alhikmah.ac.id – “Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, lalu Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri. Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain.” (Al-An’am: 6)
Sudah sekian kali Allah membinasakan bangsa-bangsa yang mendustai agama. Sebelumnya, mereka dikokohkan Allah kedudukannya dengan harta, keturunan, dan kesejahteraan. Allah juga menurunkan air hujan yang deras. Allah jadikan sungai-sungai mengalir sehingga menumbuhkan tanaman dan kebun buah-buahan. Mereka benar-benar merasakan kesenangan duniawi. Namun mereka tidak pandai bersyukur. Mereka tidak dapat mengendalikan nafsu. Justru mengikuti syahwat. Setiap datang Rasul yang diutus, mereka dustakan. Karena itu, Allah membinasakan mereka lantaran dosa-dosa dan kemaksiatan itu. Lalu Allah mengganti mereka dengan generasi yang lain. Ini adalah sunnatullah bagi orang-orang yang mendustai agama.
Di antara bangsa yang telah dianugerahkan Allah kekuatan dan kesejahteraan hidup adalah Fir’aun. Fir’aun memiliki struktur kenegaraan dan kekuatan militer yang hebat. Tapi, karena berpaling dari ajakan Nabi Musa, Allah tidak segan-segan membinasakan mereka dengan menenggelamkan di lautan. Begitu juga Kaum ‘Ad. Penduduk kota Iram ini diberi Allah kekuatan konstruksi bangunan nan kokoh. Lalu Allah binasakan mereka dengan mengirimkan angin puyuh yang mematikan karena pembangkangan mereka terhadap aturan Allah.
Demikian pula Kaum Tsamud. Mereka diberikan Allah kemampuan yang fisik prima. Mereka mampu memecahkan bebatuan di lembah-lembah, kemudian Allah membumihanguskan mereka dengan mengirimkan petir halilintar yang menyambar mereka dalam keadaan sadar. Juga kaum Nuh yang dengan sangat mudah ditenggelamkan Allah lantaran dosa-dosa mereka. Allah Maha Kuat Maha Perkasa tiada tandingan bagiNya. Apapun kekuatan dan kemampuan yang dimiliki makhlukNya, jika Allah berkehendak untuk menghancurkannya, niscaya dalam waktu sekejap saja dapat dilakukanNya.
Imam Al-Maraghi menjelaskan dalam tafsirnya, “Apakah orang-orang kafir itu tidak sadar bahwa Allah telah berkali-berkali membinasakan bangsa-bangsa para pendusta rasul. Allah pun menganugrahkan mereka kesejahteraan, kebebasan di bumi dan fasilitas hidup lainnya, tetapi disayangkan nikmat-nikmat tersebut membuat mereka sombong tidak menerima kebenaran. Bahkan ketika Allah menurunkan air hujan dan sungai-sungai mengalir di perkebunan dan pertanian mereka, sehingga mereka dapat bersenang-senang dengan nikmat-nikmat tersebut. Tetapi mereka tidak mensyukuri nikmat-nikmat itu, mereka lupa bahkan melakukan perbuatan dosa dan maksiat.” (Al-Maraghi 7:75-76).
Selanjutnya Al-Maraghi menjelaskan 2 macam dosa, ada dosa berupa pendustaan terhadap ajaran rasul dan dosa berupa kufur nikmat dengan melakukan kezaliman-kezaliman dan perbuatan destruktif.
Dari penjelasan di atas, bencana alam yang menimpa suatu bangsa merupakan teguran Allah swt. kepada bangsa yang melakukan salah satu dari dua kategori dosa sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Al-Maraghi.
Secara spesifik Rasulullah saw. pun menerangkan keterkaitan antara bencana dengan moralitas dalam sebuah haditsnya yang artinya, “Wahai sahabat Muhajirin, lima perkara ini apabila kalian diuji dengannya maka kalian akan menerima cobaan dan berbagai siksaan. Aku berlindung kepada Allah semoga kalian tidak mengalaminya: Apabila masyarakat itu banyak melaksanakan perbuatan keji (zina), maka penyakit kolera dan penyakit yang tidak pernah menimpa umat terdahulu akan mewabah. Apabila masyarakat tidak mau mengeluarkan zakat, maka mereka telah menahan tetesan air dari langit andai saja bukan untuk memberi minum binatang, mereka tidak akan diberi air hujan. Apabila masyarakat itu melanggar janji Allah dan Rasul-Nya, maka Allah akan membuat musuh-musuh menguasai mereka, kemudian musuh tersebut akan merampas sebagian hak milik mereka. Apabila pemimpin masyarakat itu tidak memutuskan hukum berdasarkan kitab Allah dan ‘memilih-milih’ apa yang diturunkan Allah, maka Allah akan mengirimkan malapetaka kepada mereka.” (Ibnu Majah dan Al-Hakim menshahihkannya, demikian Imam Adz-Dzhabi menyepakatinya).
Hadits tersebut juga sebagai penjelasan dari firman Allah swt., “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Rum: 41)
Al-Fasad (kerusakan) yang muncul di suatu masyarakat, baik di darat maupun di lautan semata-mata karena ulah dan laku manusia yang destruktif. Allah sengaja ingin menegur mereka, dengan harapan mereka dapat meninggalkan perbuatan mereka yang mengakibatkan kerusakan, sehingga mereka memperbaiki diri kemudian istiqomah dalam ketaatan dan ketakwaan. (Taysir 6/135).
Dengan kata lain agar dapat keluar dari krisis yang melanda suatu bangsa adalah dengan kembali ke jalan yang benar. Lebih tegas dan konkret lagi Allah menjelaskan maksud jalan yang benar itu adalah ad-din al-qayyim, yakni agama yang lurus (baca: Ar-Rum 43) dengan mengarahkan wajah dan wijhah (orientasi hidup) kita kepada ajaran Allah yang benar, yaitu Al-Islam. Karena Allah Sang Pencipta manusia, Allah pula Sang Konseptor Al-Islam, Allah jua Sang Pencipta dan Pengatur kehidupan manusia, maka Dia-lah Sang Maha Mengetahui kunci dan rahasia kebahagiaan hakiki.
Bangsa kita kini tengah menghadapi berbagai permasalahan serius akibat krisis yang berkepanjangan dan tidak menentu. Akhir-akhir ini di banyak wilayah Indonesia dilanda banjir, tidak sedikit masyarakat yang terjangkit busung lapar atau kurang gizi. Negara yang dahulunya dikenal dengan kesuburan tanah dan keindahan panoramanya, kini seakan semua kebaikan itu sirna dan pupus.
Dalam keyakinan setiap muslim, bahwa gejala alam tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi ada yang mengatur dan memerankannya. Bangunan langit yang begitu megahnya, hamparan bumi yang demikian menakjubkan, hidup berpasangan dari makhluk-makhluk yang unik, semua itu tidak terjadi “sim sala bim”, tetapi Allah swt. lah yang menciptakan, mengatur dan memerankan keajaiban-keajaiban alam itu.
Karenanya, upaya hujan buatan dalam penanggulangan kekeringan, menyantuni korban bencana alam, peduli kepada kaum papa dan nestapa hanyalah sebagai solusi praktis yang bersifat sementara dan sesaat atau bersifat insidentil.
Sebenarnya solusi mengakar dan jalan keluar hakiki adalah kembali kepada Allah saat kita menghadapi permasalahan hidup dengan berbagai kendala dan rintangannya. Kembali kepada Allah artinya meninggalkan segala perbuatan maksiat dan segala bentuk dosa, memperbaiki kesalahan-kesalahan pribadi dan konstitusi, baik pada tataran masyarakat maupun tataran pemimpin.
Karenanya menjadi urgen bagi kita untuk memiliki pemimpin –di semua level– yang tangguh, baik lahir batin, sehat mental spiritual dan fisikal. Memilih pemimpin yang mampu menebarkan rahmat bagi semesta adalah sebagian dari misi Islam yang hakiki. Semoga kita bisa melakukannya. (dkw)