alhikmah.ac.id – Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memiliki hutang pada seorang Badui (masyarakat Arab pedalaman). Saat jatuh tempo, Badui yang belum berislam itu menemui beliau dan menagihnya dengan paksa. Melihat sikap Badui yang kasar itu, para sahabat marah, “Celaka engkau. Apakah engkau tahu dengan siapa engkau berhadapan?”
Namun orang Badui itu bersikeras, “Aku hanya menuntut hakku!” Rasulullah meredam emosi para sahabat dan berkata kepada mereka, “Kalian seharusnya berada di pihak yang benar.”
Rasulullah kemudian memohon kepada Khaulah binti Qais agar meminjamkan beliau beberapa butir kurma. Khaulah memberikannya dan Rasulullah melunasi hutangnya kepada orang Badui itu setelah terlebih dahulu beliau mengajaknya makan.
Orang Badui itu berkata, “Engkau telah melunasi hutangmu. Semoga Tuhan memenuhi hakmu!”
Rasulullah berkomentar, “Orang yang memenuhi hak (orang lain) adalah manusia terbaik. Celakalah suatu kaum yang individu-individunya tidak memenuhi hak-hak orang lemah.”
Orang Badui itu berkata, “Wahai Rasulullah, aku belum pernah menyaksikan pribadi yang demikian jujur (seperti pribadimu)!” Dikisahkan, setelah menyaksikan keagungan akhlak Rasulullah, orang Badui itu memeluk Islam. Demikian kisah dari Abu Said Al-Khudri.
Jangan Marah, Jika tak Mampu Kendalikan Emosi
Sikap marah yang tak terkendali menandakan ego yang masih dominan. Kalau tidak waspada, ego yang meluap bisa membuat orang gelap mata. Tak peduli lagi posisi hak orang lain, yang dilihat hanya kepentingan diri sendiri. Kemarahan membuat seseorang tak bisa lagi berpikir jernih.
Kemarahan juga bisa mengemuka dalam bentuk yang lain, yaitu tersulutnya fanatisme golongan. Pada kasus di atas, bila saja sikap Badui itu disikapi tidak bijak, bisa saja para sahabat terpancing marah membabi buta membela pemimpinnya. Tak lagi peduli benar atau salah. Keadaan semakin runyam, jika beliau tidak segera menjernihkan.
Kadang seseorang atas nama kepentingan rakyat, kemarahan massa dikobarkan. Padahal sebenarnya urusan pribadi dirinya saja yang terancam. Berbagai bentrok antar pendukung di Pilkada misalnya, seringkali karena kepentingan ego yang sudah tak terkendali. Pada saat suasana mudah panas begini, ada baiknya kita merenungkan pentingnya pesan Rasulullah berikut ini.
Suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Rasulullah , kemudian berkata: “Ya Rasulullah, berilah saya perintah untuk mengerjakan suatu amalan yang baik, tetapi saya harap yang sedikit saja.” Rasulullah lalu bersabda: “Jangan marah!”
Orang ini meminta supaya diulangi, barangkali ada lanjutannya. Tetapi beliau tetap menyuruh satu macam itu saja yaitu: “Jangan marah!”(Riwayat Bukhari)
Apakah kita tidak boleh marah sama sekali? Sebenarnya jika masalahnya prinsip, marah boleh dilakukan, asalkan dapat mengendalikan emosi. Rasulullah juga marah bila masalah prinsip ajaran Islam dilecehkan. Tetapi beliau tetap terkendali emosinya, sehingga dapat menyampaikan pesan dengan efektif. Namun jika sulit mengendalikan emosi, maka yang terbaik adalah jangan marah.
Pada kasus di atas benarkah Badui tak lagi marah-marah setelah Rasulullah bersikap bijak? Saat sikap kasar itu direspon dengan cara baik, maka keadaan yang sempit jadi lapang. Hati yang semula sempit pada akhirnya tercerahkan. Dari dirinya muncul pengakuan jujur. Bahkan kesadarannya terbuka sehingga ia berislam. Dengan akhlakul karimah, seringkali orang-orang yang memusuhi Rasulullah justru berubah tercerahkan menjadi para sahabatnya yang setia.
Program Pengendalian Emosi
Meski pada kenyataannya mengendalikan emosi itu sangat penting, belum banyak orang yang mau bersungguh-sungguh melatihnya. Kebanyakan orang lebih mementingkan melatih fisik bagaimana lebih bugar dan kuat, lebih lentur dan lincah.
Aspek fisik maupun intelektual memang harus diasah karena keduanya sangat penting. Tapi aspek emosi juga harus mendapat perhatian. Bahkan menurut para ahli, kesuksesan hidup seseorang 88% ditentukan aspek emosi. Jauh lebih menentukan daripada aspek intelektual yang menyumbangkan 12% saja. Sekali pun jenius, ketidakmampuan seseorang mengendalikan emosi, mengakibatkan kemampuan intelektualnya tak berfungsi optimal.
“Siapakah yang kamu anggap sebagai orang yang kuat bergulat?” tanya Rasululah . Kita (para sahabat) menjawab: “Yaitu orang yang tidak dikalahkan oleh orang lain dalam pergulatannya.” Beliau kemudian bersabda lagi: “Bukan itu, yang disebut orang yang kuat ialah yang dapat menahan hatinya di waktu marah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Kita dapat meningkatkan ketrampilan pengendalian emosi dengan menanamkan program ke bawah sadar kita. Caranya dengan mengimajinasikan secara mental suasana yang memancing kemarahan. Bayangkan sambil memejamkan mata bagaimana seorang berlaku kasar kepada Anda. Lihat wajahnya dan dengarkan kata-kata kerasnya.
Rasakan reaksi emosi Anda naik. Saat demikian tata dan format hati dengan berpasrah diri kepada Allah. Sadari bahwa tidak ada kejadian yang kebetulan, semua sudah dikehendaki Allah. Dan apa pun sikap serta tindakan kita dinilai oleh-Nya. Bisikkan dari hati. “Ya Allah, saya pasrah pada-Mu. Tolonglah hamba Ya Allah. Jangan serahkan diri ini pada hawa nafsu. Tuntun hamba Ya Allah. Tunjuki jalan-Mu yang lurus.”
Ulang-ulanglah dengan khusyu sampai tensi emosi mereda. Saat emosi menurun, bayangkan Anda melakukan sikap yang bijak seperti Rasulullah . Gambarkan dalam benak hati bagaimana Anda ditolong Allah mampu bersikap terkendali dan bahkan merespon kekasaran itu dengan kebaikan. Akhirilah latihan mental di atas dengan rasa syukur, Alhamdulillah.
Kalau ini dilakukan dengan sepenuh hati, insya Allah latihan mental ini terserap menjadi program baru di bawah sadar kita. Saat menghadapi suasana yang memancing emosi, secara mental akan lebih siap bersikap tenang. Jika emosi masih bergolak, ambil napas dalam-dalam dan istighfarlah, Astaghfirullah al-‘Azhim (aku mohon ampoun kepada Allah Yang Maha Agung). Ambillah air wudhu. Emosi yang panas tentu akan mendingin. Saat demikian pikiran akan melihat persoalan lebih jernih. Hati juga bisa merasakan bisikan nurani lebih baik. Dengan keadaan yang seperti itu sampaikan pesan Anda. Kata-kata kita tentu akan lebih terarah dan mengandung hikmah. Tindakan kita juga bisa lebih tepat dan bijak.
Sungguh tak ada ruginya menahan emosi marah. Di samping berbagai hikmah dan keutamaan di atas, Allah juga memberikan janji yang lebih besar di akhirat kelak. “Barangsiapa menahan kemarahannya, maka Allah akan menahan siksa-Nya kepada orang itu.” (Riwayat Thabrabi dan Baihaqi). Wallahu ‘alam bish shawab.