Mengenang Khansa Palestina

Share to :

alhikmah.ac.id – Ahad sore (17/03/2013),  ribuan warga Palestina berpartisipasi mengantarkan Maryam Farhat yang dipanggil Allah Subhanahu Wata’ala  di usia 64 tahun setelah menderita sakit.

Perdana Menteri (PM) Palestina Ismail Haniyah dan Wakil Kepala Pertama Dewan Legislatif Ahmad Bahar ikut berpartisipasi dalam prosesi pemakaman Farhat, di samping menteri Palestina lainnya, anggota parlemen, pemimpin faksi dan ribuan warga.

Tak ketinggalan, PM Ismail Haniyah dalam pidato yang disampaikannya di masjid Umari Kota Gaza dan berjanji untuk mengikuti teladannya dalam jalan perjuangan serta perlawanan sampai pembebasan Palestina dari pendudukan Zionis-Israel terwujud.

Haniyah mengingatkan akan pengorbanan Maryam Farhat dan ketabahannya yang legendaris. Menurut Haniyah,  Maryam Farhat adalah hadiah dari surga kepada orang-orang di bumi dan menggambarkan beliau sebagai seorang wanita yang luar biasa.

***

Setelah perjalanan panjang dalam jihad, dakwah, dan perjuangan, Maryam Farhat atau yang diakrab dipanggil Ummu Nidhal Farhat dan lebih dikenal dengan julukan “Khansa Palestina” ini akhirnya tutup usia.

Kisah wanita  kelahiran 24 Desember 1949 cukup layak menjadi pelajaran. Datang dari keluarga sederhana dari Gaza.  Wanita yang dikenal sangat berprestasi dalam studi ini menikah dini di awal SMU dengan Fathi Farhat (Abu Nidhal). Saat ujian umum SMU Az-Zahra, ia justru melahirkan anak pertamanya.

Khansa Palestina ini adalah janda bagi enam anak laki-laki dan empat anak perempuan. Semua anaknya bergabung dalam barisan mujahidin Brigade Asy-Syahid Izzuddin Al-Qassam. Tiga di antara anak laki-laki itu; Nidhal, Muhammad dan Rawwad gugur syahid.

Nama Ummu Nidhal melekat kuat dalam hati rakyat Palestina. Hal itu bermula ketika awal tahun 2002, Ummu Nidhal muncul dalam rekaman video yang melepaskan kepergian anak Asy-Syahid Al-Qassam Muhammad untuk melakukan operasi serangan syahid di pemukiman Atzimona. Aksi ini mampu menewaskan dan melukai sejumlah pasukan zionos. Rekaman ini kemudian menjadi pelepasan resmi pertama dalam operasi syahid yang terdokumentasi.

Perjalanan Ummu Nidhal Farhat bukan hanya di sini. Sebelumnya di tahun 1992, Ummu Nidhal melindungi di rumahnya komandan Al-Qassam Emad Aqel yang disebut penjajah Zionis sebagai “manusia bernyawa tujuh”. Sang pejuang akhirnya menjemput syahidnya di rumah Ummu Nidhal pada 24 November 1993 setelah terjadi konfrontasi sengit antara Aqel dan 200 serdadu zionis sebelum menggerebek rumah persembunyian.

Perjalanan pengorbanan berlanjut. Pasukan Zionis membunuh anaknya bernama Nadhal di tahun 2003. Nadhal adalah salah satu pimpinan senior lapangan di brigade Al-Qassam dan salah satu arsitek pertama roket-roket Al-Qassam.

Selain itu, pesawat tempur penjajah di tahun 2005 membunuh anaknya lagi Asy-Syahid Rawwad setelah mobil yang ditumpanginya disasar roket pesawat F16 Zionis di Gaza City.

Keluarga Pejuang

Keluarga Farhat dikenal atas perjuangannya melawan penjajah Zionis-Israel. Salah satu menantunya juga syuhada ‘Imad ‘Aqil, seorang pemimpin terkenal Brigade al Qassam yang tewas dalam pertempuran dengan batalion Zionis yang mengepung tempat persembunyiannya di kota Gaza pada 1993.

Selain menanti dan tiga anaknya—Nidal, Rawad dan Muhammad– yang juga syahid dalam tugas berjuang melawan penjajah Zionis, anak mereka yang lainnya, Wisam disekap di penjara Zionis selama 11 tahun.

Sedang anak keempat mereka, Mu’min terluka saat melawan invasi Zionis ke wilayah Syuja’iyyah dua tahun lalu.

Anaknya Muhammad dikenang masyarakat ketika tahun 2002 lalu ia berhasil menyusup ke benteng pemukiman ilegal Atzmona yang memiliki 131 unit permukiman ilegal Yahudi dan lahan pertanian seluas 470 dunum (setara 47 hektar). Muhammad menyasar akademi militer yang ada di permukiman ilegal itu.

Ia menyerang akademi tersebut dan terlibat dalam pertempuran sengit memakai senapan Kalashkinov miliknya selama satu jam dengan serdadu-serdadu Zionis. Ia menggunakan sembilan peluru dan enam granat tangan untuk menyerang akademi itu hingga menewaskan tujuh serdadu Zionis dan melukai 22 serdadu lainnya. Namun ia terbunuh dalam serangan itu. Darahnya bercampur dengan pasir di atas tanah tercintanya.

Ketika tahun 2005 kawasan Atzmona ikut dimerdekakan bersama seluruh kawasan pemukiman ilegal lain di Jalur Gaza, kantor berita  Palestinian Information Center (PIC) mewawancarai Ummu Nidal sesaat setelah ia mengunjungi lokasi tewasnya Muhammad.

“Saat kaki saya melangkah di atas bekas wilayah permukiman Atzmona dan melihat tempat Muhammad gugur, ada perasaan aneh yang menguasai saya. Saya menangis deras, lebih dari ketika ia tewas dulu. Ini adalah hari yang tidak akan saya lupakan. Peristiwa ini setara dengan setengah hidup saya.”

Ibu yang wafat kemarin dalam usia 64 tahun ini dalam wawancara itu mengatakan, masa-masa setelah puteranya menyerang benteng pemukiman Atzmona itu adalah masa yang sulit. “Orang yang mendengar tentang penyerangan itu tidak akan sama rasanya dengan orang yang melihat kejadiannya. Kami biasa mendengar tentang operasi syahadah di dalam pemukiman Yahudi. Namun hanya orang yang melaksanakan operasi itu yang dapat benar-benar mengerti bagaimana menyusup ke benteng pemukiman Yahudi itu. Ketika saya melihat lubang yang dibuat anak saya pada pagar untuk menyusup ke pemukiman itu, saya baru sadar penyerangan ke permukiman Yahudi yang sebenarnya itu seperti apa. Ini seperti operasi yang mustahil,” paparnya.

Umm Nidhal Farhat juga mengatakan, dirinya akan selalu merasa mantan pemukiman Yahudi Atzmona itu sebagai hal yang besar. Ia merasakan wilayah itu menjadi bagian dari jiwanya karena darah anaknya tumpah di atas pemukiman itu.

“Ini adalah mimpi yang besar. Sebelumnya saya tidak pernah berpikir hari (merdekanya Gaza) ini akan tiba. Yaitu hari di mana saya masuk ke Atzmona dan melihat langsung pasir yang tercampur dengan darah Muhammad. Saya merasa sedih ketika menelusuri jejak kaki putera saya yang berjuang melawan penjajah. Dan saya menangis melebihi ketika hari anak saya gugur.”

Ia masih ingat kalimat terakhir yang diucapkan Muhammad di telepon. Muhammad mengatakan, “Selamat tinggal, Ibu.” “Waktu itu jam 16.30 dan Muhammad tengah mempersiapkan penyerangan akademi militer di permukiman itu.”

“Saya merasa bangga karena saya ikut berperan dalam mengalahkan penjajah di Jalur Gaza dan memaksa mereka ke luar,” tegasnya.

Almarhumah semasa hidupnya juga meyakini, Allah akan membalas siapa pun yang mengorbankan hartanya yang paling berharga untuk mempertahankan tanah mereka, membela para wanita, anak-anak dan kaum yang lemah di antara mereka. Dengan ekspresi bahagia, ia juga mengatakan bahwa darah seorang syuhada tidak akan sia-sia.

“Kami, para wanita Palestina tentu saja memiliki perasaan seperti para ibu lainnya di seluruh dunia. Tapi kami menggunakan perasaan dan emosi ini untuk membuktikan keimanan kami. Kami siap mengorbankan segalanya demi Allah, termasuk nyawa kami dan anak-anak kami,” ujarnya.

Ia melanjutkan, “Kami tidak berharap mati atau ingin anak-anak kami mati, tapi saat ini kami berada di bawah penjajahan terburuk yang pernah ada. Dan kami tidak memiliki pilihan selain mengorbankan diri kami dan anak-anak jika itu adalah jalan satu-satunya untuk menyingkirkan penjajahan. Kami ingin hidup damai di tanah kami seperti bangsa-bangsa yang lain.”

Rumah Ummu Nidhal Farhat telah mengalami penghancuran dan penggusuran sebanyak empat kali. Namun itu tak pernah menghalangi dan menyurutkan langkahnya melanjutkan perjuangan jihad dan pengorbanan melawan penjajah Zionis.  Kini Khansa Palestina itu telah gugur. Rahimahallah.

 

Picture of admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter