Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah
alhikmah.ac.id – “Tetapi Ibu, bukankah kita telah mengangkatnya sebagai amirul-mukminin, pemimpin orang-orang beriman? Berarti semua perintah-perintahnya yang sejalan dengan perintah agama harus kita patuhi, baik ia tahu ataupun tidak tahu. Tanggung jawab kita bukan kepada Khalifah, melainkan kepada Allah.”
Masih terngiang di telinga Umar bin Khatab jawaban lembut tapi tajam dari seorang gadis kepada ibunya yang menyuruh agar ia mencampurkan air ke dalam susu yang akan dijualnya. Umar terpesona dengan keluhuran akhlak gadis, anak penjual susu yang dicuri dengarnya semalam.
Saat itu malam gelap gulita. Madinah telah tertidur lelap. Para penduduknya telah dibuai mimpi, kecuali seorang yang masih terjaga. Karena, gelisah diusik rasa tanggung jawab maha dahsyat yang menggantung di lehernya. Dia selalu gelisah seperti itu, sehingga tidak pernah sekejab pun dapat berdiam diri. Ditelusurinya jalan-jalan dan lorong sempit kota Madinah yang sepi itu. Bertemankan kegelapan malam yang hitam pekat bagai tirai dan angin dingin menyusup tulang.
Orang itu keluar dan berjalan mengendap-endap. Setiap rumah diamatinya dari dekat. Dipasangnya telinga dan matanya baik-baik, kalau-kalau ada penghuninya yang masih terjaga karena lapar, atau yang tak dapat memicingkan matanya karena sakit, atau barangkali ada seseorang kelana yang terlantar.
Ia selalu mengamati kalau-kalau ada kepentingan umatnya yang luput dari perhatiannya karena ia yakin betul bahwa semuanya itu nanti akan dimintakan pertanggungjawabannya. Diperhitungkan senti demi senti, butir demi butir, dan tak mungkin ada yang terlewat dari penglihatan Allah swt.
Orang itu adalah Umar bin Khaththab ra.; amirul mu’minin.
Sudah panjang jalan dan lorong dilaluinya malam itu hingga tubuhnya letih. Keringat mengalir di sekujur badan meski udara dingin membalut. Oleh karena itu, disandarkannya tubuh besarnya pada dinding gubuk rombeng. Saking lelahnya, ia duduk di tanah mencoba istirahat sejenak. Jika letih kakinya agak berkurang, ia bermaksud melanjutkan perjalanan ke masjid. Tidak lama lagi fajar menampakkan diri, azan Subuh segera berkumandang.
Saat bersamaan seorang gadis remaja berpakaian compang camping baru saja memerah susu kambingnya untuk dijual besok pagi. Di luar rumahnya yang rombeng, hampir roboh serta dikelilingi belukar meranggas. Penghuninya cuma dua orang, ibu tua dan anak gadisnya yang meningkat remaja. Tidak ada orang lelaki di rumah mereka, sebab ayah si gadis sudah meninggal dunia.
Tiba-tiba Khalifah yang sedari tadi bersandar, mendengar ada suara lirih dari dalam gubuk itu. Suara itu seperti percakapan dua orang wanita. Yang satu ibu bagi yang lain, agaknya mereka membicarakan susu yang baru saja diperah dari kambing untuk dijual ke pasar pagi hari nanti.
Si ibu meminta anak gadisnya mencampur susu itu dengan air. Dengan begitu, akan jadi lebih banyak dan tentunya uang yang diperoleh nantinya akan bertambah, setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka hari itu.
“Tidakkah kaucampur susu daganganmu dengan air? Subuh telah datang!” kata sang ibu. Anak gadisnya menjawab, “Bagaimana mungkin aku mencampurnya, sedangkan Amirul Mukminin telah melarang mencampur susu dengan air?” Sang ibu menimpali, ”Orang-orang telah mencampurnya. Kau campur saja. Toh, Amirul Mukminin tidak akan tahu.” Sang gadis menjawab,” Jika Umar tidak tahu, Tuhan Umar pasti tahu. Aku tidak akan mencampurnya karena Dia telah melarangnya.”
Dialog ibu dan anak ini sungguh sangat menyentuh Umar. Khalifah yang terkenal keras itu pun luluh dan terharu hatinya. Beliau sangat kagum dengan ketakwaan gadis miskin anak penjual susu itu. Ucapan terakhir gadis itulah yang membuat airmata Umar berderai. Ia tak kuasa menahan haru yang memenuhi dadanya. Airmata itu bukan airmata kesedihan. Tapi, airmata bangga dan penuh kegembiraan. Kebanggaan akan perilaku kesalehan gadis pemerah susu yang luar biasa.
Di usianya yang masih remaja, gadis itu tumbuh dalam sosok kesahajaan. Ditempa dalam suasana kerja keras, membanting tulang siang malam menyiapkan perahan susu jualannya. Tak ada keluh kesah, semuanya dilakoni dengan penuh bakti kepada ibu tercinta. Hal yang menarik lagi adalah kematangan jiwanya melebihi batas usia remajanya.
Kesahajaannya tampak dalam penampilan, tutur kata dan cita-cita. Dalam dirinya hanya ada satu keinginan yang kuat yaitu agar Allah meridhai semua yang dilakukannya. Ajakan sang ibu ditepisnya mentah-mentah karena dinilai bertentangan dengan hukum.
Namun begitu hal tersebut tidak lantas membuat hati si ibu tersinggung. Bahkan dia merasa tercerahkan dengan kesalehan putri semata wayangnya ini.
Tentu ceritanya jadi berbeda kalau kita tarik dengan fenomena ‘mama mia’ sekarang ini. Sekelompok ibu-ibu yang terobsesi dengan anak-anak mereka agar bisa tampil sebagai bintang film, bintang sinetron, bintang iklan dan sebagainya. Tidak peduli kalaupun harus mengumbar aurat, berlenggak lenggok ditonton banyak orang yang penting mendatangkan kocek yang tebal. Walaupun mereka harus merengek-rengek, membujuk, merayu dengan berbagai cara dengan satu keinginan ‘bisa jadi selebritis’. Astaghfirullah.
Sementara si pemerah susu ini, hanya berkutat di rumah, melayani ibu dan dagangannya. Tak ada baju mewah, tak ada perhiasan, tak ada parfum yang menjadi kelaziman di usianya. Barangkali kalau sekarang dia tak kenal bioskop, tak kenal diskotik, mall apalagi hotel. Walaupun kini menjadi lumrah bagi remaja yang memiliki orang tua dengan kelas ekonomi yang cukup berada, terutama di kota-kota besar, mall sudah menjadi rumah kedua. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat mengikuti mode yang sedang beredar. Padahal mode itu sendiri selalu berubah sehingga para remaja tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Alhasil, muncullah perilaku yang konsumtif.
Perilaku konsumtif pada remaja sebenarnya dapat dimengerti bila melihat usia remaja sebagai usia peralihan dalam mencari identitas diri. Remaja ingin diakui eksistensinya oleh lingkungan dengan berusaha menjadi bagian dari lingkungan itu. Kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama dengan orang lain yang sebaya itu menyebabkan remaja berusaha untuk mengikuti berbagai atribut yang sedang in. Remaja dalam perkembangan kognitif dan emosinya masih memandang bahwa atribut yang superfisial itu sama penting (bahkan lebih penting) dengan substansi. Apa yang dikenakan oleh seorang artis yang menjadi idola para remaja menjadi lebih penting (untuk ditiru) dibandingkan dengan kerja keras dan usaha yang dilakukan artis idolanya itu untuk sampai pada kepopulerannya.
Menjadi masalah ketika kecenderungan yang sebenarnya wajar pada remaja ini dilakukan secara berlebihan. Pepatah “lebih besar pasak daripada tiang” berlaku di sini. Terkadang apa yang dituntut oleh remaja di luar kemampuan orang tuanya sebagai sumber dana. Hal ini menyebabkan banyak orang tua yang mengeluh saat anaknya mulai memasuki dunia remaja. Dalam hal ini, perilaku tadi telah menimbulkan masalah ekonomi pada keluarganya.
Perilaku konsumtif ini dapat terus mengakar di dalam gaya hidup sekelompok remaja. Berabenya life style ini terbawa sampai dewasa. Sementara gaya hidup konsumtif ini perlu dukungan modal dan kekuatan finansial yang tidak sedikit. Maka masalah lebih besar akan terjadi bila pencapaian tingkat finansial itu dilakukan dengan segala macam cara yang tidak sehat. Mulai dari pola bekerja yang berlebihan sampai menggunakan cara instan seperti korupsi dan penipuan. Pada akhirnya perilaku konsumtif bukan saja memiliki dampak ekonomi, tapi juga dampak psikologis, sosial bahkan akhlaq.
Sebaliknya, gadis tokoh kita ini hidup di sebuah desa sebagai pemerah susu. Dengan rumah dari pelepah kurma, berlantai tanah. Makan dari hasil jualan susunya tiap hari. Pakaian compang camping dan bayangkan tiap hari bertemankan kambing-kambing yang harus diperahnya. Namun hidupnya tenang, tidak ada iri dan panas hati melihat rezeki orang lain. Keluarga ini rajin beribadah. Dan, dunia seolah sudah berhenti berputar karena dari hari ke hari hidup dengan keadaan yang terus begitu. Keluarga miskin ini pun hidup tenteram di tanah padang pasir yang tandus. Tapi, itulah anugerah Tuhan dan mereka mensyukurinya. Apa tidak hebat mereka.
Apa jadinya dengan seorang ibu rumah tangga yang suaminya cukup terpandang dan berpenghasilan baik. Ia dapat makan lebih dari cukup. Rumahnya cukup besar. Dapat menyekolahkan anak-anak dan memberi mereka uang saku yang cukup. Namun, ia merasa dirinya masih sial dan miskin. Sepanjang hari ia irihati kepada mereka yang sederajat dengan suaminya, tetapi memiliki mobil lebih bagus, perabot rumah lebih ngejreng dan simpanan di bank ratusan juta rupiah. Ibu ini menderita batin, karena merasa dirinya tidak beruntung, merasa dirinya masih miskin.
Dalam kehidupan kita, tak sedikit orang yang dendam dengan kemiskinan. Kemiskinan dilihat sebagai monster mengerikan yang harus dibunuh. Bahkan dengan cara apapun. Pertarungan dengan monster kemiskinan ini, melibatkan banyak taktik dan tipu muslihat. Bagi yang rapuh menghadapi serangan monster ini, Iblis amat kuat sebagai pendukung dan pembisik.
Tak heran jika, orang kemudian korupsi. Pejabat main sikat. Pemimpin pun, lupa pada amanahnya sebagai pemimpin rakyat. Seorang pemimpin bisa berbalik, menjadi pemimpin untuk kelanggengan dinasti kekayaan dan keluarganya, agar kemiskinan tak terwarisi turun temurun.
Hidup miskin telah dianggap sebagai aib, bukan dilihat sebagai guru kehidupan. Karena aib, tatkala seorang miskin merangkak kaya, ia malu ‘kecepretan’ orang miskin lain. Standar hidupnya naik, gaya hari-harinya berubah. Tiap aktivitasnya, dipenuhi polah tingkah yang neko-neko.
Di masyarakat, hal demikian selalu hadir dalam rutinitas hidup di desa dan perkotaan. Berjuta keluarga miskin rela tak makan, tapi ia terpuaskan menonton sinetron melalui televisi layar datar di rumahnya yang reot. Meski hasil kreditan. Musik dangdut dengan sound system menggelegar, bersaing antar satu kontrakan dengan kontrakan lain. Hiburan diri yang sesaat diperjuangkan, sementara nasib pedidikan anak-anaknya dilupakan.
Mentalitas demikian, tak hanya melekat dalam diri masyarakat kecil. Ia juga telah membudaya dalam kehidupan sebagian besar elit di negeri ini. Dendam kemiskinan, memaksa mereka menumpuk-numpuk kekayaan. Aji mumpung tak terbendung. Pun, hingga liang lahat kekayaan itu harus tercitrakan dalam bentuk kuburan berdinding batu pualam. Jika perlu dilapisi emas. Tak peduli, apakah kepergiannya ke alam baka, meninggalkan sanak keluarga dan tetangga yang kelaparan.
Lebih dari itu, sebenarnya apa yang harus dicari dalam hidup ini. Kaya raya tetapi tidak pernah tenang hatinya, selalu panas, iri dan merasa masih belum kaya. Atau sebaliknya, menyadari kekurangan lalu menerima kekurangan itu apa adanya dan menjalankan hidup ini sebaik mungkin, yakni tidak menyakiti orang lain dan takwa kepada Nya. Sebab sesungguhnya, kemiskinan bukan suatu penderitaan. Semua tergantung pada sikap kita. Harta milik adalah rezeki, keberuntungan juga akibat usaha kita. Manusia boleh berusaha tetapi rezeki tetap bukan kita yang menentukan. Tuhan tetap memberikan rezeki, baik kepada orang jahat maupun saleh.
Nyatanya kita berusaha hidup baik dan keras berikhtiar, tetapi rezeki yang kita dapat pas-pasan. Sebaliknya, ada orang yang suka manipulasi, pemalas, mau enaknya sendiri saja, namun rezekinya terus mengalir. Sikap kita menghadapi rezeki dan kekayaan. Sikap kita dalam menghadapi ketidakberuntungan dan kemiskinan, akan menentukan apakah kita akan menderita atau tidak.
Penderitaan itu bukan hanya berasal dari persoalan harta milik. Penderitaan bukan hanya berasal dari kemiskinan. Penderitaan berasal dari sikap hidup kita sendiri. Sikap untuk menerima kenyataan sebagai kenyataan yang harus diterima. Pada waktu kita beruntung, kita harus terima dengan rasa syukur. Pada waktu kita tidak beruntung, kita terima sebagai kenyataan yang harus demikian. Dengan sikap hidup yang siap menerima apa adanya, sambil kita sendiri berusaha berperilaku seperti yang kita anggap paling baik, tentunya sesuai hati nurani paling bersih maka dunia menjadi terang. Kita pun akan hidup seperti gadis pemerah susu yang hidup sederhana di padang pasir yang tandus itu.
Pendek kata, penderitaan bukan hanya berasal dari kemiskinan. Penderitaan ada dalam hati manusia, dalam sikap hidup. Sesungguhnya merasa disingkirkan, tak disenangi lingkungan adalah penderitaan juga. Merasa tertekan, tidak bebas adalah penderitaan. Merasa berbuat salah adalah penderitaan. Menanggung sakit berat adalah penderitaan. Dihina dan direndahkan orang adalah penderitaan. Dan, seribu satu macam sumber penderitaan lain.
Terlalu sempit jika memandang bahwa penderitaan itu adalah gambaran sebuah kemiskinan. Padahal, wilayah penderitaan manusia itu sangat luas, bukan hanya soal kemiskinan atau kepemilikan harta benda. Penderitaan itu tidak pandang bulu. Yang kaya, yang miskin, yang berkuasa, yang terkenal, yang gagah, yang buruk rupa, yang tua, yang muda, semua mengenal penderitaan. Setiap manusia mengenal penderitaan.
Kemiskinan sebagai penderitaan sebenarnya pandangan kapitalistik. Hidup itu untuk memiliki harta benda sebab harta dan kekayaan itu akan menghasilkan kekayaan lagi. Kekayaan, itulah tujuan akhir kapitalisme. Bagi mereka yang masuk ke dalam golongan ini, kekayaan berlimpah adalah kebahagiaannya. Itulah citra kebahagiaan manusia sekarang. Akibatnya, orang mencoba “membeli” kekayaan dengan cara apa pun, hanya agar dikira bahagia. Memang, tampaknya hal yang mengada-ada.
Namun, kondisinya memang nyata. Orang akan merasa bahagia kalau memiliki banyak uang tabungan, deposito berdigit M, usaha di mana-mana, dan terus menghasilkan uang. Akibatnya, muncul kebahagiaan dengan berbagai simbol kekayaan “Rumahnya di daerah mana sih?; Mobilnya merk apa ya? Eh, sepatunya buatan mana? Week end-nya dimana”, atau pertanyaan-pertanyaan lain yang cukup risih didengar oleh mereka yang tidak biasa mendengar. Namun, pertanyaan itu akan menjadi biasa jika mereka yang “the have” melontarkannya. Ironis memang, tetapi itulah manusia dengan sisi kehidupannya.
Kemiskinan hanya salah satu dari sumber penderitaan. Dan, kemiskinan itu relatif lebih mudah menghilangkannya dari daftar sumber penderitaan manusia. Tidak usah heran bila ada sekelompok manusia yang bahagia setelah menjadi miskin. Dalam sejarah, terdapat sejumlah orang yang meninggalkan kekayaan dan sengaja menjadi miskin untuk mencari kebahagiaan hidup. Dengan kemiskinan itu justru hatinya lebih bersih, tak terikat nafsu duniawi. Tinggal melawan nafsu yang mementingkan diri sendiri seperti nafsu untuk dipuja, dikenal, dihormati, disanjung. Lebih dari itu, nafsu badaniah berupa kenikmatan, kemudahan dan kenyamanan hidup.
Sikap Umar yang menangis saat menyaksikan langsung ‘pagelaran takwa’ yang dimainkan secara apik oleh gadis ndeso itu tidaklah berlebihan, karena ternyata di kalangan rakyat jelata yang dipimpinnya ketaqwaan masih mengakar kuat. Di tengah kesulitan hidup tidak lantas pembolehan atas kecurangan, pewajaran atas semua bentuk penipuan. Gadis itu telah mempraktikkan secara nyata bahwa kemiskinan jangan sampai merusak kemuliaan yang telah Allah berikan kepada manusia. Hati yang mulia adalah jawaban dari semua ujian hidup yang dialaminya.
Putih dan bersihnya hati akan mencerminkan perilaku yang benar. Sebaliknya, kotornya hati akan mencerminkan kecenderungan perilaku yang salah. Semuanya terpulang pada insan yang memiliki hati. Apakah mampu membasuh hati untuk kebaikan yang hakiki atau menjerumuskannya ke lembah berbatu cadas untuk menjemput murka Allah dengan kesalahan yang dilakukannya. Wallahu a’lam. (dkwt)