alhikmah.ac.id – Muhammad Mansur Al Batawie adalah satu dari sekian banyak ulama berpengaruh di Jakarta. Guru Mansur lahir di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta Barat pada 1878.
Ridwan Saidi, dalam bukunya ‘Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya’ mengatakan, Guru Mansur adalah seorang Guru sejati yang satu generasi dengan Guru Mugni dari kampung Kuningan. Guru Mansur merupakan penerus Guru Mujtaba dari kampung Mester yang bergelar syaikhul masyaikh alias guru dari segala guru.
Gelar Guru dalam budaya Betawi ialah ulama yang mempunyai keahlian dalam suatu disiplin ilmu tertentu, mempunyai otoritas untuk mengeluarkan fatwa dan memiliki kemampuan mengajar kitab. Seluruh waktunya dihabisinya di masjid atau madrasah yang ada di dekatnya.
Menurut Engkong Ridwan, orang Betawi mengklasifikasikan penganjur agama dalam tiga kriteria yakni guru, mualim, dan ustadz. Mualim merupakan orang berilmu yang memiliki otoritas mengajarkan kitab namun tidak bisa mengeluarkan fatwa, sementara ustadz lebih menitikberatkan pada pengusaan ilmu-ilmu pengetahuan dasar agama, termasuk membaca Alquran.
Guru Mansur adalah putra Imam Abdul Hamid bin Imam Muhammad Damiri bin Imam Habib bin Abdul Mukhit. Abdul Mukhit adalah pangeran Tjokrodjojo, Tumenggung Mataram. Karenanya, Guru Mansur diyakini memiliki trah Mataram dari garis ayahnya.
Ilmu agama Guru Mansur ditimba dari tanah suci. Dia berangkat ke Makkah pada 1894 ketika berusia 16 tahun dan berguru kepada ulama kenamaan seperti Tuan Guru Umar Sumbawa, Guru Mukhtar, Guru Muhyiddin, Syekh Muhammad Hayyath, Sayyid Muhammad Hamid, Syekh Said Yamani, Umar al Hadromy dan Syekh Ali al-Mukri.
Setelah mukim selama empat tahun, Guru Mansur kembali ke tanah air dengan terlebih dahulu singgah di Aden, Benggala, Kalkuta, Burma, India, Malaya dan Singapura. Sekembalinya di Kampung Sawah, Guru Mansur mulai membantu ayahnya mengajar di madrasah. Sejak tahun 1907, Guru Mansur mengajar di Jamiatul Khair, Kampung Tenabang. Di sinilah dia mengenal tokoh-tokoh Islam seperti Syekh Ahmad Syurkati dan KH Ahmad Dahlan yang juga anggota perkumpulan Jamiatul Khair.
Selain ulama, Guru Mansur juga salah satu penganjur kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1925 tatkala masjid Cikini di Jalan Raden Saleh hendak dibongkar dan pembongkaran ini disetujui oleh Raad Agama (pengadilan agama) Guru Mansur melancarkan protes keras sehingga pembongkaran masjid tersebut dibatalkan. Pada 1948 saat kota Jakarta berada dalam kekuasaan de facto Belanda, Guru Mansur sering berurusan dengan Hoofd Bureau Kepolisian di Gambir karena dia memasang bendera merah putih di menara masjid Kampung Sawah. Meskipun di bawah ancaman bedil Belanda, Guru Mansur tetap mempertahankan Sang Saka Merah Putih yang berkibar di menara masjid.
Saat Guru Mansur dibujuk Belanda untuk berdiplomasi, dengan tegas Guru Mansur berkata, “Islam tidak mau ditindas, saya enggak mau ngelonin kebatilan”. Karena itulah Guru Mansur sangat dihormati, bukan saja oleh masyarakat Betawi tetapi juga oleh kalangan yang lebih luas. Tokoh-tokoh Betawi seperti M. Natsir dan KH. Isa Anshary sering sekali berkunjung ke kediaman Guru Mansur.
Guru Mansur wafat pada hari Jum’at pada tanggal 12 Mei 1967 pukul 16.40. Beliau dimakamkan di halaman Masjid Al Mansuriah Kampung Sawah Jembatan Lima.
Semasa hidupnya, dia telah menulis 19 buku.
1. Sullamunnarain
2. Khulasatuljadawil
3. Kaifiyatul amal ijtima, khusuf wal kusuf
4. Mizanul I’tidal
5. Washilatuth thullab
6. Jadwal dawairul falakiyah
7. Majmu’ arba rasail fi mas’alatil hilal
8. Rub’ul mujayyab
9. Mukhtasar iktima’unnairain
10. Tajkirotun nafi’ah fisihati ‘amalissaum wal fitr
11. Tudhul adillah fissihatissaum wal fitr
12. Jadwal faraid
13. Al lu’lu ulmankhum fi khulasoh mabahist sittah ulum
14. I’rabul jurumiyah annafi’ lil mubtadi
15. Silsilatissanat fiddin wa ittisoluha sayyidul musalin
16. Tashriful abwal limatan bina
17. Jidwal kiblat
18. Jidwal au kutussolah
19. Tathbiq amalul ijtima’ wal khusuh wal kusuf.