alhikmah.ac.id – Rasa-rasanya, kehidupan ini kurang kompleks jika tidak ada perempuan yang berpikir mengejar karir, baru kemudian berpikir untuk menikah. Banyak malah, bukan hanya satu atau dua. Dalam tulisan fiksi pun tak jarang diangkat oleh penulis. Penulis fiksi Best Seller seperti Kang Abik pun mengangkat cerita tentang seorang gadis yang mengejar karir dalam novel Cinta Suci Zahrana. Seorang penulis tak akan menuliskan dalam sebuah cerita tanpa melihat fenomena sekitar. Fenomena yang tak berlaku secara global, namun tumbuh kemudian mengakar.
Tentu bagi Anda yang merasa perempuan hal itu wajar-wajar saja. Apalagi, bila Anda salah seorang yang termasuk menomorsatukan karir. Jadi teringat dengan perbincangan salah seorang sahabat, sebutlah ia, Dea.
Dua bulan lalu, Dea terlibat percakapan dengan teman-temannya tentang kehidupan di masa yang akan datang. Biasa, usia 20 tahun ke atas merupakan hal wajar bila sudah memiliki keinginan untuk mengakhiri kesendirian atau dengan kata lain berpikir untuk menikah. Namun, perbincangan Dea bersama tiga rekannya sepertinya sudah di ambang penantian. Dea sudah berusia dua puluh tujuh tahun, dan tiga orang temannya yang lain berusia dua puluh enam dan dua puluh lima tahun. Pantas, umur-umur demikian memang sudah sangat matang, pikirku.
Dea, gadis itu seorang dosen muda di perguruan tinggi negeri, di kota gading. Akhlaknya terjaga, pandangannya pun selalu dijaga. Makanya, tak seorang lelaki pun yang berani bermain-main dengannya. Dea, gadis itu sudah cukup matang untuk menjalani bahtera rumah tangga. Ia bukannya tak laku-laku seperti lagu band ‘Wali’, ia gadis shalihah. Wajarlah jikalau sang pencipta menjaganya dari keinginan lelaki yang tak sekufu.
Dari perbincangan itu, kedengarannya Dea bukan lagi dalam kondisi siap, melainkan amat siap menuju jalan suci itu. Jalan untuk menyempurnakan agama ini. Tiba-tiba, salah seorang temannya berkata, “De, mau tidak aku jodohkan dengan temanku?”. “Ah, tidak, ah” jawabnya singkat. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Seorang teman ingin berniat mencarikan jodoh, namun ia tetap kekeh menolak. Meskipun sesekali ia berkata, “asalkan mampu menjadi imam bagi keluargaku kelak”. Sungguh, Dea bukan gadis yang muluk-muluk. Mau ini dan itu, namun entahlah dengan keluarganya.
Dalam percakapan itu, tiba-tiba Dea menimpali temannya, “kamu sendiri, kapan berniat ingin menikah?” “Saya, sih, masih lama. Masih ingin mengejar cita-cita, dulu!” Perbincangan di antara mereka pun makin seru. Dea dengan segala kecerewetannya mulai berceramah tentang pentingnya berpikir ke arah bahtera rumah tangga. Di penghujung perbincangan itu, Dea berharap jodoh itu akan segera mengetuk pintu rumahnya. Begitu pula dengan teman yang terlibat dalam percakapan, kecuali Vita yang masih ingin mengejar karir dan cita-citanya.
***
Sungguh perbincangan mereka amat wajar. Perempuan, bila sudah melewati usia 25 tahun, maka rasanya sudah patut diberikan tanda warning. Namun, kita pun tahu bahwa jodoh adalah salah satu rahasia yang Maha Kuasa. Tak patut kita mendahului-Nya dengan menerka-nerka dan berkata, “mungkin dia, dia, atau dia-lah jodohku kelak.”
Lantas bagaimana dengan kodrat ‘perempuan’ yang notabene sangat riskan dengan gunjingan bila ia menyebut-nyebut soal jodoh. Apalagi sampai sempat berpikir menantang ikhwan ‘laki-laki’ untuk datang melamar. Pasti, sudah menjadi bahan cerita. Teringat dengan kisah Rasulullah yang dilamar secara tidak langsung oleh seorang janda kaya yang baik akhlaknya, Khadijah binti Khuwailid. Bukankah, Khadijah telah memberikan contoh yang baik bila seorang ‘perempuan’ ingin melabuhkan hatinya pada ‘lelaki’ yang tepat? Kita tahu bahwa pada diri Khadijah terkumpul perangai mulia, wajarlah bila Rasulullah menerima pinangannya.
Dulu dan sekarang adalah dua kondisi yang amat berbeda. Pasti pikiran demikian kerap muncul dalam lintasan pikiran. Mana mungkin, perempuan menawarkan diri untuk dilamar? Fitrahnya, kan, perempuan yang dilamar. Mungkin demikianlah yang terbersir dalam hati ‘perempuan’ bila dihadapkan pada kondisi demikian. Kondisi di mana sudah sangat ingin menjaga diri dengan penjagaan seorang yang dapat dijadikan imam.
Sehubungan dengan hal demikian, sepertinya penting penulis berikan kutipan tentang persoalan lamar-melamar ini. Direktur Sekolah Kepribadian Muslim Glows, Kingkin Anida, mengatakan, sebaiknya perempuan tidak melamar lelaki secara langsung sebab Allah memuliakannya sebagai pihak yang dilamar. Namun, jangan juga melewatkan peluang bagus, maksudnya, kesempatan untuk menjadi istri lelaki shalih, (dikutip dari majalah UMMI edisi Mei 2012). Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits terkait dengan perbincangan ini, Kutipan di atas benar adanya, perempuan diistimewakan dengan lamaran. Perempuan shalihah pun berhak mendapatkan lelaki shalih. Tidak ada salahnya bila perempuan mendahului lelaki. “Dari Tsabit Al Bunani, dia berkata, ‘Aku pernah berada di dekat Anas bin Malik, dan di sampingnya ada anak perempuannya. Datang seorang perempuan dan ia berkata, ‘Ya, Rasulullah, apakah engkau mau kepadaku?’ Mendengar hal ini putrid Anas berkata, ‘Alangkah sedikit rasa malunya, sungguh memalukan.’ Anas berkata, ia lebih baik dari kamu. Ia senang pada Rasulullah lalu menawarkan dirinya untuk beliau.”
Namun, satu hal yang harus diingat, jika keputusan demikian sudah terpatri, maka amat penting bagi ‘perempuan’ untuk membekali diri dengan berbagai keunggulan sebagai nilai plus bagi dirinya. Entah itu prestasi cemerlang dalam akademik, keterampilan dasar yang mesti dimiliki oleh seorang perempuan (menjahit, memasak, merawat anak), dan soft skill, seperti pandai menulis, berbicara, dan bergaul, dll. Dan yang pasti akhlaknya terjaga. Ibaratnya ‘perempuan’ menantang ikhwan ‘laki-laki’ untuk datang melamar. Sesuatu yang ‘menantang’ sudah barang tentu membutuhkan perjuangan untuk menggapainya. Bila demikian, tak sia-sia perempuan shalihah menyatakan niat baiknya kepada laki-laki shalih sebab pihak yang didahului pun akan merasa tertantang dengan keunggulan yang dimiliki oleh si perempuan. *** Wallahu’alam bissawaab.