Memisahkan antara pendidikan umum dengan agama, hanya akan menghasilkan kerusakan akhlak. Demikian disampaikan Dr Adian Husaini, Ketua Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun, Bogor.
Menurutnya, membuat kurikulum yang tidak memisahkan antara pendidikan umum dengan agama, masih menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama kaum Muslim.
Dalam acara “Bedah Jurnal ISLAMIA” dan diskusi Dwi Pekanan Insitute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), bertema “Isu-isu Pendidikan Antara Problematika dan Konseptualisasi” itu Adian juga mengatakan bahwa integrasi ilmu dunia dan akhirat justru akan menghasilkan manusia yang beradab.
Sebab ilmu yang diperolehnya digunakan untuk memakmurkan agamanya dan menempatkan Allah dan Rasulnya di tempat tertinggi.
“Anda lulusan kedokteran hewan, tapi mengapa Anda saat ini berkecimpung pada pendidikan Islam?”
Pertanyaan seperti itu, menurutnya pernah ditanyakan pada alumni Fakultas Kedokteran Hewan IPB dalam suatu kesempatan.
Mendapat pertanyaan itu, dengan santai Adian menjawab, “Pertanyaan Anda sendiri sudah salah bahwa pendidikan Islam harus dibedakan dengan ilmu umum,”jawabnya tandas.
Keprihatinan terhadap kurikulum juga tercermin pada penyebutan istilah Kegiatan Belajar Mengajar (KBM).
Peraih gelar Doktor bidang Peradaban Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization-International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) itu itu pernah menemukan kurikulum di sebuah pondok pesantren (Ponpes) yang masih memisahkan keduanya.
“Baru disebut KBM kalau sudah membahas pelajaran umum jam 7 pagi. Tahajud berjamaah, tadarus al-Quran yang dilakukan sebelumnya, tidak disebut KBM. Itu salah. Padahal bangun malam dan tadarus itu mendidik karakter mereka dan itu belajar,”ulas Adian mengomentari penyempitan makna belajar.
Dalam diskusi itu Adian sempat menceritakan pengalaman masa kecilnya. Menurutnya, pada masa itu, anak-anak diberi kebebasan bereksplorasi. Alam menjadi laboratorium-nya. Main ke sungai, mencari ikan di sana, main bola dan permainan lainnya yang menggunakan alam sebagai pusat belajar, mendewasakan mereka.
“Anak kampung seperti saya nggak dicariin sama orangtua. Mau main ke sungai nggak pulang-pulang, jam 12 malam main bola, nggak papa. Tapi, kalau sekali saja ketahuan nggak ngaji, wah sudah. Dimarahi habis-habisan,”tutur lulusan Madrasah Diniyah Nurul Ilmi, Bojonegoro, Jawa Timur, itu sembari tergelak.
Penulis buku “Pendidikan Islam, Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab” itu menambahkan, membuat kurikulum tidak boleh berbasis keinginan orangtua murid. Sekolah macam itu pada akhirnya tidak memiliki visi karena mengikuti arus pasar.
Adian mensinyalir itulah perbedaannya dengan pengajar zaman sekarang.
“Guru zaman dulu semangat ngajar. Saya pernah punya guru bidang fikih di pesantren. Murid dua sekalipun, semangatnya sama. Tetap total mengajar,”ulasnya lagi.
Walaupun komersialisasi pendidikan marak saat ini, Ia pernah menemui seorang Kiai disebuah Ponpes yang tidak mau menerima bayaran dari orangtua murid. Alasannya sederhana namun sangat bermakna.
“Katanya dia takut kalau nerima bayaran, sekolahnya berkembang. Muridnya nambah. Kalau muridnya nambah, dia merasa nggak sanggup lagi ngajar,”tutur Adian.
Di balik sikapnya itu, sebetulnya mengandung kedalaman makna. Dengan tidak menerima uang dari orangtua murid, pimpinan ponpes itu bisa menggariskan kurikulum tanpa intervensi pihak luar pesantren.