alhikmah.ac.id – Teguran Allah Swt. terhadap orang-orang yang mengukur kemuliaan dan kehinaan dengan tolok ukur materi, diikuti dengan teguran-Nya atas sikap individualistis dan mementingkan diri sendiri terdapat dalam surat al-Fajr ayat 17. Salah satu masalah utama yang dicela adalah tidak peduli terhadap anak yatim dan tidak memuliakannya.
Allah berfirman;
“Tidak sekali-kali, bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim.” (QS Al Fajr, 89:17)
Anak-anak yatim merupakan salah satu pos untuk kepedulian dan kebaikan yang diperintahkan oleh Allah Swt. Ibnu Katsir memahami ayat ini sebagai perintah dari Allah Swt. untuk memuliakan anak yatim walaupun pernyataan firman-Nya sendiri dengan kalimat negasi dan pengingkaran. (tafsir Ibnu Katsir: 4/473).
Islam memotivasi setiap mukmin untuk memberikan kontribusi maksimal kepada umat dan orang lain. Islam sangat mencela orang yang hanya berfikiran sempit dengan mementingkan kebutuhan pribadi dan tidak peduli dengan kebutuhan orang lain. Riwayat yang mauquf dan lemah menyatakan; “Barang siapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia bukanlah dari golongan mereka” (Abu Nu’aim dll), sangat masyhur menjadi stigma dan aib bagi orang yang cuek dan acuh tak acuh terhadap permasalahan dan musibah yang menimpa umat. Sebaliknya Islam sangat memuji orang yang dermawan, peduli, responsip terhadap problematika umat dan orang lain. Oleh karena itu Rasulullah Saw. bersabda; “sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain”. (al-hadits, lemah riwayat Thabrani)
Teguran Allah tersebut tertuju kepada orang-orang yang bersikap individualistis dan tidak peduli terhadap kebutuhan orang lain khususnya anak yatim. Teguran ini menurut Imam As-Sa’di sebagai koreksi atas prinsip hidup yang lemah dan individualistis. Beliau berkata; “sesungguhnya perhatian orang yang terbatas pada lingkup kebutuhannya sendiri merupakan tanda-tanda ketakberdayaan dan kelemahannya. Orang semacam ini sangat dicela dan dihina oleh Allah Swt. karena tidak memperhatikan kebutuhan makhluk lain dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan”. (Taisirul Karimir Rahman: 1111)
Islam yang agung dan universal menempatkan anak yatim dalam posisi yang sangat tinggi. Islam mengajarkan untuk menyayangi mereka dan melarang melakukan tindakan-tindakan yang dapat menyinggung perasaan mereka. Banyak sekali ayat-ayat Al-qur’an dan hadits-hadits Nabi saw yang menerangkan tentang berbuat baik dan memuliakan anak yatim. Diantaranya;
“Dan berbuat baiklah kepada ibu bapak dan kaum kerabat serta anak-anak yatim dan orang-orang miskin.” (QS Al Baqoroh,2:83)
“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin.” (Al Baqoroh,2:177)
“Katakanlah, “Apa saja harta benda (yang halal) yang kamu infakkan, maka berikanlah kepada ibu bapak, kaum kerabat dan anak-anak yatim.” (QS Al Baqoroh,2:215)
“Dan mereka bertanya kepadamu mengenai anak-anak yatim. Katakanlah, “Memperbaiki keadaan anak-anak yatim itu amat baik bagimu.” (QS Al Baqoroh,2:220
“Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dan kaum kerabat dan anak-anak yatim.” (QS An Nisaa,4:127)
Sedangkan dalam sunnah digambarkan betapa perhatian Nabi s.a.w. sangat besar sekali terhadap yatim piatu. Beliau prihatin, melindungi, dan menjamin keperluan hidup mereka, dan selalu dipesankan dan dianjurkan kepada umatnya dalam tiap keadaan. “Aku dan pemelihara anak yatim, akan berada di surga kelak“, sambil mengisyaratkan dan mensejajarkan kedua jari tengah dan telunjuknya. (H.R. Bukhari) Dalam hadis yang lain baginda s.a.w. bersabda “Sebaik-baik rumah tangga muslim ialah yang di dalamnya ada anak yatim yang dilayani dengan baik” (H.R. Ibnu Majah)
Imam As-Sa’di menjelaskan; “yatim adalah orang yang telah tiada ayahnya dan penanggung hidupnya, ia sangat membutuhkan pengayoman dan perbuatan baik dari orang lain”. (Taisirul Karimir Rahman: 1111) Tentu tidak semua anak yatim hidup dalam kemiskinan, bahkan tidak sedikit yang kaya raya, menerima warisan dari orang tuanya.
Maka cara memuliakan anak yatim seperti yang disebutkan oleh As-Syaukani paling ada dua bentuk;
a. Anak yatim kaya.
Cara memuliakannya adalah dengan menumbuhkan dan mengembangkan harta anak yatim tersebut dengan penuh amanah, tanggung jawab, dan kasih sayang. Bila orang yang mengurus usaha anak yatim tersebut dalam kaya, maka ia tidak boleh memakan dari harta anak yatim tersebut, namun bila yang mengurusnya fakir, boleh memakan seperlunya dan dengan ukuran kebiasaan. (QS. An-Nisa’: 6)
b. Anak yatim fakir.
Menyantuni, mengasuhnya dan mencukupi kebutuhannya. (tafsir Fathul Qodir: 5/543)
Sungguh mulia balasan bagi pengasuh anak yatim. Rasulullah Saw. bersabda; “sebaik-baik rumah kaum muslimin adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim dan diasuh dengan baik. Dan seburuk-buruk rumah kaum muslimin adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim, namun diasuh dengan buruk. Kemudian beliau menunjukkan dengan jari tengah dan telunjuknya sambil bersabda; “aku dan pengasuh anak yatim seperti ini di surga”. (HR. Abu Daud)
Dalam riwayat yang lain disebutkan ”Bila engkau ingin agar hati menjadi lembut dan damai dan Anda mencapai keinginanmu, sayangilah anak yatim, usaplah kepalanya, dan berilah dia makanan seperti yang engkau makan. Bila itu engkau lakukan, hatimu akan tenang serta lembut dan keinginanmu akan tercapai. (HR Thabrani).
Hadis tersebut memberikan petunjuk kepada umat Islam bahwa salah satu sarana untuk menenangkan batin dan mendamaikan hati ini adalah mendekati anak yatim, terlebih yatim piatu. Mengusap kepala mereka dan memberinya makan minum merupakan simbol kepedulian dan perhatian serta tanggung jawab terhadap anak yatim/piatu.
Berbuat baik terhadap anak yatim/piatu bukanlah sekadar turut membantu menyelesaikan lapar dan dahaga sosialnya. Tetapi, di sisi lain perbuatan itu merasuk ke dalam batin, menenteramkan hati, dan mendamaikan perasaan orang yang memberi perhatian kepada mereka. Berbagai ayat Alquran dan hadis Nabi banyak membicarakan betapa mulianya kedudukan anak yatim/piatu dalam pandangan Allah SWT.
Di dalam surat Ad-Dhuha ayat 9, Allah SWT melarang keras dari sikap melakukan kekerasan kepada anak yatim/piatu. Firman Allah SWT: ”Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.” Anak yatim yang ditinggal wafat oleh ayahnya dan yatim piatu yang ditinggalkan ayah-ibunya, mendambakan belaian dan kasih sayang dari orang lain. Baik keluarga terdekat maupun dari yang lainnya. Orang yang menenangkan hati dan perasaan anak yatim, ia pun akan memperoleh balasan seperti itu pula, yakni ketenangan batin.
Secara singkat dari penelusurian ajaran Islam, kita mendapatkan ajaran yang sangat agung dan mulia berkenaan dengan anak yatim.
Pertama, berbuat baik kepada anak yatim adalah amalan sangat utama. (QS al-Baqarah [2]: 177). Sebelum Islam datang, anak yatim tak mendapatkan perhatian apalagi santunan yang layak. Lalu, Islam memuliakannya dan melarang untuk mengeksploitasinya. (QS al-An’am: 152-153, al-Isra: 34). Memakan harta anak yatim merupakan salah satu dosa besar dan penyebab masuk neraka. Rasul SAW bersabda, “Jauhilah tujuh dosa besar, yakni menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan kecuali dengan hak, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh zina wanita mukmin yang lalai.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kedua, Alquran melarang penghinaan dan menyakiti anak yatim. (QS al-Fajr: 15-23, adh-Dhuha; 9, al-Ma’un: 1-3).
Ketiga, Alquran memerintahkan supaya kita memuliakan anak yatim dan balasannya adalah surga. (QS al-Insan: 8-22).
Keempat, Islam menegaskan bahwa penyantun dan penjamin anak yatim akan menjadi teman dekat Rasulullah di surga. ( HR Bukhari dan Ahmad).
Kelima, rumah terbaik adalah rumah yang di dalamnya ada anak yatim yang dimuliakan, dan sejelek-jelek rumah adalah rumah yang ada anak yatim, namun dihinakan.
Dengan demikian kita wajib menyantuni anak yatim dan memperhatikan hak-hak mereka bukan saja aspek material tapi juga aspek pendidikan, ekonomi, sosial, spiritual, dan lain.
Dr. Tajuddin Pogo, Lc.MH