alhikmah.ac.id – Bulan Romadhon sejatinya adalah bulan tempat kita bisa mengintip surga. Merasakan kedekatan dengan surga melalui amal-amal terbaik kita. Pintu-pintunya pun terbuka. Bahkan syaitan sang penggoda harus diikat kuat tak berkutik. Lalu tinggalah kader-kader syaitan dari jenis manusia yang masih merajalela. Kita biasa menyebutnya dengan nafsu. Nah, nafsu inilah –jika kita tidak hati-hati- akan merubah program romadhon romantis kita berubah menjadi tidak keruan. Dari janji pahala menjadi ancaman dosa. Dari mesra yang berpahala menjadi kemenangan sang durjana.
Banyak produk-produk provokasi syetan yang difollow up dengan baik oleh sang nafsu mampu menghancurkan pahala puasa kita. Yang paling semu mungkin adalah ketika mesra kita justru ternoda dengan kata-kata kotor dan keji. Bermesraan di siang Romadhan sungguh perlu intensitas pengendalian diri yang cukup. Karena ketika mesra kita justru menjadi parade kata-kata seronok dan vulgar, jangan ada sesal ketika lapar dahaga kita menjadi tiada guna. Naudzu billah.
Dari Abu Hurairah ra : Rasulullah SAW bersabda : “Tidak puasa itu dari (menahan) makan dan minum saja. Akan tetapi puasa dari hal yang sia-sia dan kata-kata keji ” (HR Ibnu Khuzaimah dan Hakim : Sohih dengan syarat Muslim)
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda : ” Betapa banyak orang yang berpuasa, tapi tidak mendapatkan dari puasanya kecuali hanya rasa lapar. Dan betapa banyak orang yang sholat malam, tapi tidak mendapatkan dari sholatnya kecuali hanya begadang ” (HR Ibnu Majah, Nisa’i, Hakim : Shohih dengan syarat Bukhori)
Produk provokasi setan yang lebih hebat lagi adalah ketika nafsu kita begitu menggelora di siang ramadhan, lalu melampiaskannya begitu saja pada sang istri trecinta. Akibatnya sungguh berbahaya. Serentetan hukuman menunggu kita, jadi itu sangat menyulitkan dunia dan akhirat kita. Ini bukan kasus baru, salah seorang sahabat ada yang jauh keasyikan melampaui mesra hingga menjimak istrinya di siang ramadhan.
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Seseorang datang kepada Nabi SAW lalu berkata : Sungguh celaka aku ya Rasulullah ! Beliau SAW berkata : Apa yang membuatmu celaka ? Laki-laki itu menjawab : ” Aku menjimak istriku di siang romadhon ” . Lalu Rasulullah SAW bersabda : ” Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk membebaskan budak?” Ia menjawab : ” Tidak”. Nabi bertanya kembali, ” Apakah kamu mampu untuk berpuasa dua bulan berturut-turut ? “. Ia menjawab ,” Tidak”. Kemudian ia duduk dan Nabi datang dengan sekantung besar kurma,Beliau SAW bersabda : Bersedekahlah dengan ini !. Laki-laki itu bertanya : ” Apakah untuk yang paling miskin di antara kami ? Tidaklah ada diantara penduduk kampung yang lebih membutuhkan itu daripada kami “. Maka Nabi SAW pun tertawa hingga terlihat gerahamnya, lalu beliau bersabda : Pergilah dan berilah makan keluargamu ! ” ( HR Jamaah)
Begitulah, kisah di atas menjadi semacam kontrol bagi kita, sebelum, sesudah, dan ketika akan bermesraan di siang bolong ramadhan. Mesra boleh saja, namun tolong secukupnya saja. Tidak bertaburan kata-kata penuh berahi, apalagi dilakukan di atas ranjang dan kamar tertutup yang berarorama wangi. Secukupnya saja, karena kita harus menyimpan energi romantis kita untuk nanti selepas maghrib. Saat berbuka dan seterusnya adalah momentum mesra yang sah-sah saja. Sebuah kemurahan Allah atas fitrah kita yang selalu ingin mesra.
“ Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Ramadhan bercampur dengan istri-istri kamu. Mereka itu adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu. Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu … “ (QS Al-Baqarah : 187)