BELAKANGAN isu terorisme kembali mencuat. Bahkan terakhir, kegiatan pelajar Muslim di sekolah menengah seperti ROHIS) dituduh sebagai sarang “teroris”. Tidak berhenti di situ, pada saat bersamaan, keluar sebuah film provokatif yang merendahkan martabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Tetapi, yang disorot media bukan filmnya, lebih banyak cenderung kepada reaksi umat Islam yang melakukan demo, yang mereka sebut sebagai aksi anarkis. Jadi, umat Islam yang diserang, ketika bereaksi, umat Islam pula yang dituduh dengan tidak semestinya.
Sebagai seorang Muslim -terutama masyarakat umum- situasi seperti ini tentu akan menimbulkan kebingungan. Apalagi yang setiap hari sibuk bekerja dan tidak pernah intens menambah khazanah keilmuan Islam-nya. Sementara itu, mereka tanpa bisa menghindar dijejali oleh berbagai informasi (berita) yang belum tentu benar pemberitaannya.
Dalam situasi seperti ini, tentu kita semua sebagai Muslim harus cerdas memilah, memilih dan mengolah berita. Jangan sampai kita percaya begitu saja kepada semua berita yang ditayangkan oleh media. Setidaknya kita harus mengerti media mana yang konsen memberitakan Islam secara obyektif dan berimbang. Sekaligus juga harus mengetahui media mana yang kurang berimbang dalam menyampaikan berita tentang Islam dan umat Islam.
Dua hal itu sangat penting, utamanya untuk melindungi iman kita sendiri agar tidak terkikis oleh berita-berita yang tidak benar atau berbau fitnah. Sebab, media hari ini sama halnya dengan sahabat pada zaman dulu. Apalagi bagi mereka yang sibuk bekerja, tidak sempat silaturrahim, tidak bisa mengikuti pengajian di masjid, tentu tidak ada yang menemaninya, selain berita dari berbagai media.
Oleh karena itu, setiap Muslim wajib cerdas memilih berita atau informasi. Carilah media yang benar-benar bisa menguatkan iman dan meneguhkan keyakinan. Jika dianggap susah, maka kita harus memiliki sensor yang baik.
Allah SWT berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِي
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS.Al-Hujurat [ 49]: 6).
Setiap media tentu menyajikan berita, tetapi belum tentu semua berita itu benar, ditulis dengan keikhlasan, kejujuran dan pemahaman yang baik. Maka dari itu, dalam situasi seperti sekarang, dimana informasi berseliweran begitu banyak maka tidak ada cara terbaik selain mengamalkan apa yang Allah firmankan di atas.
Periksa dengan teliti setiap berita. Apakah benar, salah, atau malah justru mengandung fitnah. Jika kita tidak mendalami ajaran Islam, tentu akan sulit bagi kita untuk melakukan pemeriksaan, apalagi sampai pada tahap memilah, memilih dan mengolah.
Maka jangan lupa pesan Nabi Muhammad saw, bahwa menuntut ilmu itu wajib. Jadi, sudah seharusnya setiap Muslim menambah keilmuan agamanya dengan penuh kesungguhan.
Apalagi di zaman dimana Islam selalu diberitakan secara negatif dan tidak berimbang. Kita perlu bertanya kepada ulama perihal Islam yang sesungguhnya. Setidaknya, kita membaca media-media Islam yang konsen membela hak dan suara umat Islam.
Media adalah Teman
Dahulu teman adalah manusia, sekarang tidak. Teman bisa berarti media. Bagaimana tidak, setiap orang dapat mengakses berita sesuka hati, sesuai selera, dan kebutuhan.
Berbicara teman dalam Islam adalah hal yang sangat pokok. Masalah teman adalah masalah iman. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Pepatah Barat mengatakan, “You Are What You Talk.” Artinya orang akan berbicara dari apa yang dibaca dan didengar. Kalau bacaannya tentang Islam keliru, bisa keliru pemahamannya dan terganggu keimanannya.
Sekalipun terkesan sederhana, ini adalah masalah pokok. Ketidakpedulian kita sebagai Muslim terhadap masalah seperti ini adalah pertanda buruk bagi eksistensi umat Islam di masa-masa yang akan datang.
Bayangkan, di negeri yang mayoritas ini, umat Islam belum punya televisi Muslim yang bisa bersaing dengan televisi nasional yang kurang peduli terhadap umat Islam. Akibatnya, mau tidak mau, sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia mengkonsumsi berita dari televisi yang tidak mendakwahkan Islam secara benar.
Mungkin, momentum terorisme dan anarkisme yang dituduhkan terhadap umat Islam, bisa menjadi momentum yang baik bagi kita semua (umat Islam) untuk menggalang kekuatan menghadirkan televisi Muslim Indonesia. Kita tidak bisa menyalahkan media yang sudah ada, karena secara frame work semua media itu hadir tidak dengan basis dakwah dan pencerahan umat tetapi komersialisme.
Tetapi jangan lupa, selagi media Muslim berupa televisi belum ada, kita semua sebagai Muslim harus serempak untuk mampu mengkonsumsi informasi yang berkualitas, benar, dan jujur. Jika tidak, maka perselisihan, percekcokan antar umat Islam sendiri, selamanya tidak akan bisa dihindari. Inilah salah satu PR terbesar umat Islam era kini.
Al-Qur’an Sebenar-benar Berita
Informasi akan semakin sulit disaring manakala kita sebagai Muslim buruk interaksinya dengan Al-Qur’an. Bayangkan, tidak sedikit di antara umat Islam yang setiap hari sanggup membaca koran tetapi tidak mampu membaca Al-Qur’an walau hanya beberapa ayat saja dengan penuh kesungguhan.
Akibatnya, isi kepala lebih banyak berisi berita koran dari pada berita Al-Qur’an. Padahal, hanya Al-Qur’an saja yang menyajikan berita yang mutlak kebenarannya. Atas kondisi ini, amar makruf nahi munkar dianggap anarkisme. Kemudian, asal berjenggot, berjilbab, apalagi bercadar, berbekam, dan berpenghasilan obat-obatan herbal dituduh teroris lalu sebagian dari umat Islam pecaya begitu saja.
Hal tersebut tentu tidak benar. Tetapi selamanya sebagian umat Islam akan bingung dan bimbang manakala tidak memperbaiki interaksinya secara kuantitatif dan kualitatif terhadap Al-Qur’an. Sebab hanya Al-Qur’an yang isi dan kandungannya mutlak benar (QS. 2 : 2). Jadi, wajib bagi setiap Muslim percaya kepada Qur’an, dan selektif terhadap berita koran (media massa).
Menjadi Sahabat Setia Nabi
Reaksi yang dilakukan sebagian umat Islam di seluruh dunia dan di Indonesia terhadap film yang menghina Rasulullah adalah sebuah keniscayaan. Hal itu tidak bisa disalahkan, sebab dalam Islam ada kewajiban untuk membela Rasulullah saw. Tentu, tindakan destruktif dalam melakukan aksi unjuk rasa itu tidak dibenarkan dalam Islam.
Hal tersebut tidak bisa dihubungkan dengan ajaran Islam. Fenomena itu adalah bentuk reaksi psikologi yang pasti terjadi pada diri umat Islam. Karena apapun alasannya, tindakan menghina Nabi adalah tindakan yang tidak bisa ditolerir dan merupakan tindakan yang biadab.
Justru aneh jika ada yang menghina Nabi kemudian umat Islam tidak melakukan reaksi apa-apa. Nabi adalah bagian inti dalam ajaran Islam. Menghina Nabi berarti menghina Islam.
Terkait dengan hal itu, ada sebuah hadits yang relevan untuk dihadirkan dalam kesempatan ini. “Setiap Nabi yang diutus oleh Allah kepada suatu umat sebelumku, tentu ia mempunyai para sahabat setia dari umatnya. Mereka mengamil sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian datanglah generasi berikutnya yang mengingkari sunnahnya, mereka mengatakan apa yang tidak mereka perbuat dan melakukan apa yang tidak diperintahkan.
“Barangsiapa yang bersungguh-sungguh (berjuang mengingatkan dan meluruskan mereka) dengan tangannya (kekuasaanya), maka dia adalah mukmin, barangsiapa yang bersungguh-sungguh meluruskan mereka dengan lisannya, maka dia adalah mukmin, dan barangsiaa yang bersungguh-sungguh berjuang meluruskan mereka dengan hatinya, maka dia adalah mukmin. Dan tidadalah dibelakang hal tersebut terdapat keimanan sekecil biji sawi pun.” (HR. Muslim).
Mari kita jaga hati kita dengan berita-berita dari media-media subhat yang hanya akan merusak pikiran, akhlaq anak-cucu kita semua.
Untuk saat ini, kita (umat Islam) memang tidak memiliki televisi yang menjadi representasi umat. Namun dalam banyak kasus, kita bisa menjadi “pengendali” media massa di negeri ini. Kasus “Pengaduan kaum Muslim dalam kasus “Metro Hari Ini” bahkan bisa tembus angka 17000”. Jadi, mulai saat ini, marilah kita mulai selektif dalam mengkonsumsi berita. Termasuk memilih berita untuk kebutuhan kaum Muslim dan keluarga kita