alhikmah.ac.id – Ini adalah kelanjutan dari materi sebelumnya yang telah membahas: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 183-187, Ta’rif Shiyam dan Masyru’iyyahnya, Syarat-syarat shiyam, Furudhusshiyam (rukun siyam), Furudhusshiyam (rukun shiyam), Hukum Berbuka di Bulan Ramadhan, mengqadha puasa yang terlewatkan, Mubahatushshiyam, Adab dan Sunnah Puasa, serta macam-macam puasa. Kali ini akan membahas mengenai hukum-hukum yang berkaitan dengan bulan Ramadhan. Selamat menyimak.
III. Hukum-Hukum yang Berkaitan Dengan Bulan Ramadhan
A. Keutamaan Bulan Ramdhan, dan Ancaman Bagi Yang Tidak Berpuasa Ramadhan
1. Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa puasa Ramadhan dengan iman dan mengharap Allah, akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR Ahmad dan ashabussunan)
2. Sabda lain:
“Ketika datang bulan Ramadhan dibukalah pintu surga dan ditutup pintu neraka, serta setan diikat. Ada yang menyeru: “Wahai pencari kebaikan bersiap siaplah, wahai pencari keburukan menyingkirlah.” (HR Al Khamsah kecuali Abu Daud)
3. Sabda lain:
“Allah berfirman: Seluruh amal bani Adam itu baginya kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu bagi-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Puasa adalah perisai –penangkal – maka jika pada hari kamu sedang berpuasa janganlah berkata jorok dan berteriak-teriak, jika ada yang menyumpahimu maka katakanlah: “Sesungguhnya aku sedang berpuasa”. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu di sisi Allah lebih harum dari misk. Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan: gembira ketika berbuka dan gembira berjumpa dengan Allah SWT” (HR. Al Khamsah).
4. Sabda lain:
“Barang siapa yang berbuka satu hari di bulan Ramadhan, tanpa ada rukhshah –kelonggaran- yang Allah berikan, tidak dapat digantikan dengan puasa satu tahun.” (HR Abu Daud, Ibn Majah dan At Tirmidziy).
B. Penetapan Masuk Bulan Ramadhan
Penetapan masuknya bulan Ramadhan dapat dilakukan dengan salah satu cara ini:
1. Melihat hilal (bulan sabit baru) hari ke dua puluh sembilan bulan Sya’ban, jika langit dalam keadaan cerah, tidak ada penghalang. Seperti dalam hadits:
“Puasalah karena melihat hilal, dan berbukalah jika telah melihat hilal…” (Muttafaq alaih)
Melihat hilal Ramadhan cukup dilakukan oleh seorang muslim yang adil, seperti dalam hadits Ibnu Umar RA berkata:
“Orang-orang sedang mengamati hilal, lalu aku sampaikan pada Nabi bahwa aku melihatnya, kemudian ia berpuasa dan menyuruh orang-orang berpuasa.” (HR. Abu Daud, dan Al hakim menshahihkannya)
2. Jika tidak berhasil melihat hilal, maka wajib menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari, seperti dalam hadits
“…jika mendukung di atasmu, maka sempurnakan bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (Muttafaq alaih).
Sedangkan untuk menetapkan bulan Syawal harus dengan kesaksian dua orang yang adil, tidak cukup dengan seorang saksi meskipun adil, karena Syawal itu keluar dari ibadah maka wajib dilakukan dengan penuh hati-hati. Jika tidak berhasil melihat hilal maka wajib menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Kaum muslimin diwajibkan mengamati hilal sejak terbenam matahari hari ke dua puluh sembilan Sya’ban dan Ramadhan. Hal ini termasuk dalam fardhu kifayah.
Ikhtilaful mathali’ (perbedaan waktu terbit hilal)
Ketika sudah ditetapkan rukyat (melihat bulan baru) di suatu wilayah, maka penetapan itu mewajibkan seluruh umat Islam untuk berpuasa, menurut kebanyakan ulama, karena menurut mereka perbedaan mathla’ tidak menjadi pertimbangan. Inilah pendapat yang shahih menurut mazhab Hanafi. Dan mazhab Syafi’i memilih untuk setiap wilayah itu memiliki mathla’ ru’yat sendiri, tidak terikat oleh hasil ru’yat orang lain, kecuali ada persamaan mathla’ antara keduanya.
Penggunaan Hisab dan Teropong (perhitungan)
Terjadi ittifaq (kesepakatan) ulama tentang dibolehkannya penggunaan teropong untuk melihat hilal, sebab penetapannya tetap saja mengacu kepada rukyat dengan mata, meskipun menggunakan alat modern. Perbedaan pendapat terjadi dalam penetapan hilal dengan metode hisab (perhitungan) tanpa rukyat.
Mayoritas ulama modern berpendapat bahwa penetapan hilal menggunakan hisab itu tidak diperbolehkan. Karena masalah ibadah itu harus mengacu kepada nash (teks) syar’i. Dan sudah menjadi ijma’ ulama bahwa puasa dan ifthar berpatokan pada nujum (bintang) itu tidak sah. Karena ilmu nujum itu menduga-duga dan mengira-ngira.
Sebagian ulama modern lain menyatakan: Bahwa yang dimaksudkan dengan rukyat itu adalah meyakinkan datangnya hilal, dan perhitungan modern telah sampai pada kesimpulan yang meyakinkan melebihi rukyat. Sedangkan berpedoman pada penyempurnaan bilangan Sya’ban atau Ramadhan menjadi tiga puluh hari adalah cara kedua untuk memperoleh keyakinan bulan baru. Dan di zaman Nabi tidak tersedia kecuali dua cara ini, maka Rasulullah menunjukkan keduanya. Maka jika ada cara lain yang dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan tentang datangnya awal bulan maka boleh saja digunakan. Rasulullah saw telah mengingatkan tentang alasan penggunaan rukyat, yaitu karena kebanyakan kaum muslimin saat itu tidak mengenal cara perhitungan. Hal ini menjadi alasan, jika mereka sudah pandai cara berhitung memungkinkannya untuk berpegang pada perhitungan. Sabda Nabi:
“Kami adalah umat yang umi tidak pandai menulis dan berhitung, sebulan itu segini, dan segini, maksudnya dua puluh sembilan atau tiga puluh.” (HR. Al Bukhari Muslim, Abu Daud dan An Nasa’iy).
Dan seperti yang diketahui bahwa perhitungan sekarang ini tidak seperti perhitungan masa lalu yang lebih didominasi dugaan dan perkiraan.
C. Shalat Tarawih
Dari Aisyah RA, bahwasanya Rasulullah saw shalat tarawih di masjid, orang-orang mengikuti shalat Nabi itu, kemudian shalat di hari kedua semakin banyak orang yang ikut, sehingga ketika mereka berkumpul di malam ketiga atau ke empat Rasulullah tidak menemui mereka. Keesokan harinya Nabi bersabda:
“Aku melihat apa yang kalian lakukan malam tadi. Tidak ada yang menghalangiku keluar menemui kalian kecuali khawatir akan diwajibkan atas kalian” (HR. Asy Syaikhani).
Kaum muslimin dahulu shalat tarawih –qiyamu Ramadhan- dengan sendiri-sendiri di masjid atau di rumah. Sebagaimana disebutkan bahwa Rasulullah saw mengumpulkan mereka shalat berjamaah menjadi imamnya, sebagaimana dalam hadits yang lalu. Dalam hadits lain bahwa Rasulullah qiyamullail bersama dengan para sahabatnya pada sepuluh hari terakhir dan pada malam-malam ganjil. Hal ini berlangsung sampai pada tahun empat belas hijriyah.
“Dari Abdurrahman ibn Al Qariy berkata: aku keluar bersama dengan Umar ibn Al Khaththab RA ke masjid di bulan Ramadhan. Ketika itu kaum muslimin terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok jamaah. Ada seseorang yang shalat sendiri lalu diikuti oleh tiga sampai sepuluh orang. Lalu Umar berkata: Sesungguhnya aku berpendapat kalau mereka itu lebih baik dikumpulkan dengan seorang qari/imam. Kemudian ia bertekad untuk mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Kemudian pada malam berikutnya aku kembali keluar bersamanya dan umat Islam sedang shalat bersama dengan imamnya itu. Maka Umar berkomentar: Sebaik-baik bid’ah ya inilah, sedang yang tidur sekarang lebih baik dari pada yang bangun, maksudnya akhir malam, saat itu orang-orang qiyamullail di awal malam” (HR Al Bukhari)
Umar bin Khaththab RA menyebut shalat jamaah tarawih dengan BID’AH dengan ungkapan yang tajawuz (berlebihan). Ia tidak bermaksud bid’ah yang munkar yang dilarang oleh Rasulullah SAW karena bid’ah yang terlarang adalah bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam agama. Kita telah mendapatkan bahwa Rasulullah saw mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih menjadi imam mereka. Dan kemudian Umar datang menata jamaah kaum muslimin itu dalam shalat tarawihnya dengan satu imam. Amal ini berada di bawah payung sabda Nabi:
“Barang siapa yang mencontohkan kebaikan, maka baginya pahalanya dan pahala para pengikutnya sampai hari kiamat.” (HR. Muslim),
karena sunnah hasanah adalah amalan yang memiliki dasar dalam syariah.
D. Lailatul Qadar
Lailatul qadar adalah malam paling mulia dalam satu tahun. Firman Allah:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadr: 1-5)
Rasulullah saw mendorong qiyamullail pada malam itu, dengan sabdanya:
“Barang siapa yang qiyamullail pada malam lailatul qadar dengan iman dan mengharap ampunan, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq alaih).
Para ulama berbeda pendapat tentang penentuan malam lailatul qadar ini di antara malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Hal ini didasarkan pada ungkapan Rasulullah SAW:
“Carilah lailatul qadar pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan” (HR Al Bukhari).
Ada yang berpendapat bahwa lailatul qadar itu tanggal dua puluh satu, ada yang berpendapat malam dua puluh tiga, ada pula yang berpendapat malam dua puluh lima. Namun mayoritas mengatakannya pada malam dua puluh tujuh bulan Ramadhan.
Dari itulah Rasulullah SAW ketika masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ia hidupkan malam penuh, ia bangunkan keluarganya, dan ia kuatkan ikat pinggangnya. (Muttafaq alaih)
Aisyah RA pernah bertanya kepada Rasulullah SAW:
“Ketika aku menemukan lailatul qadar apa yang aku katakan pada malam itu? Jawab Nabi: ucapkan: “Ya Allah sesungguhnya Engkau Yang Maha Pemaaf, senang memaafkan, maka maafkanlah aku.” (HR At Tirmidziy dan mengatakan hadits hasan).
E. I’tikaf
I’tikaf adalah tinggal di masjid dengan niat ibadah, sebaiknya dilakukan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, disertai dengan niat, suci dari junub, haidh dan nifas.
Hukumnya sunnah yang biasa dilakukan Rasulullah. Dari Aisyah RA:
“Bahwasanya Rasulullah SAW beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai wafatnya, kemudian para istrinya beri’tikaf setelah wafatnya.” (Muttafaq alaih)
Disunnahkan memulai i’tikaf sejak usai shalat subuh, seperti dalam hadits Aisyah RA berkata:
“Adalah Rasulullah SAW ketika hendak beri’tikaf, ia shalat fajar kemudian masuk ke tempat i’tikafnya.” (Muttafaq alaih)
Disunnahkan untuk tidak keluar dari masjid selama dalam i’tikaf kecuali karena hajat mendesak. Ia tidak membesuk orang sakit, mengantarkan jenazah, berhubungan dengan istri.
I’tikaf adalah kesempatan untuk mengosongkan diri dari kegundahan dunia dan kesibukannya, dan hanya fokus untuk ibadah, tilawah Al Qur’an, dzikrullah, banyak berdoa, istighfar, tasbih, bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Di antara adab selama i’tikaf adalah tidak berbicara kecuali yang baik, menjauhi segala sesuatu yang mengganggunya dari taat kepada Allah, memilih masjid jami’ (menyelenggarakan shalat Jum’at) sedangkan wanita diutamakan i’tikafnya di masjid rumahnya.
– Selesai