alhikmah.ac.id – Telah lama, aku mengenalnya. Sejak kami masih muda. Bahkan aku telah akrab dengannya sejak masa SMP dan SMA. Kebetulan hanya paut 2 kelas di atasku. Kami sama-sama aktif di PII-wati. Beliau pernah menjadi Korda PIIwati di tempat asal kami, dan aku juga meneruskan tugasnya. Yang selalu kuingat dari beliau adalah selera humornya yang tinggi, jadi kami selalu penuh canda tawa jika berjumpa. Seperti sore itu, aku menyempatkan bersilaturahmi ke kediamannya di Semarang.
Rumahnya cukup sederhana untuk ukuran seorang anggota DPR RI. Ya, suaminya bertugas di Jakarta dan beliau memilih tetap tinggal di Semarang. Kuingat alasannya dulu, beberapa tahun yang lalu ketika suaminya mulai bertugas di Jakarta.
“Kami tidak bisa meninggalkan Semarang. Kami telah banyak berhutang budi kepada masyarakat Semarang, jadi sudah kami niatkan hidup kami untuk mengabdi dalam dakwah di Semarang dan sekitarnya”.
Waktu itu saya bertanya, apa maksudnya hutang budi.
Beliau menceritakan, sejak penikahannya, mereka selalu bertemu dengan para dermawan yang mencintai mereka yang menawarkan tempat tinggal gratis. Hingga belasan tahun.
Kemudian suatu ketika, putranya yang memiliki sakit janjung bawaan harus operasi jantung yang memerlukan biaya sangat besar. Hanya berbekal doa dan tawakal kepada Allah, semua biaya tercukupi.
“Saya sangat terharu lantaran tukang sayur pun, murid ngaji saya, datang dan memberikan sumbangan yang tak bisa saya tolak”, begitu kisahnya sambil menitikkan air mata. Ia kisahkan masyarakat berdatangan dan mengumpulkan dana untuk operasi putrinya. Demikian pula keberangkatannya ke tanah suci, beliau rasakan kemudahan untuk memperoleh biayanya.
Mengenang sosoknya, aku menganggap pantas saja apa yang dilakukan oleh warga di sekitarnya. Beliau orang yang sangat sosial, menghabiskan hidupnya untuk dakwah, bergaul dengan tidak pandang bulu. Kesederhanaan adalah nafasnya.
Seperti rumahnya yang kusambangi kemarin.
Wajarnya bagian muka rumah adalah ruang tamu, tapi baru kali ini aku melihat, rumah yang ruang paling depan adalah perpustakaan. Kemudian barulah ruang serbaguna sederhana. Di ruang ini juga terdapat banyak rak buku dan kulkas minuman gratis.
Di ruangan sederhana yang penuh berkah ini, 7 hari dalam sepekan selalu terisi dengan aktivitas majelis taklim. Ya tuan rumah, suami istri itu yang menjadi penceramahnya.
“Sepekan ada 13 forum saya…pada hari Sabtu pagi, pesertanya mencapai 70 orang,” terangnya padaku.
“Mereka juga kami tawari menjadi anggota perpus, Alhamdulillah membernya lebih dari 500 orang. Kadang kami mengadakan bedah buku dengan meminjam aula di kampus atau gedung pertemuan. Pesertanya lalu kami tawari menjadi member.”
Aku makin salut dengan apa yang dilakukannya.
” …tapi hampir setiap hari, depan rumahku berubah menjadi pasar…hihihi..”
” Kenapa mbak ?” tanyaku heran.
” Biasa, ibu-ibu, habis mengaji, semua menggelar barang dagangan…biarlah ekonominya juga berputar…,” kami tertawa bersama membayangkan aneka dagangan yang digelar ibu-ibu majelis taklim. Mereka datang dari berbagai kalangan. Ada karyawan kantor setiap Jumat siang. Kalau pagi pesertanya ibu-ibu rumah tangga, dari jauh maupun dari dekat.
Masih ingat kisahnya dulu, suatu ketika suaminya membawa pulang uang.
“Ini uang pemberian orang, tunggu saja pasti akan ada yang membutuhkannya.”
Amplop itu diletakkannya saja di atas meja. Suaminya tidak menghitungnya, beliau juga tidak menghitungnya.
Dan benar saja, tak perlu berganti hari, telah datang orang yang sedang kesempitan dan membutahkan uluran tangan. Subhanallah uang itu sesuai dengan kebutuhan.
Dan kejadian demikian selalu berulang. Demikian pula saat beliau membutuhkan, selalu saja dimudahkan untuk mencukupkan.
Sungguh kulihat cermin keikhlasan dan kedermawanan dari pasangan keluarga dakwah itu. Semoga Allah membalasnya dengan pahala berlimpah, amin.
(Maka sungguh aku merasa beruntung dipertemukan lagi sore hari itu, dan memetik beberapa inspirasi )