alhikmah.ac.id – Dalam khutbah yang panjang menjelang masuk bulan Ramadhan, Rasulullah saw menyampaikan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan solidaritas dan peduli, seperti petikan sabdanya:
وَ شَهْرُ الْمُوَاسَاةِ
(Bulan Ramadhan) adalah bulan muwasat; yaitu bulan solidaritas dan peduli
Secara etimologi arti solidaritas adalah kesetiakawanan atau kekompakkan. Solidaritas salah satu bagian dari nilai Islam yang humanistik-transendental. Wacana solidaritas bersifat kemanusiaan dan mengandung nilai adiluhung, tidaklah aneh kalau solidaritas ini merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi !. Memang mudah mengucapkan kata solidaritas tetapi kenyataannya dalam kehidupan manusia sangat jauh sekali.
Dan Perjuangan solidaritas ala Islam merupakan salah satu wahana untuk meningkatkan ketakwaan dan keshalehan sosial. Di alam yang serba komplek ini untuk menuju tangga ketakwaan (solidaritas) memang membutuhkan perjuangan yang tidak remeh karena berkaitan dengan hati dan kesiapan. Tapi tidaklah kita memperhatikan teladan nabi Muhammad SAW dan sebagian para sahabat nabi yang dijamin masuk surga, mereka melakukan amalan-amalan yang terpuji karena mengharap ridha Allah SWT?..
Dan keshalehan sosial ini bisa diukur dengan parameter orang bersangkutan berbuat amal shaleh dan proyek kebaikan lainnya. Karena iman dan amal menjadi mata rantai yang harus sinergis, oleh karena itu keduanya tampil menjadi mainstream dalam sebuah perubahan sosial. Akan sulit kiranya, sebuah perubahan jika iman hanya disandarkan pada keshalehan vertikal (mahdhah) tanpa dibarengi dengan keshalehan sosial (amal shleh) yang lebih memihak kepada persoalan kemanusiaan.
Nilai kebaikan solidaritas dalam Al-Quran berbunyi:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَاب
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al-Maidah: 2).
Inilah pondasi nilai Islam yang merupakan sistem sosial, dimana dengannya martabat manusia terjaga, begitu juga akan mendatangkan kebaikan bagi pribadi, masyarakat dan kemanusiaan tanpa membedakan suku, bahasa dan agama.
Solidaritas juga tercermin dalam Hadits dari Sufyan bin Uyaynah:
أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ فِي الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِوَأَشَارَ سُفْيَانُ بِإِصْبَعَيْهِ
“Bahwa Rasulullah saw bersabda: “Saya (Rasulullah saw) dan pengayom, pelindung anak yatim atau kepada yang lainnya di surga seperti dua ini, lalu Sufyan melakukan isyarat seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW memberikan isyarat dengan jari telunjuk dan tengah” (At-Thabrani).
Maksudnya orang yang suka memberikan pertolongan kepada anak yatim, nanti di surga akan berdekatan dengan Rasulullah SAW, seperti jari telunjuk dan tengah. Dalam Hadis lain dijelaskan juga (solidaritas) selain kepada anak yatim.
Bagi yang mampu melakukan aksi solidaritas tetapi tidak melaksanakannya, maka orang tersebut telah mendustakan agama seperti terungkap dalam firman Allah SWT :
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ. فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ. وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ. فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ. الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ. الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ . وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama ?. Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan barang berguna (tolong menolong)”. (Al-Ma’uun : 1-7).
Dalam hal solidaritas juga, Rasululllah SAW telah membuat ilustrasi yang bagus sekali :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang mumin dalam cinta dan kasih sayangnya seperti badan manusia, apabila salah satu anggota badan sakit maka seluruh anggota badan merasakannya”. (Al-Bukhari).
Dalam redaksi lain ada tambahan yang berbunyi :
وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ، مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Allah akan menolong seseorang hamba, selama hamba itu menolong saudaranya”. (Bukhari)
Solidaritas tidak hanya dalam perkara benda saja tetapi meliputi kasih sayang, perhatian, dan kebaikan lainnya. Agama Islam sangat menganjurkan pada solidaritas kebersamaan dan sangat anti yang berbau perpecahan, menghembuskan sifat permusuhan di masyarakat. Karena titik kekuatan suatu komunitas atau negara terletak pada solidaritas kebersamaan dan persatuan.
Semoga kita bisa mengimplementasikan keshalehan sosial ini dalam kehidupan kita sehari hari, dan menjaganya sehingga menjadikan cermin yang baik terhadap kehidupan sosial disekitar kita, terutama pada saat yang penuh berkah dan pada bulan yang agung dan berlimpah rahmat dan karunia ini.
Diantara yang termasuk Muwasah adalah:
1. Mendoakan kaum muslimin. Doa saudara Muslim sangatlah diharapkan oleh Muslim yang lain, baik yg masih hidup atau yang sudah meinggal, dan Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آَمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيم
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (Al-Hasyr:10)
2. Bersedekah dan mengerjakan kebaikan. Ada pesan dari ulama-ulama terdahulu bahwa,”Orang yg hidup utk dirinya sendiri tidak layak untuk dilahirkan.”
3. Bersilaturahmi.
4. Solidaritas dalam Perlawanan, yaitu kewajiban kaum Muslimin membela agama dan negaranya dan juga memperjuangkan nasib kaum atau bangsa yang mengalami penderitaan dan kesusahan; yang dilakukan dengan memberikan perhatian, bantuan dan uluran tangan. Allah berfirman:
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui“. (At-Taubah:41)
Karena umat Islam seumpama satu jasad, jika satu anggota mengaduh rasa sakit seluruh tubuh akan merasa demam.
Bulan Ramadhan adalah bulan muwasah dalam arti peduli. Rasa peduli adalah ibarat batu bata untuk bangunan yang bernama kasih sayang. Tanpa adanya kepedulian tidak mungkin terdapat rasa kasih dan sayang pada seseorang. Adapun yang dimaksud dengan Kepedulian adalah kesanggupan untuk peka terhadap kebutuhan orang lain dan kesanggupan untuk turut merasakan perasaan orang lain serta menempatkan diri dalam keadaan orang lain (empati).
Bukanlah sikap peka yang dimaksud disini dalam arti sifat orang yang perhatiannya tertuju ke dalam atau kepada dirinya sehingga perasaannya mudah tersinggung, namun yang dimaksdu disini adalh sifat orang yang perhatiannya tertuju keluar, kepada orang lain, yang mudah merasa iba kepada orang lain.
Kepekaan dan kepedulian membuat orang melihat keluar dari dirinya, dan menyelami perasaan dan kebutuhan orang lain, lalu menanggapi dan melakukan perbuatan yang diperlukan untuk orang lain dan dunia di sekelilingnya.
Kepekaan dan kepedulian adalah nilai yang sangat penting untuk dimiliki oleh setiap orang. Pada nilai ini terkait banyak nilai lainnya, antara lain: kedisiplinan, kejujuran, kerendahan hati, cinta kasih, keramahan, kebaikan hati, kebijaksanaan, dan sebagainya. Kebahagiaan yang dialami seseorang sebagian besar adalah hasil kepekaan dan kepedulian orang tersebut terhadap perasaan, kesempatan, dan kebutuhan orang lain dan dunia di sekitarnya. Dan untuk dapat bersikap peka dan peduli dibutuhkan tingkat kematangan kepribadian tertentu. Dan Ibadah Puasa adalah merupakan sarana yang mujarab atau ampuh untuk memunculkan sikap peduli dan empati serta peka terhadap kondisi orang lain; baik tetangga, teman, sahabat, saudara dan orang yang lain yang seiman.
Karena itulah seorang muslim yang berpuasa harus memiliki sifat kepedulian terhadap sesama; orang yang kaya ikut peduli dan ikut merasakan akan kesusahan orang miskin, orang yang senang ikut peduli dan merasakan kepedihan orang yang susah, orang yang lapang ikut peduli dan merasakan orang yang sedang menderita kesempitan, orang yang negaranya merdeka ikut peduli dan merasakan kesengsaraan orang yang negara masih dijajah, dan orang yang kenyang ikut peduli dan merasakan kepedihan orang yang lapar. Itulah hikmat besar pada bulan Ramadhan bagi umat Islam, sehingga muncul dari dalam dirinya kepedulian antar sesama dan tergugah hatinya untuk memberi dan mengulurkan tanggannya untuk membantu dan memberi kesenangan dan kelapangan kepada mereka yang membutuhkan.
Dan kepedulian serta solidaritas ini tidak terbatas pada lintas lokal atau regional saja namun juga lintas negara dan benua. Karena itu, ketika sebagian umat Islam dihina dan ditindas; baik di Palestina, di Iraq, di Kahsmir, di Timur Eropa, di Mindanao, di Pattani dan di tempat-tempat lainnya; sepatutnya seluruh umat Islam dimana saja berada ikut merasakan kesengsaraan mereka. Seperti halnya yang dirasakan saat lapar, haus dan “kesengsaraan” pada Ramadhan yang mulia ini. Rasulullah saw ada bersabda :
مَنْ لَمْ يَهْتَمْ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَلَيْسَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang tidak memiliki terhadap perkara (beban) umat Islam lainnya maka mereka bukan dari kalangan mereka”. (Thabrani)
Dan dari sifat peduli dan solidaritas yang dimiliki oleh seorang muslim adalah lahir sifat memberi dan berinfak, dengan memberi sebagian harta yang dikaruniakan Allah kepadanya. Dan di beberapa tempat dalam Al-Quran SWT mengaitkan makna memberi dan menahan diri dari kikir (assyuhhu) dengan kemenangan dan keberuntungan, seperti Firman Allah:
وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Barangsiapa yang mampu memelihara dirinya dari kekikiran maka termasuk orang-orang yang beruntung” (Al-Hasyr: 9)
Dan juga Firman Allah:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ . إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ
“Maka, bertaqwalah kepada Allah semampu kalian, dan dengarkan dan taatlah (kepada Allah) serta berinfaklah, karena itu lebih baik untuk jiwa kalian, dan Barangsiapa yang mampu memelihara dirinya dari kekikiran maka termasuk orang-orang yang beruntung. ika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. dan Allah Maha pembalas Jasa lagi Maha Penyantun” (At-Taghabun:16-17)
Sementara, kebalikan dari itu Alah SWT juga menisbatkan sifat kekikiran dengan kebinasaan (attahlukah). Maksudnya bila ada sifat kikir atau menahan diri dari infak maka Allah SWT memberi isyarat bahwa umat Islam akan menghampiri kebinasaan.
Allah berfirman:
وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Dan berinfaklah pada jalan Allah dan jangan kamu campakkan diri kamu dalam kebinasaan, dan hendaklah kamu berbuat kebajikan, sesungguhnya Allah menyayangi mereka yang berbuat kebajikan”. (Al-Baqoroh:195)
Karena Bulan Ramadhan adalah peduli dan solidaritas sehingga identik pula dengan bulan infak dan shadaqoh. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw sangat pemurah pada bulan Ramadhan sehingga disifatkan seperti angin yang terlepas. Oleh itu ambillah kesempatan pada bulan yang amalan dilipatgandakan pahalanya untuk berinfak khususnya pada hari sepuluh terakhir.