alhikmah.ac.id – Memasuki hari ke 6 agresi Zionis Israel, Al-Jazeera menyebutkan (20/11/2012) sudah 108 korban jiwa, sebagian besar ialah anak-anak, orang tua, dan 854 orang luka-luka. Serupa dengan tragedi agresi di tahun 2008. Akan tetapi, penyerangan ke Gaza kali ini sebenarnya agak istimewa. Israel menyerang di tengah momentum pra-Pemilu Israel dan pasca-Pemilu AS untuk menciptakan ketidakseimbangan kawasan Timur Tengah. Itulah kenapa Turki yang dalam 1 dekade terakhir kini bersama Mesir meresponnya juga dengan cara yang berbeda.
Hemat kami, pertemuan ini tidak hanya sekadar agenda kerjasama bisnis dan investasi akan tetapi juga terkait dengan arah politik luar negeri Turki yang asertif dalam tajuk “Utsmani Baru” (Neo-Ottoman) yang menjadi pesan dari buku Ahmet Davotuglu. Namun juga terdapat pula agenda bagi Turki untuk memuluskan transisi pemulihan ekonomi Mesir demi penguatan kolektif perannya sebagai aktor domestik baru yang dicap “Islamis” di konteks pluralitas politik dunia dan demokrasi.
Agenda Ekonomi untuk Kepentingan Non-Ekonomi
Recep Tayep Erdogan, Perdana Menteri Turki, dua hari setelah agresi Israel ke Gaza, langsung berkunjung ke Mesir bersama 10 Menteri dan 350 pengusaha (17/11/2012). Kunjungan tersebut merupakan perjalanan resmi terbesar dalam sejarah kedua negara. Apa sebenarnya logika di balik agenda bisnis dan investasi besar-besaran Turki ke Mesir di momentum Gaza ini? Turki memberi pinjaman investasi 2 miliar USD ke Mesir, tanpa kejelasan tanggal pengembalian, dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan demokratisasi pemerintahan Presiden Mohammad Mursi.
Turki yang sudah berinvestasi ke Mesir sebesar 1,5 miliar USD, berarti dengan kedatangan tersebut menambahnya menjadi 3,5 miliar USD serta berkomitmen menambah investasi hingga 5-10 miliar USD, serta membuka jaringan pasar internasional milik Turki untuk Mesir. Dalam bahasa lain, agenda bisnis dan investasi Turki ke Mesir itu merupakan strategi merespon provokasi Israel untuk menjebak Mesir untuk masuk turut berperang. Saya melihat, Israel hendak menyeret “aktor domestik baru” Mesir seperti Mursi dan Ikhwanul Muslimin (IM) yang kini memimpin Mesir ke dalam citra yang merugikan. Provokasi Israel ini sangat mungkin memberikan dampak masuknya kembali Mursi dan IM dan Mesir “baru” ke dalam persepsi negative dunia internasional kemudian tertolak dari sistem global sebagai negara Demokratis.
Ada adagium bahwa perang tidak terjadi di antara dua negara demokratis. Israel hendak menyeret Mesir dalam dilema ini. Betapapun, aktor-aktor negara besar di dunia Barat, seperti negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS), masih menganggap Israel negara “demokrasi”. Inilah dilema Mesir. Jika Mesir masuk ke Gaza untuk berperang dengan Israel. Maka Barat punya alasan mempertanyakan kembali apakah Mursi dan IM itu demokratis, persis seperti keraguan di masa sebelum musim semi Arab terjadi. Israel mau mempersulit Obama dengan mendorong Mesir vis-à-vis Israel, maka citra “anti-Israel” itu akan digunakan untuk mencegah AS untuk merangkul Mursi dan menghentikan kerjasama ekonomi-politik antar keduanya.
Ingat, Mursi & IM baru berkuasa di Mesir beberapa bulan (24/6/2012) dari proses panjang yang dramatis setelah penantian 84 tahun sebagai oposisi di bawah tekanan dan penindasan rezim. Israel menyerang Gaza, tapi membidik target yang lebih luas dari teritorial Gaza untuk mengurai benang yang telah dirajut lama. Israel hendak mencegah tiap langkah aktor-aktor domestik baru di kawasan yang berlabel “Islamis” untuk bersosialisasi dalam pergaulan Internasional.
Poros Strategis Turki-Mesir
Mesir mengalami dilema karena ia juga memiliki masalah ekonomi yang serius. Oleh sebab itu, Turki hadir dengan agenda ekonomi, bisnis dan investasi, bukan agenda kerjasama politik, militer dan persenjataan. Erdogan hendak memastikan secara dini Mursi tidak terpancing Israel, sekaligus memberikan intimidasi mental bagi Israel dengan tajuk pertemuan “Turkey-Egypt High Level Strategic Cooperation Council” (Dewan Kerjasama Strategis Tingkat Tinggi Turki-Mesir) berikut penanda-tanganan 27 perjanjian.
Turki memahami permasalahan ekonomi Mesir yang pelik. Para aktor revolusi Mesir yaitu mayoritas penduduk di bawah 35 tahun mengharapkan perbaikan lapangan kerja dan standar hidup yang lebih baik. Sementara hanya punya subsidi pangan sebesar 2% dari produk domestik bruto (PDB). Serta industri manufaktur di Mesir yang turun 12% sejak musim semi Arab bergolak. Jadi jika Mesir tidak menemukan 40-50 miliar USD dari investasi maka Mursi dan IM akan dipermalukan di depan rakyatnya karena tidak mampu menangani permasalahan dalam negeri dan rakyatnya sendiri.
Erdogan hendak menjadi sahabat yang menemani Mursi menemukan solusi terbaik untuk menyusun strategi jangka panjang. Strategi jangka panjang itu tidak lain dimulai dari fokus masalah dalam negeri dan menghindari risiko resistensi internasional di masa transisi berlangsung seperti keterlibatannya dalam isu-isu keamanan di kawasan. Erdogan datang dengan komitmen bahwa dari 40 miliar USD investasi yang dibutuhkan Mursi untuk Mesir, Turki akan membantu 10 miliar USD.
Neo-Khilafah dalam Praksis Kontemporer
Ini mungkin “khilafah” dalam praksis demokrasi, bukan sekadar retorik lapangan demonstrasi dan ceramah agama. Ia berbentuk negara jaringan yang saling peduli persoalan negara lain atas dasar nilai kemanusiaan, kesetaraan, kemerdekaan, dan keadilan yang sama. Erdogan menganggap masalah ekonomi Mesir juga masalah Turki. Erdogan juga sampai memerintahkan Hakan Fidan wakil ketua MİT (BIN-nya Turki) dan Ömer Çelik wakil ketua AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan) tetap berada di Mesir selama Israel belum menghentikan agresinya ke Gaza. Ini adalah pesan pada dunia Islam agar pemulihan ekonomi Mesir harus dibantu oleh sebab secara geopolitik ia sangat penting dan unik, terutama sekali dalam kaitannya dengan isu Al-Aqsha dan Palestina.
Erdogan juga paham bahwa seperti laporan PBB bahwa kondisi Gaza sudah tidak layak lagi menjadi “tempat tinggal manusia” di 2020 karena ketidakamanan pangan dan runtuhnya infrastruktur. Tingkat pengangguran kaum muda adalah sekitar 60%. Mirip dengan apa yang memicu revolusi di Tunisia pada tahun 2011, Israel hendak membunuh mereka perlahan dengan kemiskinan. Oleh sebab itu Mursi, IM dan Mesir harus dibantu menjalani transisi demokrasi negeri terutama dalam pemulihan ekonomi. Ada saldo yang harus diselamatkan demi perannya pada Gaza dan Palestina. Mereka memang butuh waktu menyusun strategi jangka panjang yang dapat menyukseskan sosialisasi Islamis dalam pergaulan global. Turki-Mesir hanyalah inisiatif dua negara yang nantinya diharapkan memiliki dampak besar di kawasan dan dunia Islam.
Emir Qatar ialah pimpinan negara di Majelis Kerjasama Teluk (Gulf Cooperation Council/GCC) pertama yang datang ke Gaza dan juga datang ke Mesir untuk bantu 400 Juta USD untuk membantu Palestina. Kunjungan Menlu Turki dan Menteri-menteri negara Liga Arab (20/11/2012) ke Gaza merupakan kunjungan bersejarah pertama. Semoga ada perubahan sikap yang lebih tegas di Saudi Arabia, negara cadangan minyak terbesar yang jadi eksportir energi AS dan pengaman kebijakan AS di TimTeng belum bersikap tegas. Inilah yang membuat AS masih bisa berjalan dengan Israel secara nyaman di Timur-Tengah.
Sikap Indonesia tentu tegas terkait hal ini, tidak hanya parlemen yang melalui Komisi I DPR-RI pekan ini direncanakan berangkat ke Gaza dan Tepi Barat, namun para pemuda di jejaring sosial seperti twitter dan Facebook dan lembaga-lembaga kemanusiaan juga sudah bergerak menunjukkan kepeduliannya secara opini dan memberikan bantuan ke Gaza, Palestina. Adapun Presiden SBY, tentu saja beliau memiliki alasan kuat kenapa tidak mau terlalu asertif dengan isu semacam ini. Wallahu A’lam.