alhikmah.ac.id – Allah menurukan Kitab-Nya yang abadi agar ia dibaca lisan, didengarkan telinga, dipikirkan akal dan agar hati menjadi tenang karenanya. Sampai-sampai ada ulama yang menyebutkan definisi Al-Qur’an sebagai berikut : Orang yang beribadah dengan membaca Al-Qur’an harus bisa membedakan antara wahyu Al-Qur’an dan wahyu As-Sunnah. Al-Qur’an adalah wahyu yang dibaca dan As-Sunnah adalah wahyu yang tidak harus dibaca.
Di dalam Ensiklopedia Britanica disebutkan (dibawah judul : Muhammad), bahwa Al-Qur’an merupakan kitab yang paling luas untuk dibaca di atas bumi ini.
Berangkat dari sinilahdatang berbagai ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasul yang memerintahkan membaca dan menganjurkannya, telah disiapkan pahala yang melimpah dan agung karenanya. Firman Allah,
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anuge- rahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri”. (Fathir : 29-30)
Al-Qur’an memuji segolongan Allah Kitab,
“Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang Berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).” (Ali-Imran : 113)
Jika mereka orang-orang yang dipujij dan mendapat pahala karena membaca ayat-ayat kita yang diturunkan sebelum Al-Qur’an, maka apa pendapatmu tentang membaca Kitab Allah yang paling agung, yaitu Al-Qur’an ? Ini jika yang dimaksudkan ayat-ayat Allah itu bukan Al-Qur’an, yang berarti merupakan bukti bahwa mereka telah beriman kepadanya.
Dari Aisyah Radhiyallahu Anha, dia berkata, “Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
الذي يقرأ القرآن وهو ماهر به مع السفرة الكرام البررة والذي يقرأ القرآن يتتعتع فيه –وهو عليه شاق – فله أجران.
“Siapa yang membaca Al-Qur’an dan dia mahir, maka dia bersama para malaikat penulis yang mulia lagi berbakti. Sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an, dan dia gagap dalam bacaannya, maka dia mendapatkan dua pahala.” (Muttafaq Alaihi).
Dikatakan mendapat dua pahala, karena dia mendapat pahala karena bacaannya itu sendiri, dan mendapat satu pahala lagi karena kesulitan dan kegagapan yang dialaminya. Ini merupakan dalil untuk lebih memicu meningkatkan bacaannya, meskipun dia mengalami kesulitan. Beberapa banyak orang Muslim yang lidahnya terasa berat saat membaca Al-Qur’an, tapi dia tetap tekun dan terus membaca, hingga lama-kelamaan lidahnya menjadi lentur dan luwes.
Dari Abu Umamah, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
اقرءوا القرآن فإنه يأتي يوم القيامة شفيعا لأصحابه.
“Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya.” (Diriwayatkan Muslim).
Dari Ibnu Mas’ud, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
من قرأ حرفا من كتاب الله فله به حسنة والحسنة بعشر أمثالها لا أقول الم حرف ولكن ألف حرف ولام حرف وميم حرف.
“Barangsiapa membaca satu huruf dari Kitab Allah, maka dia mendapatkan satu pahala, dan satu kebaikan itu berlipat sepuluh kebaikan yang serupa. Aku tidak mengatakan, ‘Alif lam mim satu huruf, tapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf,” (Diriwayatkan At-Tirmidzy)
Dari Abu Sa’id, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
“Rabb Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Barangsiapa disibukkan Al-Qur’an sehingga tidak sempat memohon kepada-Ku, maka Aku akan memberinya sesuatu yang lebih baik dari apa yang Ku berikan kepada orang-orang yang meminta’. Dan, kelebihan kalam Allah atas semua perkataan iala seperti kelebihan Allah atas makhluk-Nya.”(Diriwayatkan At-Tirmidzy).
Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
الصيام والقرآن يشفعان للعبد يوم القيامة يقول الصيام أي رب منعته الطعام والشهوات بالنهار فشفعني فيه ويقول القرآن منعته النوم بالليل فشفعني فيه قال فيشفعان
“Puasa dan Al-Qur’an memintakan syafaat bagi hamba pada hari kiamat. Puasa berkata, ‘Ya Rabbi, aku mencegahnya makanan dan minuman syahwat, maka berilah aku syafaat baginya. Sedangkan Al-Qur’an berkata, “Ya Rabbi, aku mencegahnnya tidur pada malam hari, maka berilah aku syafaat baginya’. Beliau bersabda, “Maka keduanya diberi syafaat.”[1])
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Tidak ada kedengkian kecuali dalam dua perkata : Yaitu seseorang yang diajari Al-Qur’an oleh Allah, lalu dia membacanya pada ujung malam dan siang, lalu ada seorang tetanggannya yang mendengar, yang berkata. ‘Sekiranya saja aku diberi seperti yang diberikan kepada Fulan itu, tentu aku akan berbuat seperti yang diperbuatnya’, dan seseorang yang diberi harta oleh Allah, lalu dia mengeluarkannya dalam kebenaran, lalu ada orang lain yang berkata,’Sekiranya aku diberi seperti yang diberi kepada Fulan, maka aku akan berbuat seperti yang diperbuatnya’.”(Diriwayatkan Al-Bukhory).
Yang dimaksudkan kedengkian di dalam hadits ini ialah suatu harapan yang kuat di dalam diri seseorang, sekiranya dia memiliki apa yang dimiliki orang lain yang diinginkannya, berupa kebaikan dan nikmat. Yang demikian ini adalah sesuatu yang terpuji, berbeda dengan dengki, yang berarti harapan agar nikmat yang ada di tangan orang lain yang didengki menjadi hilang. Yang demikian ini termasuk kedurhakaan hati yang paling besar.
Ada pula hadits shahih yang menjelaskan bahwa bacaan Al-Qur’an itu bias berpengaruh terhadap orang munafik dan orang keji.
Dari Abu Musa Al-Asy’ary, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Perumpamaan orang Mukmin yang membaca Al-Qur’an itu seperti utrujjah, baunya harum dan rasanya manis, Sedangkan perumpamaan orang Mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an seperti karma, tidak berbau namun rasanya manis. Sedangkan perumpamaan orang munafik, (dalam riwayat lain orang keji), yang membaca Al-Qur’an, seperti raihanah, baunya harum namun rasanya pahit. Sedangkan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an, seperti hanzhalah, tidak berbau dan rasanya pahit.” (Diriwayatkan Al-Bukhory, Muslim dan An-Nasa’y serta Ibnu Majah).[2])
Disini dijelaskan bahwa bacaan Al-Qur’an itu mendatangkan bermacam-macam pengaruh, yang menyerupai pengaruh bau harum, tanpa ada pengaruh rasa manis, sehingga bacaan itu berpengaruh terhadap orang munafik dan keji.
Abu Hurairah berkata, “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya dibacakan Al-Qur’an, maka ia terasa lapang bagi anggotanya, kebaikannya banyak, para malaikat mengelilinginya dan syetan-syetan keluar darinya, dan rumah yang didalamnya tidak dibacakan Al-Qur’an, maka ia terasa sempit bagi anggotanya, sedikit kebaikannya, para malaikat keluar darinya dan syetan-syetan mengelilingnya.”
Abdullah bin Amr meriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
يقال لصاحب القرآن أقرأ وارق ورتل كما كنت ترتل في الدنيا فإن منزلتك عند آخر آية تقرؤها.
Dikatakan kepada pembaca Al-Qur’an (pada hari kiamat), ‘Bacalah dan tingkatkanlah, bacalah sebagaimana kamu membaca di dunia, karena manzilahmu terletak pada akhir ayat yang kamu baca.” (Diriwayatkan Abu Daud, At-Tirmidzy, Ibnu Majah dan Ahmad).
Al-Qur’an mempunya pengaruh yang amat mengagumkan bagi hati manusia, yang dapat disaksikan setiap orang yang mendengarnya, baik orang Muslim atau orang kafir. Al-Qur’an ini pula yang membuat orang-orang musyrik dari penduduk Makkah kebakaran jenggot saat Al-Qur’an itu dibacakan, karena khawatir para wanita, anak-anak dan orang-orang yang lemah di antara mereka ikut mendengarnya, karena sudah banyak di antara mereka yang benar-benar terpengaruh oleh bacaan itu hingga mereka beriman kepada risalah yang diturunkan Allah. Firman-Nya.
“Dan, orang-orang kafir berkata, ‘Janganlah kalian mendengar dengan sungguh-sungguh Al-Qur’an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kalian dapat mengalahkan (mereka)’.” (Fushshilat : 26).
Di antara orang-orang musyrik ada pula yang sembunyi-sembunyi mendengar bacaan Al-Qur’an, sebagian menyusul sebagian yang lain, hingga di antara mereka mengolok-olok yang lain karena perbuatan mereka itu.
Ketika Al-Walid bin Al-Mughirah, pemuka orang musyrik mendengar Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam membaca ayat, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil, berbuat bajik, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran”, maka dia meminta agar beliau mengulanginya lagi, lalu dia berkata, “Demi Allah, bacaan itu mempunyai kelezatan, di atasnya ada keindahan, bagian bawahnya melimpah dan bagian atasnya lebat, ini tidak dikatakan oleh seorang manusia.”
Para jin pun pernah mendengarnya dan mereka berkata,
$¯RÎ)$oY÷èÏÿx$ºR#uäöè%$Y7pgxÇÊÈüÏökun<Î)Ïô©9$#$¨ZtB$t«sù¾ÏmÎ/(`s9urx8Îô³S!$uZÎn/tÎ/#Ytnr&ÇËÈ
“Sesungguhnya Kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan,(yang) memberi petunjuk kapada jalan yang benar, lalu Kami beriman kepadanya. dan Kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan Kami,” (Al-Jin : 1-2)
Dokter Ahmad Al-Qadhy bersama beberapa dokter lainnya yang Muslim pernah melakukan eksperimen di sebuah rumah sakit khusus dan termasuk rumah sakit terbesar di bilangan Florida Amerika Serikat, dengan cara membacakan Al-Qur’an kepada beberapa pasien disana, yang didukung dengan beberapa peralatan canggih untuk mendeteksi pengaruh bacaan itu terhadap diri mereka. Pasien-pasien itu ada yang Muslim, kafir, orang Arab dan non-Arab. Yang mengagumkan, bacaan itu mempunyai pengaruh yang positif terhadap mereka semua, dengan tingkat pengaruh yang berbeda-beda tentunya. Orang Arab yang Muslim berbeda dengan orang Arab yang bukan Muslim. Orang Muslim yang bukan Arab berbeda dengan orang non-Muslim, tapi semuanya mempunyai tingkat pengaruh.
Hal ini menunjukkan bahwa kalam ini mempunyai rahasia yang khusus, yang tidak terdapat dalam perkataan manusia mana pun, baik itu berupa eassay, prosa atau pun sajak.
[1] Menurut Al-Munaziry, hadits ini diriwayatkan Ahamad dan Ath-Thabrany di dalam Al-Kabir, rijalnya dijadikan hujjah di dalam Ash-Shahih,, dan Al-Hakim yang dishahihkannya menurut syarat Muslim, Al-Muntaqa, nomor 509, yang disepakati Adz-Dzahaby, 1/554, Majma’ Az-zawa’id, 3/181. Menurutnya, rijal Ath-Thabrany shahih.