingga menghimpun nama-nama orang ataupun perusahaan-perusahaan yang kira-kira siap memberikan bantuan.

Karena gedung belajar belum punya, akhirnya kami meminjam ruang TPQ milik bapak. Laksana kata orang; tak ada yang mudah dalam jalan perjuangan. Begitu juga yang kami dapati. Niat hati ingin membantu, tapi yang didapat justru cemooh.

Ketika kami tengah mencari murid dengan sistem door to door, tak sedikit warga yang mencemooh. Apa lagi mereka mendapati gedung sekolahnya menumpang di TPQ.

“Oalah… Mungkin tahun ini aja dibuka, tahun depan sudah tutup,” ujar di antara mereka.

Saya bersama suami tak terpengaruh dengan hujan cemooh itu. Kami fokus saja berusaha untuk mewujudkan mimpi kami; mendirikan sekolah gratis bagi warga tak mampu. Alhamdulillah, tak lama berselang, Allah pun melimpahkan berbagai bantuan kepada lembaga rintisan kami.

Bahkan, tidak hanya mampu memberikan beasiswa penuh bagi puluhan anak didik tingkat SMP, tapi kami juga mampu membebaskan tanah dan mendirikan gedung dua lantai untuk dijadikan kantor dan tempat belajar para peserta didik. Kepercayaan di masyarakat pun sudah terbangun.

“Terima kasih ya, Bu. Anak saya sekarang Alhamdulillah, sudah berubah. Tidak bandel lagi,” itulah di antara ucapan terima kasih mereka, yang terkadang saya terima.

Alhamdulillah….

Terima kasih, ya Allah, kau telah wujudkan mimpiku untuk menjadi seorang guru. Bahkan lebih dari itu. Mudah-mudahan ini Engkau terima sebagai ibadah di sisi-Mu. Amiin.

Picture of admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter