alhikmah.ac.id – Jiwar adalah salah satu produk hukum musyrikin Arab yang berarti perlindungan atau suaka politik. Hukum ini menegaskan bahwa seorang tokoh di antara mereka boleh menyatakan dengan bebas untuk memberikan perlindungan kepada seseorang, sehingga siapapun tidak boleh menyakiti orang-orang itu sebagai penghormatan kepada orang yang melindungi dan pengakuan terhadap ketokohan, kehormatan dan pengaruhnya.
Ketika Rasulullah saw. kembali dari Thaif, beliau tidak bisa masuk ke kota Makkah kecuali dengan perlindungan dari seorang tokoh Musyrikin Quraisy yang bernama Al-Muth’im bin ‘Adi. Rasulullah saw. meminta perlindungan dan Al-Muth’im mengabulkan permintaan Nabi. Al-Muth’im bin ‘Adi dan keluarganya kemudian mengambil perlengkapan senjata mereka dan keluar bersama menuju Masjid Haram. Setelah sampai di Masjid, ia mengutus orang untuk meminta Rasulullah saw. segera masuk ke kota Makkah. Rasulullah saw. pun memasuki kota Makkah, lalu menuju Masjid Haram, thawaf di Ka’bah dan melakukan shalat, kemudian kembali ke rumahnya.
Diriwayatkan bahwa Abu Jahal sempat bertanya kepada Al-Muth’im bin ‘Adi, seperti yang tertera di Sirah Ibnu Hisyam, Bab “Kaifa Ajara Al-Muth’im Rasulallah” (bagaimana Al-Muth’im melindungi Rasulullah saw). Abu Jahal bertanya, “Engkau pemberi jiwar ataukah pengikut Muhammad (muslim)?” Al-Muth’im menjawab, “Aku pemberi jiwar.” Abu Jahal berkata, “Kami melindungi siapapun yang engkau lindungi.” (lihat juga Ar-Rahiq Al-Makhtum, Shafiyyur Rahman Mubarakfuri, Bab Ar-Rasul shallallahu alaihi wasallam fi At-Thaif).
Pembelaan Al-Muth’im bin ‘Adi ini amat berkesan di hati Rasulullah saw. sehingga ketika Perang Badar usai dan Rasulullah saw. telah memutuskan perlakuan terhadap tawanan Perang Badar, beliau bersabda, “Seandainya Al-Muth’im bin ‘Adi masih hidup kemudian berbicara kepadaku tentang tawanan perang yang buruk ini, pasti akan kubebaskan mereka untuknya.” (lihat Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, hlm 100; Ar-Rahiq Al-Makhtum, Shafiyyur Rahman Mubarakfuri, Bab Ar-Rasul shallallahu alaihi wasallam fi At-Thaif).
Peristiwa perlindungan oleh Al-Muth’im ini terjadi setelah paman Rasulullah saw, Abu Thalib wafat. Sebelum itu, Rasulullah saw. dengan sukarela menerima perlindungan dari Abu Thalib yang sampai akhir hayatnya tidak masuk Islam. Ketika Abu Thalib juga memberikan perlindungan kepada Salamah bin ‘Abdil Asad r.a., sekelompok orang dari Bani Makhzum datang kepadanya, “Wahai Abu Thalib, engkau telah melindungi anak saudara laki-lakimu Muhammad, mengapa kini engkau lindungi orang ini dari kami?” Abu Thalib menjawab, “Ia telah meminta perlindungan kepadaku, dan ia adalah anak saudara perempuanku. Bila aku tidak melindungi anak saudara perempuanku, maka aku juga tak akan melindungi anak saudara laki-lakiku.”
Pada saat Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. hendak berhijrah ke Habasyah menyusul saudara-saudaranya tercinta yang telah lebih dahulu hijrah, seorang tokoh musyrikin yang bernama Ibnu Ad-Daghannah menemuinya dan memberikan perlindungan kepadanya sambil berkata, “Orang sepertimu tidak boleh keluar dan dikeluarkan dari Makkah.” Hatta, Umar Al-Faruq pun mendapat perlindungan dari seorang musyrik bernama Al-’Ash bin Wail As-Sahmi ketika Quraisy telah mengetahui keislamannya. (lihat As-Sirah An-Nabawiyyah, Muhammad Abu Syuhbah, juz 1 hlm 36, 381, 358).
Betapa pentingnya bagi seorang dai untuk memiliki hubungan yang baik dengan keluarganya, atau dengan orang-orang di sekitarnya, meskipun kafir, yang dapat membelanya, dan pembelaan ini bermanfaat bagi dakwahnya. Tidaklah mungkin Rasulullah saw. mendapatkan perlindungan dari Abu Thalib, kalau beliau tidak menjaga hubungan baik dengan pamannya yang musyrik itu. Juga tidaklah mungkin Al-Muth’im bin ‘Adi bersedia memberikan perlindungannya kepada Rasulullah saw. kalau tidak ada muamalah yang baik antara Rasulullah saw. dengannya.
Tidaklah penting bagi seorang dai untuk mengetahui apakah pembelaan itu karena faktor kekeluargaan, kesukuan, pertemanan, ataukah sebab lainnya. Yang jelas perlindungan dan dukungan ini bermanfaat bagi sang dai dan secara otomatis menjadi maslahat bagi gerak dakwahnya. Begitu pula betapa pentingnya sebuah jamaah dakwah memiliki hubungan muamalah yang baik dengan berbagai organisasi dan kelompok masyarakat terutama di dalam negeri. Dengan muamalah yang baik ini jamaah dakwah dapat lebih leluasa bergerak merealisasikan agenda dakwahnya dan mendapatkan pembelaan dari berbagai pihak yang telah merasakan husnul muamalahnya.
Al-Quran sendiri mengisyaratkan peran kabilah atau keluarga, meskipun kafir, dalam melindungi da’i dari ancaman musuh seperti dalam kisah Nabi Syuaib a.s., “Mereka berkata, ‘Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.’” (Hud: 91)
Syaikh Abdurahman bin Nashir As-Sa’di, seorang ulama Saudi Arabia, dalam menjelaskan ayat tersebut mengatakan, “Allah membela orang-orang yang beriman dengan berbagai cara, ada yang mereka ketahui dan ada pula yang tidak mereka ketahui. Bisa jadi Allah membela orang-orang yang beriman dengan kabilah atau warga sekampung mereka yang kafir sekalipun sebagaimana Allah membela Nabi Syuaib a.s. dari ancaman rajam dengan wibawa keluarganya. Ikatan-ikatan yang dapat membantu membela Islam dan kaum muslimin seperti ini boleh diusahakan bahkan dalam keadaan tertentu menjadi wajib diwujudkan, karena ishlah (perbaikan) itu wajib dilakukan sesuai kemampuan dan kemungkinan.” (Tafsir Al-Karim Ar-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Mannan ketika membahas surat Hud ayat 91)
Tentang Rasulullah saw., Allah swt. Berfirman, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?” (Ad-Dhuha: 6). Syaikh Muhammad Al-Amin As-Syinqithi rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Maksudnya: Dia memberikan perlindungan kepadamu dengan menyerahkanmu kepada pamanmu, Abu Thalib. Hal itu disebabkan oleh kasih sayang keluarga dan hubungan nasab, dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama. Ketika Allah swt. memberikan nk’mat kepada Rasul-Nya saw. dengan perlindungan Abu Thalib, maka dalam hal ini terdapat dalil bahwa sesungguhnya Allah swt. bisa jadi memberikan nikmat kepada orang yang berpegang teguh kepada agamanya dengan pertolongan kerabatnya yang kafir.”
Setelah menyebutkan ayat-ayat lain tentang dukungan keluarga kepada para nabi, Syaikh Muhammad Al-Amin As-Syinqithi melanjutkan, “Ayat-ayat Al-Quran ini menunjukkan bahwa ashabiyyah sanak saudara yang kafir bisa bermanfaat bagi kaum muslimin. Pada saat Banu Al-Muthalib bin Abdi Manaf membela Banu Hasyim, sedangkan Banu Abdi Syams bin Abdi Manaf serta Banu Naufal bin Abdi Manaf tidak membantu Banu Hasyim, Rasulullah saw. mengetahui bahwa pembelaan tersebut adalah semata ashabiyyah keturunan dan tidak ada hubungannya dengan agama. Maka Rasulullah saw. memberikan kepada Bani Al-Muthalib bagian dari seperlima ghanimah bersama Banu Hasyim, dan beliau bersabda, “Kami (Banu Hasyim) dan Banu Al-Muthalib tidak pernah bercerai baik ketika jahiliyyah maupun Islam.” Dan beliau tidak memberikan dari seperlima ghanimah tersebut kepada Bani Abdi Syams maupun Bani Naufal meskipun keduanya adalah keturunan Abdu Manaf bin Qushay.” (Seperlima dari harta rampasan perang (khumus) adalah jatah yang diberikan Allah swt untuk Rasulullah, kerabat beliau dan pihak lain yang telah disebutkan dalam surat Al-Anfal ayat 41. Lihat Adhwa‘ Al-Bayan, ketika Syaikh Muhammad Al-Amin As-Syinqithi menafsirkan surat Hud ayat 91).
Sudah seharusnya ikhwah dan akhawat aktifis dakwah memiliki hubungan yang baik dengan keluarga mereka yang tentu saja mayoritasnya adalah kaum muslimin juga, sehingga ikatan yang mengikat bukan saja ikatan darah atau kekerabatan, tetapi juga ikatan iman. Bahkan jika mereka kafir atau musyrik sekalipun, hubungan baik dan dukungan mereka tetap harus diupayakan. Para dai harus dapat menggunakan bahasa iman sekaligus bahasa kekeluargaan untuk menarik dukungan keluarga dalam membela dirinya dan dakwah yang ia perjuangkan.
Sikap Aktif Mengurangi Kerusakan adalah Tuntutan Syariat
Dr. Abdul Karim Zaidan, salah seorang ulama dan dai berkebangsaan Irak, dalam makalahnya berjudul “Demokrasi dan Keikutsertaan Ummat Islam dalam Pemilu” yang disampaikan pada Mu’tamar Rabithah ‘Alam Islami di Makkah 21 Syawwal 1422 H, mengambil kesimpulan hukum dari peristiwa jiwar tersebut bahwa seorang muslim diperbolehkan mengambil produk hukum atau peraturan dari sistem yang tidak islami yang bermanfaat bagi dakwah islamiyyah.
“Hikmah dibolehkannya mengambil perlindungan dari orang kafir adalah untuk menolak bahaya dan kehancuran yang mengancam seorang muslim dengan cara yang tidak mencoreng nilai dan hukum Islam. Hal ini dapat dijadikan dasar bagi dibolehkannya mengambil aspek tertentu dari nizham (sistem) kekufuran yang bermanfaat bagi ummat Islam. Artinya, seorang muslim yang tinggal di negara kafir diperbolehkan mengambil sebagian produk undang-undang mereka jika hal itu membawa suatu maslahat atau dapat menolak suatu bahaya dan ancaman baginya atau bagi ummat Islam yang tinggal di sana.”
Lebih jauh lagi, Dr. Abdul Karim Zaidan menghubungkan masalah jiwar ini dengan keterlibatan seorang muslim yang tinggal di negara-negara barat dalam pemilu. “Dengan dasar ini, maka seorang muslim yang tinggal di negara-negara non-muslim yang memiliki hak pilih dalam pemilu legislatif diperbolehkan memilih seorang kafir sebagai anggota parlemen yang diharapkan dapat memberi manfaat atau menolak mafsadat baginya atau kaum muslimin yang lain di negara tersebut atau kaum muslimin di negara lain, minimal memilih orang kafir yang memiliki sikap al-hiyad (obyektif) terhadap problematika kaum muslimin. Karena jika kita tidak dapat merealisasikan semua maslahat atau menolak semua kerusakan, maka minimal adalah berusaha mengurangi kerusakan yang diantara realisasinya adalah ikut memilih orang yang diharapkan dapat mewujudkan hal tersebut. Apalagi jika dianalisis bahwa kekalahannya mengakibatkan kemenangan orang yang lebih buruk dan lebih banyak bahayanya bagi kaum muslimin. Sikap pasif atau golput adalah sikap negatif, juga menandakan tak ada upaya mengerahkan kemampuan untuk mengurangi mafsadat yang mengancam kaum muslimin, dan sikap ini tentu saja tidak dianjurkan oleh syariat jika kita tidak mau mengatakan dilarang.”
Syaikh Muhammad Ahmad Ar-Rasyid, seorang ulama dan tokoh pergerakan yang senegara dengan Dr. Abdul Karim Zaidan, setelah mengemukakan berbagai argumentasi dengan tegas mewajibkan kaum muslimin di negara-negara non-muslim menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
“Oleh karenanya, berdasarkan timbangan syariah, pemahaman ilmu-ilmu syar’i, dan fiqh imani yang saya miliki, saya berpendapat bahwa keikutsertaan seorang muslim dalam pemilu untuk memberikan suara kepada calon-calon pemimpin dari kekuatan politik yang bersikap moderat di negara-negara barat yang Nasrani telah menjadi kewajiban menurut syariat Islam disebabkan oleh adanya ancaman dari kekuatan-kekuatan ekstrem yang memusuhi Islam (jika mereka menang). Dan fatwa saya ini berlaku juga untuk negara-negara Timur Jauh yang beragama Budha, India dan Srilanka, dan negara manapun yang menghadapi persaingan politik dan situasi yang sama.” wallahua’lam.