alhikmah.ac.id – Ini adalah kelanjutan dari materi sebelumnya yang telah membahas: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 183-187, Ta’rif Shiyam dan Masyru’iyyahnya, Syarat-syarat shiyam, Furudhusshiyam (rukun siyam), Furudhusshiyam (rukun shiyam), Hukum Berbuka di Bulan Ramadhan, mengqadha puasa yang terlewatkan, Mubahatushshiyam, serta Adab dan Sunnah Puasa. Kali ini akan dibahas mengenai macam-macam puasa. Selamat menyimak.
II. Macam–Macam Puasa
A. Puasa Wajib
Puasa wajib itu meliputi:
1. Puasa di bulan Ramadhan,
Sesuai dengan firman Allah:
“Maka barang siapa di antaramu menyaksikan bulan itu, hendaklah ia berpuasa…” (QS. Al-Baqarah:185)
2. Puasa kifarat, yaitu:
a. Kifarat karena pembunuhan tanpa sengaja, yaitu puasa dua bulan berturut-turut, sebagaimana firman Allah:
“dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah.” (QS. An-Nisaa: 92)
b. Kifarat berhubungan badan di bulan Ramadhan dengan sengaja pada saat puasa, yaitu puasa dua bulan berturut-turut sebagaimana yang disebutkan pada hukum berbuka di bulan Ramadhan.
c. Kifarat melanggar sumpah, yaitu puasa tiga hari, ketika tidak mampu memberi makan sepuluh orang miskin. Firman Allah:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari.” (QS. Al-Maaidah: 89)
d. Kifarat haji badal, bagi mereka yang wajib menyembelih hewan dan tidak mampu, yaitu puasa sepuluh hari, sesuai dengan firman Allah:
“Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan `umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. siksaan-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 196)
e. Kifarata zhihar, yaitu puasa dua bulan berturut-turut, sesuai dengan firman Allah:
“Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur.” (QS. Al-Mujaadilah: 3-4)
3. Puasa Nadzar
Nadzar yang biasa dikaitkan dengan keadaan tertentu adalah perbuatan makruh, namun jika sudah diucapkan oleh seorang muslim, maka ia wajib memenuhinya, karena firman Allah tentang sifat orang beriman:
“mereka memenuhi nadzarnya…” (QS. Al Insan: 7)
“Hai orang-orang beriman penuhilah janjimu…” (QS. Al-Maaidah: 1)
B. Puasa yang terlarang
Puasa yang dilarang mencakup:
1. Puasa dua hari raya, sesuai dengan hadits Abu Said al Khudzriy, bahwasanya Rasulullah saw melarang puasa dua hari raya, yaitu Idul fitri dan Idul Adha (Muttafaq alaiah). Dan telah terdapat ijma’ ulama tentang haramnya puasa pada dua hari itu.
2. Puasa pada hari tasyriq, yaitu tiga hari setelah hari raya Idul Adha, sesuai dengan hadits:
“Hari tasyriq adalah hari makan dan minum, dan berdzikir kepada Allah” (HR Muslim).
Sebagian Syafiiyyah memperbolehkan puasa pada hari tasyriq ini jika ada sebab tertentu seperti kifarat.
3. Puasa hari Jum’at saja, sesuai dengan hadits Nabi:
“Janganlah kamu puasa hari Jum’at, kecuali dengan puasa sehari sebelum atau sesudahnya” (HR As Syaikhani).
Namun jika bertepatan dengan hari yang biasa berpuasa, atau berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya, maka diperbolehkan puasa di hari Jum’at.
4. Puasa hari Sabtu saja, sesuai dengan hadits Nabi:
“Janganlah puasa hari Sabtu kecuali yang telah diwajibkan, jika memang tidak ada sesuatu yang bisa dikonsumsi maka minumlah perasan anggur atau batang kayu” (HR Ahmad dan Ashabussunan dan Hakim).
Sedang jika bertepatan dengan hari yang ia biasa puasa atau puasa sehari sebelum atau sesudahnya maka boleh.
5. Puasa separuh kedua bulan Sya’ban, jika tidak puasa sebelumnya, karena sabda Nabi:
“Jika sudah separuh bulan Sya’ban maka janganlah kamu berpuasa” (HR. Ashabussunan).
Para ulama fiqih menyatakan makruh puasa separuh kedua bulan Sya’ban kecuali bagi orang yang terbiasa dengan puasa lalu ia meneruskannya. Lebih tegas larangan itu semakin dekat dengan bulan Ramadhan sehari atau dua hari, sesuai dengan hadits:
“Janganlah kamu mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya, kecuali orang yang terbiasa puasa sebelumnya” (Muttafaq alaih).
Lebih dilarang lagi ketika sudah masuk hari Syak, yaitu hari tanggal 30 Sya’ban, sabda Nabi:
“Barang siapa yang puasa pada hari syak, maka ia telah mendurhakai …” (HR. Ashabussunan dan Al Hakim, hadits shahih dalam syarat Asy Syaikhani).
6. Puasa di hari Arafah bagi orang yang sedang berada di padang Arafah, sesuai dengan hadits Abu Hurairah:
“Bahwasanya Nabi Muhammad SAW melarang puasa Arafah bagi yang sedang berada di Arafah” (HR Al Khamsah selain At Tirmidziy dan dishahihkan oleh Al Hakim).
7. Puasa sunnah seorang wanita tanpa izin suaminya, sesuai dengan hadits Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Tidak halal bagi seorang wanita pada saat suaminya hadir kecuali dengan seizinnya, selain bulan Ramadhan” (Hadits Muttafaq alaih).
8. Wishal puasa, yaitu seorang berpuasa tidak makan/minum apapun saat berbuka dan sahur, sehingga menyambung dengan hari berikutnya. Sesuai dengan hadits Ibnu Umar RA:
“Bahwasanya Nabi Muhammad SAW melarang wishal. Mereka bertanya: Engkau waishal Ya Rasulullah. Nabi bersabda: “Sesungguhnya aku tidak sama dengan kalian, sesungguhnya aku diberi makan dan minum” (Muttafaq alaih).
9. Puasa sepanjang tahun. Sesuai dengan hadits Ibnu Umar RA berkata, Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak dianggap berpuasa, seseorang yang berpuasa sepanjang tahun” (Muttafaq alaih)
10. Puasanya orang yang sedang haidh atau nifas, hukumnya haram. Puasanya orang sakit, musafir, wanita hamil, menyusui, dan orang tua yang renta jika kondisinya mengkhawatirkan. Hukumnya makruh.
C. Puasa Sunnah
Disunnahkan berpuasa pada hari-hari berikut ini:
1. Puasa enam hari bulan Syawal, sesuai dengan hadits Nabi:
“Barang siapa yang puasa Ramadhan kemudian menyambungnya dengan enam hari bulan Syawal, maka sepertinya ia telah berpuasa satu tahun” (HR. Muslim).
Diutamakan puasanya berturut-turut setelah ied.
2. Puasa sembilan hari pertama bulan Zulhijah, sesuai dengan hadits Hafshah:
“Ada empat hal yang tidak pernah Rasulullah tinggalkan, yaitu: puasa asyura’, sepuluh hari pertama bulan Zulhijah, tiga hari setiap bulan, dan dua rakaat sebelum pagi hari” (HR Ahmad dan An Nasa’iy).
3. Puasa bulan Muharram, sesuai dengan hadits Abu Hurairah yang berkata:
“Rasulullah ditanya: Shalat apakah yang paling utama setelah shalat wajib. Nabi menjawab: Shalat di tengah malam. Ada lagi yang bertanya: Lalu puasa apakah yang lebih utama setelah Ramadhan? Nabi menjawab: Bulan Allah yang kalian sebut sebagai bulan Muharram” (HR. Ahmad dan Muslim dan Abu Daud).
Dan sangat ditekankan puasa Asyura’ itu yaitu pada hari ke sepuluh bulan Muharram, sesuai dengan hadits:
“Sesungguhnya hari ini adalah hari Asyura’, tidak diwajibkan atas kalian itu berpuasa, tapi ana berpuasa, maka barang siapa yang mau berpuasa silakan puasa dan barang siapa yang tidak ingin puasa silakan tidak puasa” (Muttafaq alaih).
Disunnahkan bagi setiap muslim berpuasa sehari sebelum dan sesudahnya, atau salah satunya agar berbeda dengan orang Yahudi. Dan juga karena sabda Nabi:
“Jika aku masih ada sampai tahun depan, sungguh aku akan berpuasa hari ke sembilan, bersama dengan hari ke sepuluh” (HR. Muslim)
4. Puasa hari Senin dan Kamis setiap pekan. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Ditunjukkan amalku pada hari senin dan kami, dan aku ingin ketika ditunjukkan itu dalam keadaan berpuasa.” (HR At Tirmidziy dan berkata: Hadits hasan)
5. Puasa tiga hari setiap bulan. Sesuai dengan hadits Abdullah ibn Amr ibn Al Ash, yang berkata: Rasulullah SAW bersabda:
“Puasa tiga hari setiap bulan, adalah puasa sepanjang tahun” (Muttafaq alaih).
Dalam hadits Abu Dzarr RA membatasi tiga hari itu adalah ayyamul bidh, yaitu hari ke tiga belas, empat belas, dan lima belas.
7. Puasa sehari dan berbuka sehari, sesuai dengan pesan Nabi kepada Ibnu Umar:
“Puasalah sehari dan berbukalah sehari, itulah puasa Daud, dan itulah puasa yang paling utama” (Muttafaq alaih)
8. Puasa pada Asyhurul hurum (bulan-bulan haram), seperti yang Rasulullah SAW sampaikan kepada orang Bahilah:
“…puasalah pada bulan haram dan tinggalkanlah, puasalah pada bulan haram dan tinggalkan, berpuasalah pada bulan haram dan tinggalkan” (HR Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah, An Nasa’iy, dan Al Baihaqi dengan sanad jayyid (baik)).
Bulan haram itu adalah: Dzul qa’dah, Zulhijah, Muharram, dan Rajab.
9. Banyak berpuasa pada bulan Sya’ban, sesuai dengan hadits Aisyah RA:
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasa sebulan selain bulan Ramadhan, dan aku tidak melihatnya berpuasa dalam satu bulan sebanyak di bulan Sya’ban” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Orang yang berpuasa sunnah diperbolehkan baginya berbuka di siang hari, dan disunnahkan mengqadha hari itu. Seperti dalam hadits:
“Orang yang berpuasa sunnah itu adalah pemimpin dirinya sendiri, jika ia mau ia berpuasa, jika berkehendak ia boleh berbuka.” (HR Al Hakim, dan berkata hadits ini sanadnya shahih).
Demikian juga hadits Abu Said Al Khudzriy, yang berkata:
“Aku membuat makanan untuk Rasulullah SAW, lalu datanglah ia bersama dengan para sahabat. Ketika makanan sudah dihidangkan, ada salah seorang yang berkata: “saya sedang puasa.” Lalu Nabi bersabda: “Saudaramu telah mengundangmu, dan bersusah payah.” Lalu bersabda: “Berbukalah dan puasalah di lain hari jika mau”” (HR. Al Baihaqi dengan sanad hasan).
– Bersambung
(dkw)