Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah
alhikmah.ac.id – “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi `auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat” (Al-A’raaf: 26)
Secara umum, ayat ini menjelaskan tentang fungsi esensial dari pakaian yang diwajibkan oleh Allah swt terhadap seluruh Bani Adam yaitu untuk menutup aurat yang menjadi pembeda antara manusia dengan binatang sehingga disimpulkan oleh Al-Qurthubi bahwa ayat ini sekaligus merupakan perintah dan kewajiban untuk berpakaian yang menutup aurat. Selanjutnya melalui ayat ini juga Allah menetapkan pakaian takwa yang merupakan sebaik-baik pakaian yang dikenakan oleh hambaNya. ‘Pakaian takwa’ yang dimaksud oleh ayat ini menurut para ulama tafsir seperti yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam kitab ‘Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azim’ diantaranya seperti yang disepakati oleh Qatadah, Zaid bin Ali dan Suddi bahwa yang dimaksud adalah keimanan. Sedangkan Al-Aufi memahaminya sebagai amal shalih. Manakalah Urwah bin Zubair mendefinisikan pakaian takwa adalah rasa takut kepada Allah swt. Berbeda dengan Ikrimah yang memahami bahwa pakaian takwa adalah pakaian yang akan dikenakan oleh orang-orang bertakwa di syurga kelak. Seluruh makna-makna di atas ini saling berdekatan dan tidak bertentangan yang intinya pakaian yang mencerminkan, keimanan, keshalihan dan rasa takut kepada Allah swt sesuai dengan makna takwa itu sendiri.
Dalam konteks Ramadhan, penggalan akhir ayat puasa ‘agar kalian bertakwa’ merupakan harapan sekaligus jaminan Allah akan hadirnya pakaian takwa seorang beriman pasca Ramadhan. Jika diilustrasikan dapatlah dikatakan bahwa selama satu bulan penuh seorang yang beriman ibarat sedang menenun pakaian takwa dengan benang-benang amaliah ibadah bulan Ramadhan. Sehingga dapat dikatakan bahwa iman seseorang masih dalam kondisi telanjang sebelum diberi pakaian, dan pakaian iman tersebut adalah takwa.
Sebagai contoh misalnya bahan atau benang pakaian takwa yang bernama ‘imsak (menahan diri)’ dari segala tindakan yang bertentangan dengan ketentuan agama akan melahirkan sikap pengendalian diri, kejujuran dan anti konsumerisme, sehingga pada gilirannya akan memunculkan gaya hidup sederhana seorang yang beriman. Bukankah pengendalian diri, kejujuran , kedisiplinan, kesederhanaan serta kesahajaan merupakan ujian seorang yang beriman selama ber Ramadhan yang hasilnya akan diumumkan tepat pada tanggal 1 Syawal; apakah sifat dan sikap tersebut masih dominan atau kembali menjadi pribadi yang selalu dikalahkan oleh nafsu dan syahwat.
Kondisi lapar dan dahaga dalam waktu yang relatif lama dengan segala konsekuensinya akan melahirkan rasa kepedulian sosial yang tinggi. Demikian juga, seorang muslim tetap memiliki semangat untuk melakukan aktifitas sehari-hari dalam kondisi lapar dan haus merupakan simbol akan etos kerja dan daya tahan seorang muslim terhadap seluruh godaan kehidupan.
Ibadah shalat tarawih dan ibadah-ibadah yang hadir di bulan Ramadhan akan meningkatkan keimanan dan ketauhidan seseorang terhadap Allah. Bahwa seluruh amal ibadah tersebut ia lakukan semata-mata dengan semangat ‘imanan wahtisaban’. Sahur dan berbuka puasa bersama yang kerap dilakukan bersama keluarga dan saudara sesama muslim merupakan simbol dari kasih sayang dan keharmonisan ukhuwah diantara sesama orang beriman yang pada hakikatnya merupakan buah dari keimanan mereka.
Demikian benang-benang yang dirajut selama bulan puasa untuk menghasilkan pakaian takwa, pakaian yang harus dikenakan oleh setiap orang beriman dimanapun dan kapanpun mereka berada. Jangan sampai kita merusak atau merobek pakaian takwa yang kita tenun tersebut pasca Ramadhan, seperti yang diilustrasikan oleh Allah swt dalam firmanNya: “Dan janganlah kalian seperti seorang perempuan yang mengurai kembali benang yang sudah dipintalnya dengan kuat menjadi cerai berai”. (An-Nahl: 92). Wanita dalam ayat ini digambarkan oleh Imam Al-Qurthubi sebagai wanita jahil yang bernama Rithah binti Amru bin Ka’ab yang identik dengan mereka yang merusak kembali kebaikan yang telah dengan susah payah diperjuangkan setahap demi setahap. Sungguh perbuatan yang sangat bertentangan dengan nilai Ramadhan yang seharusnya tetap mempertahankan dan memelihara pakaian yang indah tersebut setelah berakhirnya Ramadhan.
Masih tersisa beberapa hari ke depan sampai pada malam puncaknya yang bernama ‘lailatul qadar’ yang merupakan cermin dari puncak prestasi yang dapat ditorehkan oleh orang yang beriman di hadapan Allah swt. Ia rela mengalokasikan segenap waktu, harta dan jiwanya untuk mendapatkan keutamaan malam tersebut dengan memaksimalkan potensi ubudiyah yang dimilikinya. Semoga kita termasuk yang mendapatkan malam kemuliaan tersebut sehingga ‘pakaian takwa’ kita semakin harum semerbak dan indah dipandang oleh semua mata yang melihatnya. “Hai orang-orang yang beriman, ta`atlah kepada Allah dan ta`atlah kepada rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu”. (Muhammad: 33) (dkwt)