alhikmah.ac.id – Mungkin banyak orang sudah tahu kalau rokok berbahaya untuk kesehatan. Tetapi nyatanya setiap tahun jumlah pecandu rokok di Indonesia terus bertambah. Data terbaru menyebutkan bahwa 31,4 persen penduduk Indonesia merokok, dan 4,83 persen di antaranya wanita (sumber: http://www.kompas.co.id/wanita/news/0605/30/164017.htm.)
Prevalensi perokok anak usia 13-15 tahun mencapai 26,8 persen dari total populasi penduduk Indonesia, 234 juta jiwa. Pada peringatan Hari Anti Rokok se Dunia yang jatuh pada 31 Mei, berbagai kampanye dilakukan untuk mengimbau anti rokok khususnya bagi anak-anak. Benda kecil berbahan utama tembakau ini memang menimbulkan efek adiktif (ketagihan) bagi tubuh karena mengandung zat nikotin. Walau adiktif yang dikandung rokok tidak seberat adiktif pada narkotika dan obat-obat berbahaya (narkoba), zat adiktif rokok sangat sulit dilepaskan. Menurut dr Tjandra Yoga Aditama, dokter spesialis paru yang juga Ketua III Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), gejala-gejala yang dirasakan oleh para perokok tersebut disebut dengan withdrawal symptom yang muncul pada saat orang berhenti merokok. Obat untuk mengurangi withdrawal symptom ini menurutnya adalah nikotin juga, karena penyebabnya memang nikotin.
Di luar negeri ada beberapa teknik pengobatan yang digunakan untuk mengobati efek kecanduan pada rokok, yaitu melalui Nicotine Replacement Therapy (NRT). Caranya adalah dengan mengurangi kadar nikotin secara perlahan-lahan. Selama dua minggu, pasien akan diberikan nikotin berbentuk plester, permen karet, roll on, inhalasi dan suntikan, yang dosisnya terus dikurangi. Sayangnya, NRT ini belum ada di Indonesia. Tjandra mengakui tidak mudah menghentikan kebiasaan merokok. Namun, kebiasaan itu bisa diubah jika pertama-tama perokok memiliki motivasi. Seorang perokok yang menjalankan ibadah puasa bisa berhenti merokok itu karena dia memiliki motivasi, sayangnya motivasi ini sering tidak diteruskan.
Menyongsong hari Anti Tembakau Sedunia yang jatuh tanggal 31 Mei sebelum membahas hukum fiqih rokok dan profesi penunjang lainnya, ada baiknya kita mengenali kembali apa saja bahaya yang terkandung dalam sebatang rokok. Antara lain kanker paru, jantung, infertilitas, gangguan reproduksi (nyeri haid, menopause lebih awal), kulit keriput, kanker leher rahim dan pada ibu yang merokok bisa menyebabkan abortus dan kematian janin. Ada beberapa penyakit yang bisa timbul karena sekadar menjadi perokok pasif. Misalnya infeksi paru dan telinga, gangguan pertumbuhan paru, atau bahkan dapat menyebabkan kanker paru.
Selain penyakit di atas, ada pula beberapa efek rokok terhadap tubuh yang jarang dipublikasikan, seperti menurunkan sistem kekebalan tubuh hingga mengakibatkan kerontokan rambut, gangguan katarak pada mata, kulit cepat keriput, kehilangan pendengaran dini, menimbulkan kerusakan gigi, lebih mudah terkena osteoporosis, mengurangi jumlah dan kelainan bentuk sperma, serta lebih berkemungkinan terkena kanker. Seorang pecandu yang berhenti merokok dua hari berturut-turut, kemampuan untuk mengecap dan menghirup akan membaik. Kalau berhenti merokok dua sampai 12 minggu, sirkulasi darahnya membaik. Orang yang terus berhenti merokok tiga sampai sembilan bulan, batuk dan gangguan pernapasannya akan menghilang.
Perokok yang sudah lima tahun berhenti merokok, maka risiko terkena penyakit jantung koroner akan turun 50 persen, dan 10 tahun tidak merokok kemungkinan itu menjadi sama dengan orang yang tidak merokok. Jadi, sesungguhnya tidak ada kata terlambat untuk mulai hidup sehat dan berhenti merokok segera mungkin. Tumbuhan yang dikenal dengan nama tembakau atau sigaret (ad dukhan atau asy-syijar) baru dikenal pada akhir abad kesepuluh Hijriyah. Dan semenjak masyarakat mengkonsumsinya sebagai bahan isapan mendorong para ulama pada jaman itu untuk mengangkatnya sebagai bahan kajian fiqih agar terjadi kejelasan hukum halal dan haramnya.
Topik ini relatif menjadi wacana yang baru sehingga belum ada ketetapan hukum syariah dari para fuqaha klasik dalam berbagai mazhab di samping belum sempurnanya gambaran tentang substansi masalah dan dampak rokok berdasarkan riset kesehatan yang akurat. Maka wajar setelah itu terjadilah perbedaan pendapat dari berbagai mazhab fiqih tentang masalah ini, sebagian berpendapat haram, sebagian berpendapat makruh, sebagian lagi mengatakan boleh (mubah) dan terutama para ulama yang terlanjur mengkonsumsinya, dan sebagian lagi tidak memberi hukum secara mutlak, tetapi menetapkan hukumnya secara rinci. Bahkan sebagian lagi dari mereka berdiam diri, tidak mau membicarakannya. Sebagian besar ulama mengharamkan ataupun memakruhkan (sebaiknya ditinggalkan) rokok berdasarkan beberapa alasan di antaranya:
- Menimbulkan kecanduan yang merusak akal sebagaimana barang yang memabukkan padahal setiap yang berpotensi memabukkan (muskir) itu hukumnya haram. Memabukkan di sini maksudnya segala sesuatu yang dapat menutup dan meracuni akal, meskipun hanya sebatas tidak ingat terutama bagi pemula.
- Melemahkan daya tahan tubuh. Kalaupun merokok itu tidak sampai memabukkan, minimal rokok dapat menurunkan daya tahan dan kekebalan tubuh. Dari Ummu Salamah r.a: “Bahwa Rasulullah saw. melarang segala sesuatu yang memabukkan dan melemahkan.”
- Menimbulkan mudharat yang mencakup
- mudharat jasmani dimana rokok menjadikan badan lemah, wajah pucat, terserang batuk, merusak kesehatan mulut dan gigi, bahkan dapat menimbulkan penyakit saluran pernafasan dan paru-paru. Dalam konteks ini tepat sekali perkataan sebagian ulama bahwa tidak ada perbedaan tentang haramnya sesuatu yang membahayakan, baik bahaya itu datang seketika maupun bertahap. Bahkan yang bertahap inilah yang lebih sering terjadi;
- mudharat finansial yaitu membakar uang secara sia-sia yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tabdzir (menyia-nyiakan harta) yang dibenci Allah, dengan membelanjakan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaat bagi badan dan ruh, tidak bermanfaat di dunia dan akhirat bahkan justru membahayakan. Sedangkan Nabi saw telah melarang membuang-buang harta, Allah berfirman: “….dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros (mubadzirin) itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. al-Isro’:26-27)
Di antara ulama yang secara tegas mengharamkan dan melarang merokok ialah Syekhul Islam Ahmad As-Sanhuri Al-Bahuti al Hambali, dan dari kalangan mazhab Maliki ialah Ibrahim Al-Laqqani (keduanya dari Mesir); Abdul Ghats Al Qasysy Al Maliki (dari Maroko); Najmuddin bin Badruddin bin Mufassiril Qur’an; dan Al Arabi Al Ghazzi Al’Amiri As Syafii (dari Damaskus); Ibrahim bin Jam’an dan muridnya Abu Bakar bin Al Adhal (dari Yaman); Abdul Malik Al-Ishami dan muridnya Muhammad bin ‘Allamah, serta Sayyid Umar Khawajah, Isa Asy Syahwai Al Hanafi, Makki bin Faruh Al Makki, dan Sayid Sa’ad Al Balkhi Al Madani (dari Turki).
Di samping itu efek negatif rokok lainnya sangat banyak dan tidak dapat dipungkiri lagi karena merupakan pengalaman empiris keseharian yaitu: meskipun tidak sampai pada tingkat tabdzir dan isrof (berlebihan) merokok dapat mengurangi harta yang semestinya dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi diri dan lingkungannya (prinsip hifdzul maal); bau dan asapnya mengganggu serta menyakiti orang lain yang tidak merokok; dapat melalaikan ibadah serta mengurangi kekhusyu’an dan kesucian shalat karena baunya; membikin kecanduan sehingga pikiran perokok akan kacau jika ia tidak mendapat rokok; mengganggu dan membahayakan orang lain serta lingkungannya, padahal Nabi pernah bersabda: “Tidak boleh ada bahaya dan sikap saling membahayakan pihak lain” (HR. Ahmad, Malik, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Addar Quthni, Ibnu Majah)
Masalah rokok sudah lama menjadi kajian fiqih kontemporer yang dibahas oleh para ulama kontemporer seperti Syekh Hasanain Makhluf, mufti Mesir berpendapat bahwa hukum asal rokok adalah mubah tetapi keharaman dan kemakruhannya timbul akibat faktor-faktor lain, seperti jika menimbulkan mudharat (banyak ataupun sedikit) terhadap jiwa maupun harta ataupun pada kedua-duanya. Atau karena mendatangkan mudharat dan mengabaikan hak orang lain. Apabila terdapat unsur-unsur seperti ini maka hukumnya menjadi makruh atau haram, sesuai dengan dampak yang ditimbulkannya dan bila sebaliknya jika tidak terdapat dampak negatif seperti itu maka hukumnya halal.
Namun sebagian besar ulama dunia menetapkan keharamannya melalui berbagai risalah dan buku yang ditulis mengenai hukum rokok di antaranya; Syeikh Abdul Qadir Ahmad ‘Atha dalam bukunya “Hadza Halal wa Hadza Haram” atau Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam berbagai tulisannya seperti di “al-Halal wal Haram fil Islam”. Para ulama Timur Tengah khususnya Najed pada umumnya mengharamkan rokok, lebih-lebih bila yang melakukannya adalah ulama dan tokoh Islam (lihat berbagai risalah yang diterbitkan Darul Ifta’ Saudi Arabia dari berbagai ulama). Syekh Muhammad Ibnu Mani’, pemuka ulama Qatar berkata di dalam catatan pinggirnya untuk kitab Ghayatul Muntaha, (II/332), sebagai berikut: “Pendapat yang membolehkan rokok adalah pendapat orang yang ngawur sehingga tidak perlu dihiraukan. Sebab, di antara mudharat yang ditimbulkannya secara jelas ialah merusak badan, menimbulkan bau yang kurang sedap dan mengganggu orang lain, serta dapat menghambur-hamburkan harta tanpa ada gunanya. Maka janganlah Anda terpedaya oleh omongan orang-orang yang menganggapnya halal. Sebab, siapapun boleh diambil atau ditolak perkataannya”.
Barangkali fatwa yang paling objektif, jujur, adil dan paling tepat alasannya dalam masalah ini, adalah yang dikemukakan oleh Syekhul Mahmud Syaltout, Guru Besar dan Mufti Al Azhar yaitu bahwa kalaupun rokok tidak menjadikan mabuk dan tidak merusak akal tetapi masih menimbulkan mudharat yang dapat dirasakan pengaruhnya pada kesehatan orang yang merokok dan yang tidak merokok. Padahal dokter telah menjelaskan bahwa unsur-unsur yang ada di dalamnya diketahui mengandung racun meskipun berproses lambat yang akan dapat merampas kebahagiaan dan ketenteraman hidup manusia. Karena itu tidak diragukan lagi bahwa rokok dapat menimbulkan gangguan dan mudharat, sedangkan hal ini merupakan sesuatu yang buruk dan terlarang menurut pandangan Islam. Di sisi lain pengeluaran belanja untuk rokok sebenarnya dapat digunakan untuk sesuatu yang lebih baik dan bermanfaat. Maka dari sudut pandang ini merokok jelas-jelas dilarang dan tidak dibolehkan syariah.
Dalam menetapkan haram atau makruhnya suatu perkara, hukum Islam tidak hanya berdasar pada nash (teks dalil) yang khusus menjelaskan suatu masalah. Berbagai konsideran hukum dan kaidah-kaidah umum syariah menjadi indikator penting dalam menetapkan hukum dengan menimbang mudharat dan manfaatnya. Sebenarnya kegamangan sementara kalangan untuk mengharamkan rokok karena melihat bahwa manfaat rokok sangat banyak dan hanya sedikit menimbulkan mudharat. Padahal penetapan adanya bahaya (mudharat) rokok dari aspek kesehatan diri dan lingkungan serta kadarnya bukan merupakan otoritas dan tugas ulama fiqih melainkan merupakan otoritas (kewenangan) para ahli medis dan ahli kimia karena merekalah yang paling ahli dan mengetahuinya (QS. Al-Furqon:59 dan Fathir:14).
Para ahli medis telah menyatakan bahaya rokok terhadap tubuh secara umum, juga bahaya terhadap paru-paru dan saluran pernafasan secara khusus. Bahkan dapat pula menimbulkan kanker atau radang paru-paru sehingga yang semakin menyadarkan dunia untuk kampanye anti merokok bahkan Amerika dipelopori oleh mantan presidennya, Bill Clinton secara terang-terangan memerangi rokok. Peringatan bahaya rokok sebenarnya sudah lama di dengungkan oleh banyak pihak yang berkompeten seperti Fakultas Kedokteran Britania membuat pernyataan yang berbunyi: “berhentilah dari merokok, kalau tidak maka kematian Anda semakin cepat”. Di antara bahaya merokok yang diumumkan Fakultas Kedokteran Britania ialah bahwa setiap tahun 27.500 orang Britania meninggal karena merokok, dan usia mereka berkisar antara 34-65 tahun; setiap tahun 155.000 orang Britania akan mati karena 80% di antaranya disebabkan serangan penyakit paru-paru; sembilan puluh persen kematian karena serangan penyakit paru-paru itu disebabkan oleh perokok; sebab-sebab pokok terjadinya kematian pada perokok di antaranya mereka terserang bermacam-macam penyakit seperti paru-paru, saluran pernafasan, jantung, penyakit urat nadi, penyakit tenggorokan, kanker payudara, kanker mulut, serta kanker tenggorokan dan kerongkongan. Anak-anak yang dilahirkan oleh wanita perokok itu lebih banyak mengalami keguguran.
Menurut majalah kedokteran yang terbit di Britania, menyatakan bahwa merokok itu sebenarnya penyakit, bukan kebiasaan. Perilaku ini merupakan bencana yang dialami oleh kebanyakan anggota keluarga, juga sebagai kebiasaan yang dapat menurunkan kehormatan seseorang. Jumlah orang yang mati disebabkan merokok itu berlipat ganda. Mereka menyimpulkan bahwa asap rokok lebih berbahaya daripada asap mobil. Dan para dokter memberi nasihat bahwa orang yang merokok itu tidak aman dalam perjalanan tugasnya. Banyak dokter yang menjelaskan dan menulis tentang bahaya merokok terhadap kaum wanita, misalnya dapat merusak kecantikan, mengubah warna kulit, dan menjadikan bau mulutnya tidak sedap. Padahal keindahan, kecantikan dan aroma merupakan sesuatu yang wajib dijaga oleh kaum wanita. Meskipun demikian, sebenarnya untuk membuktikan bahaya rokok ini, tidak harus dilakukan oleh seorang dokter atau ahli medis yang memahami kimia, karena hal ini sudah diketahui dan dirasakan oleh masyarakat umum. Mudharat (bahaya) yang datang secara bertahap atau perlahan sama hukumnya dengan yang seketika, keduanya haram. Karena itu, pengaruh racun rokok (nikotin) terhadap jantung dan paru-paru, cepat atau lambat terhukum haram, serta tidak diragukan lagi.
Imam Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (VII/503) menetapkan haramnya memakan sesuatu yang menimbulkan mudharat berdasarkan nash umum. Beliau mengatakan bahwa segala sesuatu yang membahayakan adalah haram berdasarkan sabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik kepada segala sesuatu”. Maka menurutnya, barangsiapa yang menimbulkan mudharat pada dirinya sendiri dan pada orang lain berarti ia tidak berbuat baik; dan barangsiapa yang tidak berbuat baik berarti menentang perintah Allah untuk berbuat baik kepada segala sesuatu itu.”
Merokok sebenarnya dapat dikategorikan perbuatan isrof yang diharamkan Islam, sebab menurut Imam Ibnu Hazm yang dimaksud isrof itu adalah dapat berupa: menafkahkan harta untuk sesuatu yang diharamkan Allah swt sedikit maupun banyak; berbuat boros pada sesuatu yang tidak diperlukan, yang menghabiskan kekayaannya; menghambur-hamburkan harta secara sia-sia, meskipun dalam jumlah kecil. Allah berfirman:“…dan janganlah kamu berlebih-lebihan (israf). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al An’am:141)
Penetapan hukum haramnya rokok ini karena membahayakan berdasarkan firman Allah Swt.:“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(QS. An-Nisa:29) Imam Nawawi mengenai hal ini secara tegas dalam kitab Raudhah-nya mengatakan bahwa segala sesuatu yang bila dimakan membahayakan seperti kaca, batu, dan racun maka memakannya haram. Bahaya lain yang dapat timbul dari kebiasaan merokok ialah jika rokok atau bahan pembuatannya itu diimpor dari negara-negara eksportir yang menyudutkan maupun memerangi Islam, maka pembelian rokok itu justru akan memperkuat posisi musuh dalam menghadapi umat Islam. Termasuk yang membahayakan ialah bila yang merokok itu elit atau patron, pesohor dan panutan masyarakat seperti ulama, kyai, ustadz, pejabat atau para dokter.
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masalah rokok ini memang khilafiyah (masih diperselisihkan) dan sesuatu yang keharamannya masih diperselisihkan perlakuan hukum dan kategori syariah terhadap perokok tidaklah sampai pada tingkat sebagaimana keharamannya yang telah disepakati secara ijma’ (konsensus ulama). Karena itulah sulit rasanya untuk menggolongkan dan memberi predikat pelakunya sebagai orang yang fasik dan dianggap gugur kesaksiannya, apalagi jika fenomena rokok ini sudah demikian merata atau mayoritas penduduk bumi.
Adapun fenomena banyaknya ulama yang merokok, justru hal itu menunjukkan bahwa mereka itu tidaklah ma’shum (terpelihara dari kesalahan dosa). Sebagian besar di antara mereka telah tergoda dan kecanduan rokok sejak usia muda, sehingga motivasinya tidak berdaya membebaskannya dari belenggu ketergantungan pada rokok. Namun demikian di antara mereka ada yang memfatwakan keharamannya meskipun dia sendiri sulit melepaskan ketergantungan pada rokok, seperti Syeikh Mahmud Syaltout dari ulama Al-Azhar Mesir. Bila hal ini kita sepakati dan yakini sebagai suatu dosa meskipun membawa manfaat, tetapi sebenarnya dosa dan mudharatnya lebih besar dari manfaatnya, sebagaimana halnya khamar (minuman keras) sehingga tetap diharamkan Allah (QS.Al-Baqarah:219), maka segala profesi dan aktivitas yang terkait dengannya ikut menanggung dosa termasuk pihak produsen (pemilik maupun pekerja produksi), distributor (penjual), maupun pemasok bahan produksi. Bukankah Nabi telah melaknat khamar juga semua pihak yang terlibat dengannya secara keseluruhan. Hal itu karena jika Allah mengharamkan sesuatu maka Dia mengharamkan segala bentuk keterlibatan yang mendukungnya (QS.Al-Maidah:2). Meskipun demikian, dalam batas tertentu karena kondisi kebutuhan yang mendesak yang dapat dikategorikan kondisi darurat, selama belum ada alternatif lain setelah melalui berbagai usaha maksimal, maka profesi saudari tergolong pada rukhsah (dispensasi atau keringanan hukum syariah) terlebih jika keluarga Saudari membutuhkan penghasilan dari profesi pekerja pabrik rokok. Di samping itu, saudari harus banyak berusaha dan berdoa semoga segera mendapatkan pencaharian yang lebih halal dan baik sebab Allah adalah sumber segalanya dan tempat bergantung.
Mengenai kekhawatiran sementara pihak terhadap dampak sosial ekonomi pasca fatwa haram rokok dengan beberapa perincian oleh Majelis Ulama Indonesia yang dihasilkan oleh Ijtima Ulama Komisi fatwa dan Unsur Ormas Islam Seluruh Indonesia serta menghadirkan nara sumber ahli kesehatan, yaitu kekhawatiran akan timbulnya pengangguran dan matinya lapangan pekerjaan secara dramatis dan drastis karena ditutupnya pabrik rokok, maka kekhawatiran itu berlebihan, terlalu apriori, pragmatis, pesimistis, skeptis, fatalis, dan tidak berdasarkan data empiris ilmiah. Semua komponen umat ini seharusnya bertekad memikirkan dan mengusahakan alternatif pengganti yang lebih baik dan halal (halalan thayyiban) dari industri rokok dengan alih fungsi dan kemanfaatan tembakau misalnya, bukankah Nabi saw. menjanjikan bagi siapa yang meninggalkan sesuatu karena takwa kepada Allah maka Ia akan menggantinya dengan yang lebih baik untuknya.
Profesi terkait dengan rokok yang lainnya seperti para pedagang pengecer maupun pengasong yang tidak hanya menjual rokok demikian pula para pemasok dan petani tembakau, teknisi, entertainer, pengusaha reklame dan advertising, ataupun pihak terkait lainnya, maka akan lebih selamat dan berhati-hati (ihthiyatan) bila menghindari komoditi dan objek usaha yang haram ataupun minimal syubhat (meragukan kehalalannya) seperti rokok. Sebab, Allah tidak akan memberkati seseorang karena usahanya yang haram atau bercampur haram. Dan harus diingat bahwa setiap kesulitan di jalan Allah akan ada kemudahan dan jalan keluar yang lebih baik. (QS.At-Thalaq:2-5, Al-Insyirah:4-5) Sikap demikian itu hikmahnya adalah demi menyelamatkan generasi muda dan segenap bangsa dari kecanduan rokok, dan kerusakan kesehatan diri dan lingkungan. Namun dalam masa transisi setelah kesadaran hukum dan aspek kesehatan terkait rokok ini, semua pihak terkait seharusnya mulai memancangkan niat dan tekad kuat untuk mencari alternative yang lebih baik untuk kemaslahatan luas dan halal. Dalam hal ini pemerintah dan semua pihak terkait melalui berbagai media dan sarana harus berusaha keras memerangi penyakit ini dan kampanye anti rokok di samping menciptakan alternatif lapangan kerja dan usaha lainnya yang lebih baik, meskipun untuk ini harus mengeluarkan biaya yang sangat banyak dan melumpuhkan industri rokok dan biaya sosial yang sangat tinggi, sebab dampak negatif yang ditimbulkannya bagi kesehatan keluarga dan bangsa jauh lebih mahal dan berharga dari pada nilai devisa ataupun nilai material apapun. Wallahu A’lam Wa Billahit Taufiq wal Hidayah. (dkw)