Menikah Bukan Sekadar Bersatunya Dua Hati…

Share to :

alhikmah.ac.id – Menikah merupakan impian setiap orang. Menikah tidak saja berarti berubah status, tetapi menikah juga berarti dihalalkannya sesuatu yang haram dan dengan menikah sesuatu yang maksiat pun bisa menjadi ibadah.

Menikah tidak melulu sesuatu yang manis, dalam pernikahan sering ujian lebih berat kita rasakan ketimbang dulu saat masih lajang. Tapi jika pernikahan murni diniatkan karena ibadah maka yang sempit akan menjadi lapang, yang miskin akan menjadi kaya, susah akan menjadi senang, yang sulit akan menjadi mudah.

Perkembangan zaman yang semakin modern telah berdampak pada pernikahan. Bagaimana tidak, perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pekerjaan semakin tipis. Semua orang bekerja, dan karena atas nama pekerjaan itu pulalah kadang nilai-nilai dalam pernikahan tidak seperti yang diharapkan.

Hidup ini memang pilihan, dan kita bebas memilih pernikahan seperti apa yang kita inginkan. Idealnya tentu pernikahan itu selalu bersama dalam suka dan duka, dalam lapang dan sempit, dalam tinggi dan rendah, dalam kaya atau miskin, dalam susah atau senang, dalam tangis maupun tawa. Bersama merawat dan mendidik anak-anak. Bukan sekadar hati yang senantiasa bersama tetapi juga fisik.

Tetapi karena berbagai penyebab ada kalanya suami istri saling berjauhan. Bertemu hanya seminggu sekali, sebulan sekali atau bahkan ada yang setahun sekali. Biasanya pekerjaan menjadi alasan model pernikahan seperti ini. Ada yang bahagia dengan keadaan ini tetapi tentu ada juga yang merasa kesepian.

Saat hasrat biologis datang atau saat kita ingin berdiskusi tentang banyak hal. Saat kita sakit atau saat anak sakit. Saat kita sedih atau bahkan saat kita ingin berbagi kebahagiaan. Siapa lagi orang yang paling kita harapkan kehadirannya kalau bukan kekasih yang telah Allah SWT halalkan untuk kita?

Kami pernah mengalami pernikahan jarak jauh. Saya melanjutkan studi di Bandung sedangkan suami bekerja di Tangerang. Bertemu hanya seminggu sekali yaitu sabtu dan minggu. Tentu tidak nyaman bagi kami pasangan pengantin baru. Kemudian kami berkontemplasi, merenung dalam tentang hakikat pernikahan. Apa yang membuat kami harus saling berjauhan, jawabannya karena pekerjaan. Kemudian kami masing-masing istikharah minta diberikan petunjuk dan jalan yang terbaik agar kami bisa bersatu tidak sekadar hati tapi juga fisik. Karena menurut kami hakikat pernikahan bukan sekadar bersatunya dua hati tetapi juga bersatunya dua fisik.

Jika pekerjaan menjadi alasan, kenapa ragu bahwa rezeki itu Allah yang mengatur. Awalnya saya mengusulkan saya saja yang berhenti kuliah, tetapi suami saya melarang. Setelah istikharah dan berfikir panjang, akhirnya suami saya memutuskan berhenti dari pekerjaannya di sebuah perusahaan besar di Tangerang. Saya mendukung penuh keputusan itu dan tidak ada kekhawatiran sedikit pun. Karena saya sangat yakin rezeki itu akan Allah berikan bagi mereka yang mau berusaha.

Alhamdulillah, tak memerlukan waktu yang lama akhirnya suami saya di Bandung dapat pekerjaan. Saat ada kesempatan untuk sekolah lagi, saya mendukung suami untuk keluar dari pekerjaan karena ingin melanjutkan studinya di Pascasarjana ITB. Lagi-lagi Allah mudahkan rezeki orang yang sedang menuntut ilmu. Selain berbekal uang beasiswa yang diperolehnya dari Kemendiknas, ada tawaran mengajar di Perguruan Tinggi Swasta yang waktunya sangat fleksibel.

Ujian ketulusan pernikahan tidak saja sampai di situ, saat studi saya di Pascasarjana Unpad berakhir dan saya harus kembali ke Padang karena ikatan dinas kami harus membuat keputusan besar lagi. Sangat berat, tetapi kami harus memilih. Subhanallah dengan rendah hati suami saya mau mengalah, meninggalkan pekerjaannya sebagai dosen di Perguruan Tinggi Swasta milik Telkom. Katanya “Hakikat pernikahan itu tidak hanya sekadar bertemunya dua hati, tetapi juga dua fisik” Dia menambahkan “Ketulusan cinta itu dibuktikan dengan ketulusan untuk mau berkorban, kita harus selalu bersama, dalam suka dan duka”. Saya terharu mendengarnya, I love you my husband.

Pulang ke Padang dengan predikat suami yang “pengangguran” tidak membuat kami rendah diri. Dengan mengandalkan gaji pokok saya yang hanya satu juta koma sekian waktu itu tidak membuat kami miskin. Karena Allah mengatakan, “Jika kamu miskin, maka Allah yang mengayakan kamu dengan karunia-Nya”

Allah Yang Maha Kaya, Allah Yang Maha Memberi, segala yang di langit dan di bumi ini milik Allah. Mudah bagi Allah memberhentikan kita dari pekerjaan dan mudah pula bagi Allah memberikan kita pekerjaan. Waktu itu hanya ada satu lowongan dosen PNS di fakultas Teknik Sistem Informasi Universitas Andalas, dan ternyata yang satu itu Allah berikan kepada suami saya.

Walau menjadi dosen bukan akhir tujuan kami, tetapi di situ Allah membuktikan janji-Nya memberikan kemudahan bagi mereka yang berdoa dan berusaha. Sekarang selain sama-sama menjadi dosen, sesuai sunnah Rasul kami menjalankan usaha web developer dan bisnis lainnya. Alhamdulillah Allah mudahkan semua, karena niat kami menikah untuk sama-sama saling memotivasi diri, saling mengingatkan, saling meningkatkan potensi diri, dan tentunya saling berdua dalam ketaatan beribadah kepada- Nya…

Semoga senantiasa dibalut sakinah mawaddah warahmah…

Oleh: Dr. Yesi Elsandra 

Picture of admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter