alhikmah.ac.id – Alkisah, pada era tahun 90-an, ramai pelajar-mahasiswa Indonesia yang menimba ilmu di negeri 1000 menara, negeri Al-Azhar, negeri yang Alllah firmankan sebagai negeri aman kendati dipimpin oleh Fir’aun. Saya sendiri menikmati suasana itu di tahun 1996, sebelum tragedi krsmon yang melanda Indonesia.
Saat krismon itulah dan sebelumnya, saya sering menemukan pemandangan yang fenomenal dari perilaku dan gerak-gerik para agent of change di Mesir. Karena ternyata, sangat banyak ragam mahasiswa ada sesuai dengan latarbelakang dan niat awal belajar ke Mesir.
Singkat cerita, dari sekian ribu pelajar-mahasiswa di Mesir, ada pemandangan yang jamak terjadi; yaitu terekrutnya pelajar-mahasiswa baru ke dalam kafilah dakwah tarbawiyah. Kelak di kemudian hari, tunas-tunas inilah yang menjadi penopang gerakan tarbiyah di Indonesia hingga saat ini.
Pemandangan pertama: Beberapa mahasiswa tinggal dalam satu flat. Mereka berangkat dengan modal tiket dan bekal pas-pasan.
Jaman dahulu, tak mudah transfer uang dari Indonesia ke Mesir. Dan memang, rata-rata yang belajar ke Mesir didominasi orang-orang sederhana, juga tak sedikit dari kaum papa yang mengandalkan idealisme memperdalam agama.
Pelajar-mahasiswa tipe ini, biasanya kental dengan suara persaudaraan. Senasib sepenanggungan lumrah adanya. Satu rumah diisi 8 orang mahasiswa/pelajar. Dari jumlah ini, biasanya ada 1-2 orang yang memang biaya hidup (sewa flat-makan-transportasi) ditanggung oleh yang 6 orang yang kebetulan memiliki bekal cukup atau dipandang mampu. Istilahnya, 6 orang mengkafalahi 2 kawan yang kebetulan kurang beruntung.
Perlu keikhlasan tingkat tinggi. Sungguh tak mudah. Tapi saya merasakan betapa tarbiyah memformat ulang hati-hati setiap insan, untuk memiliki jiwa-jiwa itsar dan spirit takaful bersama. Malah biasanya ketua grup (lurah), sangat giat menjalin silaturrahmi ke sana-kemari untuk mencari solusi atas permasalah pelajar-mahasiswa yang kurang beruntung.
Sikap istsar itu tidak hanya mengkafalahi yang 2 orang tadi. Flat kita pun harus terbuka untuk disinggahi kawan-kawan lain, baik pagi-siang-atau malam hari. Saat itu, flat kita yang mungkin selalu “hangat” dan “bau” masakan, diajarkan untuk menjadi keluarga yang lapang dada mempersilahkan tetamu menikmati hidangan yang sebenarnya terbatas dan belum tentu mengenyangkan. Namun sekali lagi, inilah intisari dari dakwah tarbawiyah.
Pemandangan kedua; tak sedikit pelajar/mahasiswa yang datang dengan beasiswa negara. Biasanya yang mengikuti program postgraduate.
Saya beberapa kali menemukan, tak sedikit dari mereka yang tidak membuka diri kepada pelajar dan mahasiswa yang lain. Kami memaklumi, mungkin sibuk dan lagi studyhard menyelesaikan thesis atau desertasinya.
Biasanya jika ia telah bergabung dengan gerakan tarbiyah, ia hanya simpatik dari segi fikroh tidak pergerakan. Kemampuan ilmiahnya sangat mumpuni. Namun tidak dengan sikap sosialnya yang cenderung ekslusif dan memposisikan bak “mercusuar”.
Dua pemandangan ini, kini saya lihat kiprahnya di Indonesia. Tipe pertama: tetap setia menjadi batu-bata dakwah, dalam kondisi senang atau susah, dalam keadaan aman atau fitnah. Mereka berperan seperti akar. Tidak nampak, namun aliran enerjinya mengalir ke semua penjuru, menyerap saripati potensi, mengokohkan pohon, dan menjadi saringan bagi pohon dakwan.
Sedangkan tipe kedua: Ia menjadi mercusuar dakwah. Ilmunya yang luas, kajiannya yang mendalam, tsaqofahnya yang mendunia, dan gelar pendidikannya yang aduhai, ia mampu menghipnotis tunas-tunas dakwah. Ia telah menjadi figur sentral. Perannya tak ubahnya seperti daun yang membuat indah pohon dakwah, menerima sorotan matahari, hingga hingar bingar situasi dan kondisi.
Namun di saat badai menerjang, hujan beserta petir menghantam. Kita bisa tahu, ternyata pohon dakwah itu tak terusik karena kekokohan kader-kader yang tak terlihat dan kokoh menghujam ke bawah. Sementara kader-kader yang menjadi dedaunan, tak sedikit yang rontok dan berhamburan. Seakan tak siap menghadapi hiruk pikuk konspirasi dan tragedi.
Kini saya merekonstruksi ulang. Oh ternyata, kawan-kawan yang hingga kini tak terkenal dan tidak menjadi figur sentral dalam dakwah, mereka yang dahulu kuliahnya tak semulus jalan tol. Mereka yang dahulu makan bersama dalam satu nampan. Tak peduli dengan mulut kami yang masih bau, mata kami yang belum dibersihkan, keringat kami yang tak hiegienis, atau cara masak kami yang jauh dari kata profesional. Justru mereka kini yang kokoh memikul beban-beban dakwah. Menjadi ujung tombak bahkan ujung tombok kegiatan dakwah.
Sedangkan kawan-kawan yang sekarang berguguran, adalah mereka yang dahulu hidup lebih dari cukup, bisa jajan di resto, ekslusif, mampu menyewa satu kamar seorang diri, tak pernah lutut kami beradu atau bau badan kami bercampur. Kini tipe-tipe ini justru yang telah pergi meninggalkan kami, di saat keguncangan itu terjadi.
Saya hanya berdoa, semoga Allah persatukan kami kembali. Jalan dakwah ini mengajarkan, saripati dakwah itu tidak hanya didapat dari teori-teori yang ada di buku-buku. Tapi saripati dakwah kita dapatkan, karena turun ke gelanggang walau seorang.