alhikmah.ac.id – “SETIAP anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanya-lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi,” demikian kutip sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim
Fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah. Sebab manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan sosial. Jadi gharizah tadayyun adalah permanen, kecenderungan kepada kekafiran adalah susulan.
Batasan agama yang lurus menurut arahan Allah SWT dan Rasulullah SAW diatas menggunakan terma fitrah, sedangkan agama yang lain menggunakan istilah Yahudi, Nasrani dan Majusi. Maka, makna fitrah yang benar adalah Islam itu sendiri. Agama yang melekat dalam diri manusia sejak di alam rahim ibu.
Al-Quran mengatakan, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus (dinul qayyim), tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Rum (30) : 3).
Sebelum menjadi janin, manusia sudah bersyahadat di hadapan Allah SWT. Ketika lahir diingatkan ulang kalimat tersebut di telinga kanan dengan suara adzan dan di telinga kiri dengan suara iqamat. Agar dalam kehidupan yang penuh ujian nanti, tidak sampai tergoda/tergelincir/terperosok ke dalam jurang kehancuran (darul bawar), dan meninggalkan Islam. Baik, diuji dengan jabatan, kekayaan dan ilmu.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. Al Araf (7) : 172).
Berpaling dari Islam adalah menyiksa dirinya sendiri. Karena ia melempar dimensi spiritual di dalam dirinya. Maka kehidupan manusia akan mengalami kehampaan (krisis makna). Apa yang diburu dan dimilikinya tidak menambah kebaikan dirinya, keluarganya dan lingkungan sosialnya (tidak barakah).
Jadi, karunia yang paling mahal dalam kehidupan ini adalah lazzatur ruh (keezatan spiritual), lazzatul Iman wal Islam (kenikmatan beriman dan berislam). Sekalipun kita menggenggam kekayaan dunia tujuh turunan, kekuasaan yang tanpa pensiun, ilmu yang tinggi (sundhul langit, Bhs Jawa), kehidupan yang memiliki pengaruh yang besar, popularitas, tetapi tidak ditemani oleh Islam akan membuat kita kecewa seumur hidup. Sedangkan, sekalipun kita tinggal di gubug reot, di balik jeruji, di rumah kontrakan, kehidupan pas-pasan, jika islam bersama kita, justru disitulah rahasia kemuliaan, dan kebahagiaan kita.
Berbeda dengan dunya (sesuatu yang dekat), mata’ (kepuasaan sesaat), nikmat dinul Islam hanya diberikan kepada hamba yang dicintai-Nya. Itulah sebabnya banyak sekali orang yang menyatakan dirinya secara formal memeluk Islam, tetapi dalam realitas kehidupannya ada yang merasa tidak nyaman dengan atribut keislaman. Bahkan Islam yang indah dan mulia tersebut disalahpahami. Dahulu Islam ditambah-tambah. Kemudian Islam dikurangi. Islam tanpa jihad, Islam tanpa hudud (hukum pidana). Sekarang ini Islam diberi embel-embel lain. Islam radikal, Islam moderat dll. Islam masih dipandang belum sempurna. Sehingga memerlukan pengurangan dan penambahan, sehingga dia tidak merasa at home untuk memakainya.
Islam sebagai Dinullah
Nama Muslim bukanlah nama yang diberikan oleh orangtua kita, bukan pula warisan nama yang diberikan oleh nenek moyang kita, bukan pula nama yang dibuat oleh Rasulullah SAW. Yang memberi nama seseorang sebagai Muslim adalah Allah SWT sendiri.
Allah SWT memberi standar (ukuran), criteria (sifat), status (posisi) orang tertentu yang memenuhi kelayakan sebagai Muslim. Tentu, Muslim disini adalah Muslim hakiki, lahir dan batin, hissiyyan wa ma’nawiyyan (penampakan lahiriyah dan batiniyah).
Jadi, Muslim adalah sebuah nama yang agung, yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Mulia. Sejak sebelum Rasulullah SAW diutus di muka bumi ini.
“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu [kitab-kitab yang diturunkan sebelum Rasulullah SAW], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.” (QS. Al Hajj (22) : 78).
Dahulu para sahabat sangat bangga menjadi Muslim. Mereka mengatakan, ”Ayahku adalah Islam. Tiada lagi selain Islam. Apabila orang bangga dengan suku, bangsa, kelompok, marga, perkumpulan, paham mereka, tapi aku bangga nasabku adalah Islam. Suatu ketika Salman Al-Farisi radhiyallahu anhu ditanya, ”Keturunan siapa Kamu ?” Salman yang membanggakan keislamannya, tidak mengatakan dirinya keturunan Persia, tapi ia mengatakan dengan lantang, ”Saya putera Islam.” inilah sebabnya Rasulullah saw mendeklarasikan bahwa, ”Salman adalah bagian dari keluarga kami –ahlul bait-, bagian dari keluarga Muhammad saw.”
Islam sebagai Dinul Insaniyyah
Jika merujuk nama manusia menggunakan istilah ‘Al-Insan’ mengandung pengertian yang mendalam. Dari kalimat tersebut melahirkan makna turunan ‘al-Uns’ (harmonis). Ini menunjukkan sesungguhnya sifat dasar manusia mudah untuk menjalin komunikasi dengan yang lain (makhluqun madani), meminjam istilah Ibnu Khaldun. Sesungguhnya inti dinul Islam adalah pandai bergaul (ad-Dinu huwal mua’amalah). Indikator kecintaan Allah SWT kepada hamba-Nya adalah hamba tersebut dicintai orang-orang terdekatnya.
Jika terhadap komunitas terdekat tidak memiliki jiwa besar. Mustahil bisa berinteraksi dengan lingkungan social yang lebih luas. Lingkungan terdekat secara minimal terdiri dari 160 KK. Empat puluh KK arah depan. Empat puluh KK arah belakang. Empat puluh KK arah kiri. Dan empat puluh KK arah kanan.
Karena fitrah manusia itu senang kepada perbuatan yang dikenali hati (al-Ma’ruf). Senang kepada kejujuran, keadilan, keberanian dalam membela kebenaran, dermawan. Dan tidak senang kepada sesuatu yang diingkari hati (al-Mungkar). Misalnya, kebohongan, ketidak jujuran, kelemahan, kikir, egois, mau benar sendiri sekalipun tidak benar.
Jika dalam kehidupan manusia memarginalkan dimensi naluri kepada sifat-sifat kemanusiaan ini, maka manusia akan menjadi srigala bagi yang lain. Ia menjadi keras hati, tertutup.Ada sebuah pameo “ Hari ini makan apa, besok dan lusa makan siapa”.
Islam sebagai Manhajul Hayah
Dalam tata bahasa Arab, Muslim adalah isim fa’il (pelaku) yang berasal dari kata – aslama-yuslimu-islaman – yang bermakna berserah diri. Dari akar kata aslama melahirkan kata turunan (derivat) – at-Taslim (berserah diri), as-Silmu (damai), salima minal mustaqdzirat (steril dari motivasi yang kotor), as Salamu (kesejahteraan), as-Salamah (keselamatan lingkungan). Dari turunan terma Al-Islam telah tergambar sistem kehidupan secara utuh. Yaitu sistem aqidah dan ibadah, sistem sosial, sistem akhlak, sistem ekonomi, sistem penyelamatan lingkungan.
Manhajul hayah artinya menjadikan Islam (al-Quran) sebagai panduan aturan kehidupan manusia. Jadi seorang Muslim adalah orang yang telah menyerahkan jiwa dan raganya, pikiran, hati dan perilakunya untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Dan ia yakin dengan cara demikian ia akan merasakan kehidupan yang damai, bisa berbuat dengan tulus, makmur, sejahtera, bisa menyelamatkan lingkungan social dari berbagai bencana.
Seorang Muslim menjalankan segala aspek kehidupannya dengan merujuk referensi Islam. Dalam skala kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bangsa. Sejak kelahirannya (fiqh aqiqah) hingga kematiannya (fiqh janazah). Menyangkut system ideology, politik, social budaya, pendidikan, ekonomi, pertahanan kemanan dll.
Islam sebagai Dinul Kaun
Sudah kita maklumi, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini tunduk kepada suatu peraturan tertentu dan menginduk kepada undang-undang tertentu. Matahari, bulan dan bintang-bintang semuanya patuh kepada suatu peraturan yang permanen (tetap), tidak dapat bergeser atau menyeleweng darinya sedikitpun meskipun seujung rambut (hukum alam).
Bumi berputar mengelilingi sumbunya. Ia tidak dapat beranjak dari masa, gerak dan jalan yang telah ditetapkan baginya. Air, udara, cahaya dan panas semuanya tunduk kepada suatu sistem yang khas (unik). Benda-benda yang tidak bernyawa, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang tunduk kepada sesuatu ketentuan yang pasti, tidak lahir dan tidak mati kecuali menurut ketentuan itu.
Demikian pula setiap fase kehidupannya, secara sistematis tunduk kepada pemilik dan pencipta kehidupan. Sejak fase kehidupannya di rahim ibu (berupa janin), ia hidup dengan tenang. Ia dilindungi oleh-Nya dari gangguan suara, panas dan dingin. Kemudian menjadi bayi (shobi), ia diajari oleh Allah menangis ketika dalam keadaan lapar. Kemudian menuju masa kecil (thifl). Ia diajari oleh Allah SWT berbicara, merangkak, berjalan dan berlari. Lalu menuju masa ABG (murahiq). Kemudian melawati masa dewasa (kuhulah). Dan melewati masa syaikh (umur 40 keatas). Dua kelemahan yang melekat pada diri anak Adam adalah masa kecil dan masa tua. Semua fase kehidupan diatas tunduk pada ketentuan Allah SWT. Siapapun tidak bisa menolaknya. Sekalipun mulutnya mengatakan bahwa dirinya Yahudi, Nasrani dan Majusi. Jika manusia bisa memilih, tentu ia ingin tidak melewati masa kecil dan masa tua. Karena masa kecil merepotkan orang tuanya. Dan masa tua merepotkan anak-anaknya.
Islam sebagau Dinul Hadharah
Islam yang diturunkan sebagai din, sebenarnya telah memiliki konsep seminalnya (ilmiah) yang spesifik (unik) sebagai peradaban (kemajuan hidup secara lahir dan batin). Sebab kata din (dal-yak-nun) itu sendiri telah mengandung keragaman makna, ketundukan, keberhutangan manusia kepada Tuhan, struktur kekuasaan, susunan hukum, dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari pemerintah yang adil. Memiliki makna pula, kecenderungan manusia secara fitrah kembali kepada Perjanjian Pertama Dengan Allah SWT ketika di alam rahim ibu.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai terhadap ini (keesaan Tuhan).” (QS. Al-A’raf (7) : 172).
Dari din muncul berbagai derivasi (kata turunan), daana (berhutang), da’in (pemberi hutang), dayn (kewajiban), dayunah (hukuman/pengadilan), idanah (keyakinan). Artinya dalam istilah din itu tersirat sistem kehidupan yang utuh. Dinul Islam berarti pola kehidupan yang dibingkai oleh spirit Islam. Paham, perilaku dan kultur kehidupan yang diserap dari nilai-nilai ilahiyah (ketuhanan).
Karena itulah, pada pesan terakhir Allah pada Nabi Muhammad, menyatakan bahwa Islam sebagai agama (din) yang telah sempurnya.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah (5) : 3).
إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ إِلاَّ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللّهِ فَإِنَّ اللّهِ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab [yang diturunkan sebelum Al Quran] kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka, barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS. Ali Imran (3) : 19).
Mudah-mudahan, kita dan keluarga kita semakin istiqomah untuk berislam dan bangga kepada pada agama Islam. Sebagaimana Allah telah mengatakan keridhoannaya pada agama ini.