alhikmah.ac.id – Assalamu’alaikum Wr Wb. Ustad, ane mau tanya, apa hukumnya mengembalikan hutang yang tidak harus sama dengan jumlah nominalnya?. Abdullah
Jawab :
Akhir-akhir ini banyak kalangan yang menyatakan bahwa mengembalikan hutang tidak harus sama dengan jumlah nominal ketika meminjam. Umpamanya seseorang meminjamkan kepada temannya uang sejumlah Rp. 5.000.000,- , maka menurut kalangan ini, dia boleh mensyaratkan kepadanya agar setahun kemudian dia harus membayar Rp. 6.000.000,- Menurut mereka hal seperti adalah bentuk dari keadilan dan bukan termasuk katagori riba, karena nilai uang akan terus berubah-rubah setiap saat.
Pernyataan di atas secara sekilas memang masuk akal, tetapi kalau diteliti lebih mendalam ternyata sangat lemah dan menyisakan banyak problematika di masyarakat. Oleh karenanya, penulis perlu menjelaskan hukum mengembalikan hutang sesuai dengan perubahan nilai.
Perlu kita ketahui bahwa pada awal Islam, uang yang dipakai masyarakat pada waktu itu adalah Dinar dan Dirham (emas dan perak). Kemudian setelah beberapa saat lamanya, akhirnya muncul ide penggunaan uang kertas sebagai alat tukar pengganti emas dan perak, yang pada waktu itu nilainya hampir sama dengan nilai emas dan perak. Pada perkembangan selanjutnya, nilai uang kertas semakin hari semakin merosot dari nilai emas dan perak hingga hari ini.
Inilah yang menjadikan para ulama berbeda pendapat di dalam memandang uang kertas sebagai alat tukar. Muhammad Sulaiman Al Asyqar, di dalam tulisannya : “Taghayuru Qimat al ‘Umlah”, yang dimuat di dalam buku “Buhus Fiqhiyah fi Qadhaya Iqtishadiyah Mu’ashirah“ , Jordan, Dar An Nafais, 1998, 1/ 272, menyebutkan tiga pendapat ulama di dalam memandang uang kertas sebagai alat tukar:
Pendapat pertama mengatakan bahwa uang kertas dianggap sebagai cek hutang, orang yang memegangnya berhak untuk mendapatkan harga sesuai dengan nilai yang tertera di dalam uang kertas tersebut.
Pendapat kedua mengatakan bahwa uang kertas dianggap alat tukar yang telah berdiri sendiri dan mempunyai nilai tukar yang penuh sebagaimana emas dan perak.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa uang kertas seperti fulus, yang merupakan salah satu barang komoditas yang boleh diperjualbelikan, tetapi pada saat yang sama bisa dijadikan alat tukar jika dia memerlukannya.
Dari tiga pendapat di atas, mayoritas ulama masa kini mengambil pendapat yang kedua, yaitu uang kertas dianggap alat tukar yang telah berdiri sendiri dan mempunyai nilai tukar yang penuh sebagaimana emas dan perak.
Hal ini sesuai dengan keputusan Majma’ Al Fiqh Al Islami pada daurah-nya yang ke- 3, no: 9, yang menyatakan bahwa uang kertas merupakan uang yang mempunyai sifat penuh sebagai alat tukar, sehingga berlaku baginya hukum-hukum syar’i seperti yang berlaku pada emas dan perak, oleh karenanya uang kertas termasuk barang riba yang tidak boleh ditukar dengan sejenisnya dengan nilai yang berbeda, begitu juga terkena kewajiban zakat dan hukum-hukum lainnya.
Mereka meletakkan kaidah fiqhiyah yang sangat penting di dalam masalah ini, kaidah itu berbunyi : “Hutang itu harus dikembalikan sesuai dengan amtsal-nya( harus sama nilai yang tertera di dalamnya) “ Umpamanya kalau meminjam Rp. 1.000.000,- maka harus dibayar Rp.1.000.000,- juga (Lihat kaidah ini dalam Athiyah Adlan, Mausu’ah al Qawa’id al Fiqhiyahal Munadhimah li al Mua’amalah al Maliyah al Islamiyah, Iskandariyah, Dar al Iman, 2007, hlm : 319 )
Kaidah tersebut sesuai dengan Keputusan Majma’ Al Fiqh Al-Islam di dalam daurahnya yang ke – 5 yang diselenggarakan di Kuwait dari tanggal 1- 6 Jumadal Ula 1409 H/ 10- 15 Desember 1998 M yang juga menyatakan bahwa standar pelunasan hutang harus sesuai dengan mitsil-nya bukan dengan nilai harga tukarnya.
Standar yang telah ditetapkan mayoritas ulama tersebut merupakan standard yang jelas, baku dan bisa dilakukan oleh semua orang. Oleh karenanya, masyarakat Islam di dunia ini secara umum menggunakan standar ini, sehingga jarang terjadi sengketa di dalam menentukan jumlah nominal yang harus dikembalikan, karena nilai tersebut telah termaktub di dalam uang kertas.
Standar ini juga memudahkan masyarakat di dalam melakukan transaksi antara mereka. Mereka tidak usah payah setiap saat melihat naik turunnya nilai tukar uang kertas mereka dengan harga emas atau dengan harga USD atau dengan harga mata uang lainnya.
Adapun yang berpendapat bahwa pengembalian hutang harus disesuaikan dengan perubahan nilai tukar mata uang kertas, ternyata mempunyai banyak kelemahan dan masih menyisakan banyak problematika di masyarakat. Diantara kelemahan pendapat ini adalah sebagai berikut:
Pertama: Mengembalikan hutang dengan menyesuaikan nilai tukarnya tidaklah mempunyai standar yang jelas, karena nilai tukar itu sendiri berubah-rubah setiap saat. Bahkan sampai yang meminjamkan uang (pemilik uang) sendiri tidak tahu jumlah uang yang akan diterima dari yang peminjam saat pengembaliannya. Begitu juga yang meminjam tidak tahu berapa jumlah yang harus dikembalikannya nanti, karena nilai tukar terus berubah-rubah setiap saat. Ini adalah bentuk nyata dari ghoror (spekulatif ) sekaligus riba yang diharamkan dalam Islam.
Kedua: Karena tidak ada kejelasan standar nilai tukar dari mata uang tersebut, maka para pengusung aliran inipun berbeda pendapat satu dengan yang lainnya di dalam menentukan standar. Sebagian kalangan menyatakan bahwa standar pengembalian uang disesuaikan dengan harga emas, karena nilai tukarnya relatif stabil dibanding dengan alat tukar lainnya.
Tetapi pendapat ini dilemahkan oleh kelompoknya sendiri, sebagaimana yang dilakukan Muhammad Adib Kulkul, penulis buku : “al Fiqh al Mubasath al Muamalah al Maliyah, Damaskus, Dar al Fikr, 2007 pada hlm 64, yang menyatakan bahwa emas tidak bisa dijadikan standar, karena harganya melambung tinggi jauh meninggalkan nilai mata uang yang ada, seperti US Dollar, Real Saudi, Dirham Imarat. Oleh karena itu, ia memandang bahwa standar yang paling tepat adalah menggunakan nilai mata uang yang agak stabil, seperti US Dollar dan lain-lainnya.
Maksud pernyataan tersebut adalah jika seseorang meminjam uang Rp 1.000.000,- yang pada waktu itu senilai 100 USD, dalam jangka waktu 3 bulan, maka dia harus mengembalikannya lagi dalam rupiah yang senilai 100 USD juga. Jika waktu mengembalikannya 100 USD senilai Rp.1.500.000,- , maka sang peminjam harus mengembalikannya sebesar itu. Kadang nominalnya lebih besar dari uang yang dipinjam, dan kadang pula bisa lebih kecil.
Begitu juga Muhammad Sulaiman Al Asyqar, di dalam tulisannya: “Taghayuru Qimat al ‘Umlah”, beliau sangat tidak setuju dengan pendapat mayoritas ulama masa kini yang menyamakan uang kertas dengan emas dan perak di dalam fungsinya sebagai alat tukar yang berdiri sendiri.
Beliau justru mendukung bahwa uang kertas adalah barang komoditi yang bukan barang riba, sehingga boleh ditukar satu dengan yang lainnya dengan jumlah yang berbeda. Oleh karenanya, beliau membolehkan seseorang yang meminjam uang Rp 1.000.000,- untuk mengembalikannya kemudian dalam jumlah yang berbeda. Tetapi yang disayangkan beliau juga tidak mempunyai standar baku yang bisa dijadikan pedoman, apakah menggunakan nilai emas atau USD atau yang lainnya, justru beliau menyerahkan standarnya kepada pemerintah atau pihak –pihak yang mengerti tentang perkembangan naik turunnya nilai mata uang.
Ketiga: bahwa nilai tukar uang kertas sifatnya nisbi dan relatif, tergantung pemanfaatannya. Jika dimanfaatkan untuk membeli barang-barang yang harganya stabil, maka nilai dari uang tersebut ikut stabil, sebaliknya jika dimanfaatkan untuk membeli barang yang harganya terus naik, maka nilainya-pun semakin berkurang dan seterusnya. Ringkasnya menyandarkan sesuatu kepada nilai tukar adalah penyandaran kepada sesuatu yang nisbi dan relatif, susah dipegang, dan membingungkan.
Kesimpulannya: bahwa uang kertas yang ada saat ini adalah alat tukar resmi sebagaimana emas dan perak pada zaman dahulu. Ini adalah pendapat yang paling mendekati kebenaran, karena mempunyai standar baku dan jelas, serta mudah untuk dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Oleh karenanya, tidak boleh meminjamkan uang kertas kepada seseorang dengan mensyaratkan tambahan saat mengembalikannya, karena termasuk katagori riba. Wallahu A’lam (hdyt)