alhikmah.ac.id – Kata hadiah dan hidayah tentu tidak asing lagi bagi kita, tetapi barangkali, tidak banyak yang mengetahui lebih dalam makna batin (inward) dan hubungan antara keduanya.
Pada hakikatnya, kata hadiah dan hidayah adalah bersumber dari akar kata yang sama, yaitu hadā-yahdī dan ahdā-yuhdī. Hadiah dan hidayah tentu tidak terlepas dari dua pemeran, yaitu penerima dan pemberi. Kedua pemeran ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Sehubungan dengan itu pula bahwa kata yang mengisyaratkan makna menunjukkan dan petunjuk seringkali ditemui di dalam al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan hadiah sekaligus hidayah (petunjuk) bagi manusia. Baik itu petunjuk untuk generasi-generasi terdahulu, sekarang maupun yang akan datang. Al-Qur’an diberikan kepada agama yang istimewa. Dijelaskan tadi bahwa al-Qur’an adalah petunjuk, ini bermaksud bahwa Allah melalui perantara al-Qur’an menunjukkan kepada manusia mengenai informasi-informasi yang terjadi pada generasi-generasi terdahulu dan yang akan datang, untuk diambil teladan yang baik dan tinggalkan perkara yang tidak baik. Al-Qur’an menunjukkan dan menjelaskan bahwa orang yang mentaati perintah Allah berhak mendapatkan ganjaran dan sekaligus ia juga memberikan peringatan bagi orang yang tidak mengindahkan larangan-Nya. Al-Qur’an telah membedakan antara yang haq dan yang batil, halal dan haram, baik dan yang buruk. Tentu hal tersebut menjelaskan bahwa Allah Maha Mengetahui kemaslahatan dan kemudoratan bagi hamba-hambaNya.
Namun manusia, mereka dituntut untuk mengenal Allah Subhanahu wata’ala. Itu sebabnya mengapa firman Allah di dalam Hadith qudsi menyatakan:
كنت كنزا مخفيا فأحببت أن أعرف فخلقت الخلق لكي أعرف
[Aku adalah harta-karun yang tersembunyi, dan Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan makhluq supaya aku dapat dikenal].
Dari sini dapat difahami bahwa “kenal” dan “tahu” tidaklah sama, kedua kata tersebut mempunyai perbedaan yang sangat jauh. Sebab, tahu belum tentu kenal, tetapi kenal sudah pasti tahu.
Beralih ke hadiah dan hidayah, disebabkan kedua kata tersebut bersumber dari akar kata yang sama, dan maknanya pun tidak jauh berbeda, maka penerima hadiah dikategorikan sebagai orang yang istimewa.
Hadiah pada umumnya diberikan kepada orang yang dikenal, tidak mungkin ia diberikan kepada sembarangan orang. Walaupun ada juga sebaliknya, tetapi kemungkinan sangat kecil. Oleh karena antara dua pemeran utama, yaitu si penerima dan pemberi, sudah saling kenal-mengenal secara emosional, tetapi barangkali tidak banyak yang mengetahui apa maksud yang tersirat di balik itu.
Pada dasarnya, makna yang terkandung di dalamnya mengisyaratkan bahwa seakan-akan si pemberi hadiah memberikan petunjuk melalui perantara hadiah yang ia beri. Petunjuk yang tersirat di balik apa yang ia beri tadi adalah mudah-mudahan hadiah tersebut dapat mempererat lagi tali silaturahim antara keduanya serta semakin bertambah rasa kasih sayang dan keakraban. Hadiah dapat memberikan kesan bagi sang penerima, yang boleh jadi dapat mengobati rasa sedih menjadi bahagia, malas menjadi giat dan lain sebagainya.
Mengenal
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas tadi bahwa orang yang diberikan hadiah adalah orang yang istimewa. Antara yang diberi dan yang memberi mempunyai hubungan emosional yang sangat erat. Bahkan jarang terjadi, orang yang diberikan hadiah yang istimewa atau yang spesial adalah orang yang tidak dikenal. Oleh sebab itu, apabila seseorang ingin diberikan hadiah, hal yang terlebih dahulu harus ia lakukan adalah mengenali diri sang pemberi hadiah. Mengenali karakternya; apa yang ia sukai dan apa yang tidak. Dengan mengenalinya lebih dalam, dapat menimbulkan rasa simpati bagi si pemberi. Sehingga hal tersebut dapat membuat si pemberi hadiah tidak segan-segan menghadiahkan sesuatu atau kejutan yang layak kepadanya.
Kendati demikian, filosofi hadiah tidak jauh berbeda dengan hidayah. Kalaulah hadiah tadi diberikan dari orang yang benar-benar mengenali diri sang penerima, demikian pun juga hidayah.
Hidayah akan diberikan kepada orang yang istimewa dan pilihan. Hidayah diberikan kepada orang yang benar-benar mengenali Sang Pencipta. Sang Pencipta yang dimaksudkan di sini adalah Allah Subhanahu wata’ala.
Hidayah akan diberikan kepada orang yang benar-benar mengenali-Nya, bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Subhanahu wata’ala, serta mengenali perkara yang wajar dan tidak wajar dinisbatkan kepada-Nya.
Dalam keadaan seperti itu, Allah tidak akan segan-segan menghadiahkan hidayah-Nya kepada orang yang betul-betul kenal akan diri-Nya. Ketika hidayah diberikan, hidup seseorang akan menjadi tenang dan bahagia, berbeda dari apa yang pernah ia lakukan sebelumnya. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa hidayah mustahil dihadiahkan secara gratis kepada orang yang tidak mengenali-Nya.
Disamping itu pula, hidayah tidak akan dapat ditempuh kecuali atas dasar atau jalan kebenaran. Sedangkan kebenaran tidak mungkin bisa dicapai apabila diawali dengan keraguan (doubt). Terlebih lagi, jalan menempuh kebenaran melalui keraguan sangat bertentangan dengan worldview (pandangan hidup) Islam. Islam berbeda dengan faham keraguan Descartes (1596-1650) serta weltanschauung Barat yang rasionalis dan sekularis yang mengangkat keraguan kepada tataran sebuah metode epistemologis. Metode keraguan ini bagi mereka sangat berguna untuk mencapai atau mengantarkan kepada sebuah kebenaran. Tentu saja, bagi Muslim, metode tersebut tidak dapat diterima dan dibuktikan sama sekali.
Nabi Ibrahim As misalnya, ketika meminta kepada Allah untuk menghidupkan yang mati, ini bukan berarti beliau mengalami keraguan, apalagi ketidakyakinan dalam diri, namun pembuktian tersebut tiada lain hanya untuk lebih meningkat lagi pengetahuan beliau, yang pada akhirnya lebih memantapkan hatinya (lihat QS al-Baqarah [2]: 260).
Keraguan (doubt) sebenarnya adalah kondisi pada dua hal yang berlawanan tanpa adanya kecenderungan hati terhadap salah satunya. Apabila hati cenderung kepada salah satu tetapi tidak menuju kepada yang lain, padahal ia masih belum menolak yang lain, maka hal yang demikian itu dinamakan dengan dugaan (conjecture). Penolakan hati terhadap yang lain ini menandakan bahwa bukan keraguan yang dapat membawa kepada kebenaran, tetapi pengakuan positif dari kesalahannya dan kepalsuannya.
Inilah yang disebut dengan hidayah (guidance). Keraguan, apakah itu bersifat pasti ataupun sementara, mengantarkan kepada dugaan ataupun kepada perkara lain dari ketidakpastian, sebenarnya tidak pernah sampai kepada kebenaran (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam: An Exposition of The Fundamental Elements of The Worldview of Islam, 1995, 117). Hal yang demikian telah ditegaskan oleh Allah di dalam al-Qur’an bahwa dugaan atau prasangka tidak bermanfaat sedikitpun untuk mencapai kebenaran (QS Yunus [10]: 36).
Dari filosofi kedua makna yang tersirat di balik hadiah dan hidayah tadi, sudah seyogyanya bahwa siapa pun yang ingin menerima hadiah maupun hidayah, hal yang terlebih dahulu seseorang lakukan adalah “kenal”, yaitu kenali diri si pemberi. Sehingga dengan mengenali diri si pemberi, akan membuat diri seseorang merasa pantas untuk dihadiahi bingkisan berharga yang tak ternilai.
Begitu juga dengan kebenaran atau hidayah, jalan menujunya hendaknya diiringi dengan ketulusan dan keyakinan di dalam hati. Bagi Islam, kebenaran tidak mungkin diawali dengan keraguan, karena kebenaran bukan merupakan sesuatu yang relatif, tetapi ia bersifat konstan ditengah-tengah kedinamisan hidup yang selalu bergerak. Wallahua’lam bissowab.
Oleh: Rahmat Hidayat Zakaria