Sejak Pengangkatan Hingga Hijrah ke Habasyah

Share to :

Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah

Beberapa Fakta Sejarah

Pertama

alhikmah.ac.id – Wahyu pertama turun kepada Rasulullah saw. ketika usia beliau genap empat puluh tahun, tepat pada tanggal 17 Ramadhan. Dalam buku Shahih Bukhari, Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Aisyah r.a., “Mulanya Nabi saw. sering bermimpi melihat sinar, persis seperti sinar di waktu subuh. Kemudian mulailah beliau suka menyepi untuk beribadat, lalu menyendirilah beliau di Gua Hira’ beberapa waktu lamanya. Untuk itu beliau membawa bekal secukupnya. Setelah habis, beliau pun kembali ke rumah untuk mengambil tambahan. Demikianlah perbuatan itu berjalan sedemikian rupa, sehingga beliau menemukan kebenaran dan menerima kedatangan Malaikat Jibril yang mengatakan: Bacalah! Aku tidak bisa membaca, jawab Nabi. Kemudian Malaikat memeluknya erat-erat dan setelah melepaskannya berkatalah dia: Bacalah! Aku tidak bisa membaca, jawab Nabi untuk yang kedua kalinya. Malaikat kembali berbuat seperti semula. Setelah lepas, kembalilah dia mengatakan: Bacalah! Aku tidak dapat membaca, jawab Nabi untuk yang ketiga kalinya. Malaikat kembali lagi memeluknya erat-enat, kemudian melepaskannya lalu mengatakan: Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Menciptakan manusia dan segumpal darah. Bacalah nama Tuhanmu Yang Maha Mulia. Yang mengajarkan manusia dengan pena. Mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya.” (Al-Alaq: 1-50)

Setelah itu Nabi pun segera pulang ke rumah dengan perasaan khawatir dan badan gemetar, me­nemui isterinya, Khadijah binti khuailid. Sesampai­nya di rumah berkatalah beliau, “Selimuti aku!” Berulang kali kata-kata ini diucapkannya, sehingga beliau diselimuti oleh isterinya. Ia diam beberapa saat, dan sementara itu rasa takutnya sudah hilang. Diceritakannyalah pada Khadijah peristiwa yang telah terjadi atas dirinya di Gua Hira’. “Sungguh aku khawatir,” ujarnya.

Khadijah berkata, “Tidak usah khawatir, sekali-kali tidak usah khawatir. Demi Tuhan, Ia tidak akan menghina­kanmu selama-lamanya. Sebab engkau adalah orang yang selalu memelihara silaturrahmi, membantu orang yang tidak punya, menghormati tetamu dan menolong orang yang menderita dalam membela kebenaran.”

Kemudian diajaknya Nabi pergi menemui pamannya, Waraqah bin Naufal, seorang yang beragama Nasrani dan pernah menyalin kitab Injil berbahasa Ibrani. Beliau sudah tua dan tidak dapat melihat lagi. “Wahai Paman, dengarkan kemenakan­mu bercerita,” ujar Khadijah. “Wahai anak sauda­raku, apakah gerangan yang telah menimpa dirimu,” katanya balik bertanya yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. Nabi pun bercerita. Dan setelah Nabi bercerita, Waraqah berkata, “Itu malaikat yang pennah turun kepada Nabi Musa. Seandainya aku masih hidup dan masih kuat, pastilah aku akan menolong­mu, karena engkau akan diusir oleh kaummu nanti.”

Rasulullah saw. kemudian bertanya heran. “Akankah mereka mengusirku?” tanyanya. “Ya,” jawab Waraqah singkat. “Tak seorang pun yang mengalami apa yang kau alami ini, kecuali dimusuhi oleh orang­-orang jahil. Dan kalau saja aku ini masih hidup pada waktu engkau diusir nanti, pastilah aku menolongmu,” katanya meyakinkan.

Tidak berapa lama berselang, berpulanglah Waraqah ke hadirat Allah Swt. Sementara Nabi saw. menanti-nanti wahyu yang ternyata terputus beberapa lama.

Menurut riwayat Ibnu Hisyam dan Ibnu Ishak dikatakan, “Jibril mendatangi Nabi yang sedang tidur di Gua Hira’. Ia membawa sehelai kain sutera yang bertuliskan, lalu menyuruh Nabi membaca. “Maka saya pun membacanya,” kata Nabi, dan Jibril pun segera berlalu dan aku sendiri terba­ngun dari tidurku. “Apa yang saya baca sewaktu tidur tadi itu seakan-akan tertulis pula dalam hatiku,” kata Rasulullah saw. Selanjutnya aku keluar dan gua itu dan berjalan di atas gunung di mana gua itu terdapat. Tiba-tiba aku mendengar suara dari langit yang mengatakan, “Hai Muhammad, lihatlah ke angkasa, dan terlihatlah olehku Malaikat Jibril dalam rupa seorang laki-laki, dua kakinya bertengger di atas langit sambil menyerukan, Hai Muhammad, engkau adalah Rasulullah dan aku adalah Jibril.” Saya coba memalingkan wajah pandangan ke arah lain, tapi ke mana mataku memaٌndang maka di sana terlihat lagi Jibril. Aku tetap tidak berjalan maju atau mundur. Tiba-tiba aku sadar di sisiku hadir beberapa orang yang sengaja diutus Khadijah untuk mendapatkanku.”

Kedua

Orang yang pertama sekali beriman dan meme­luk agama Islam ialah isteri Nabi sendiri, Khadijah. Kemudian masuk Islam pula Ali, yang baru berumur sepuluh tahun. Seterusnya disusul oleh Zaid bin Haritsah (pembantu rumah tangga Nabi) dan Abu Bakar r.a. Dari kalangan hamba, yang pertama sekali memeluk Islam ialah Bilal bin Rabah Al-­Habsyi. Dengan urut-urutan di atas teranglah, Khadijah merupakan orang pertama mengimani dan memeluk agama Islam. Rasulullah mengerjakan shalat pertama kali pada hari Senin, berjamaah dengan Khadijah. Waktu itu shalat baru dua waktu, yaitu pagi dan petang dengan dua rakaat untuk masing-masing waktu.

Ketiga

Setelah yang pertama, terputuslah penurunan wahyu beberapa waktu. Dalam kaitan ini terdapat perbedaan pendapat tentang berapa lamanya masa kosong tersebut. Namun demikian kita berkesim­pulan, lama masa kosong itu maksimum tiga tahun dan minimum enam bulan. Yang terakhir inilah agak­nya yang lebih benar. Keterputusan wahyu menimbulkan kesedihan dan kegelisahan jiwa Nabi, karena ia menduga wahyu yang akan diturunkan kepadanya sudah habis, yang berarti pedoman hidup manusia hanya terdiri dari beberapa ayat saja, yaitu yang telah diturunkan kepadanya di Gua Hira’ saja. Akan tetapi kesedihan itu terobati dengan turunnya wahyu selanjutnya, sebagaimana diceritakan oleh Nabi sendiri dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Jabir bin Abdullah Al-Anshari..

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, Nabi bersabda, “Ketika aku berjalan-jalan, terdengar olehku suara dari langit lalu aku memandang ke arahnya. Aku melihat Malaikat Jibril yang pernah datang kepadaku di Gua Hira’. Ia duduk di atas Kursi antara bumi dan langit. Karena timbul rasa takut, aku pulang ke rumah dan kembali minta diselimuti kepada Khadijah. Ketika itulah Allah menurunkan wahyu-Nya. Wahai orang yang benselimut, bangunlah dan berikan kabar peningatan. Dan Tuhanmu, agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkan, dan perbuatan dosa tingalkan.”

Keempat

Setelah turun wahyu kedua mulailah Nabi me­ngajak orang memeluk agama Islam dengan caranya sendiri, selama tiga tahun penuh. Hasilnya ialah masuk Islamnya beberapa orang pria dan wanita yang dikenal sebagai orang-orang yang berpikiran waras dan berjiwa bersih.

Kelima

Allah swt. memerintahkan agar Nabi, dengan pengikut-pengikut yang sudah berjumlah tiga pulu­han, melakukan dakwah secara terang-terangan. Perintah ini diturunkan melalui wahyu Ilahi yang berbunyi, “Maka sampaikanlah secara terang-terangan apa-­apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (Al-Hijr: 94)

Keenam

Dengan demikian mulailah Nabi dan sahabat-­sahabatnya memasuki masa yang penuh rintangan, bahkan tekanan-tekanan. Sebabnya ialah karena kaum Musyrikin khawatir kalau Rasulullah saw. membongkar kebodohan-kebodohan mereka dan merendahkan Tuhan-tuhan mereka seraya mengajarkan agama baru yang menyerukan agar manusia mem­pertuhankan Allah Yang Esa.

Ketujuh

Dalam fase dakwah terang-terangan ini, Rasu­lullah saw. selalu mengadakan pertemuan rahasia dengan sahabat-sahabatnya. Pertemuan itu bertempat di rumah Al-Arqam bin Abu Arqam. Di forum itulah Nabi membacakan dan mengajarkan wahyu secara terpe­rinci sejauh yang telah diturunkan Allah swt.

Kedelapan

Pada saat itu Nabi juga diperintahkan untuk menyeru keluarga dekatnya sendiri, yang merupa­kan pentolan-pentolan suku Quraisy. Mereka diminta oleh Nabi untuk berkumpul lalu dinyatakan ajakan­ agar mereka masuk ke dalam agama Islam dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala-­berhala. Nabi menawarkan kepada mereka kabar tentang surga dan memperingatkan mereka akan ancaman neraka. Ini membuat marah Abu Lahab. Ia melontarkan kecaman, “Celaka engkau, hai Muhammad, untuk keperluan inikah engkau mengumpulkan kami di sini?”

Kesembilan

Orang-orang Quraisy berkeinginan sekali untuk menangkap Nabi, tetapi Abu Thalib selalu menghala­ngi dan tidak mau menyerahkan Nabi kepada mereka. Karena keadaan itu, maka Abu Thalib minta agar Nabi mengurangi intensitas dakwahnya. Nabi mengira pamannya sudah tidak sungguh-sungguh lagi membelanya, sehingga beliau mengemukakan, “Demi Allah, sekalipun mereka letakkan matahari di pundak kananku dan bulan di pundak kiriku agar aku tinggalkan dakwah ini, niscayalah aku tidak akan mening­galkannya, hingga agama ini tegak atau aku mati kane­nanya.”

Kesepuluh

Gangguan dan penyiksaan dari pihak Quraisy menjadi semakin meningkat, baik kepada pribadi Nabi sendiri maupun kepada para sahabatnya. Ada di antara mereka yang mati dan banyak pula yang di aniaya.

Kesebelas

Karena melihat keteguhan para sahabat Nabi memegang akidahnya, pihak Quraisy berusaha agar Nabi sendiri bersedia menerima tebusan harta berlimpah atau kedudukan yang tinggi untuk menghentikan dakwahnya. Tetapi taktik ini pun kandas lagi di hadapan Nabi.

Keduabelas

Karena siksaan yang diderita para sahabat semakin berat, maka Nabi pun memerintahkan mereka hijrah. “Kalau kalian hijrah ke Habasyah, tentulah siksaan ini terhindar. Di sana ada penguasa yang mau melindungi (memberi suaka). Lakukanlah langkah ini, hingga Allah memberi kela­pangan dan jalan keluar dari keadaan yang ada sekarang.”

Terjadilah hijrah yang pertama dengan dua belas orang pria dan empat orang wanita. Setelah mende­ngar masuk Islamnya Umar bin Khattab, mereka yang hijrah ke Habasyah kembali ke Makkah bersama-sama dengan orang-­orang yang sempat di Islamkan selama mengungsi itu. Taktik hijrah ke Habasyah ini agaknya berhasil baik dengan rombongan yang terdiri dari delapan puluh tiga orang pria dan sebelas orang wanita.

Ketigabelas

Orang-orang musyrik melakukan pemutusan hubungan dengan Nabi, Bani Hasyim, dan Bani Muthalib, baik hubungan ekonomi dan perdagangan maupun hubungan pergaulan dan pernikahan. Hal ini berlaku untuk jangka waktu yang tidak ditentu­kan. Dua tahun lebih Nabi, para sahabat, dan kelu­arga besarnya mengalami kesulitan akibat tindakan kalangan musyrikin itu. Namun keadaan ini berakhir juga berkat pertimbangan dan perembukan yang dilakukan oleh pemikir-pemikir Quraisy sendiri.

Beberapa Pelajaran

Pertama

Seorang yang ditakdirkan untuk menjadi penyeru kebaikan tentulah terlebih dahulu tumbuh di hatinya rasa tidak senang terhadap kesesatan dan kerusakan yang dibuat oleh masyarakatnya.

Kedua

Pada mulanya Nabi Muhammad saw. tidak per­nah mendambakan dan memimpikan akan menjadi Nabi, tetapi Allah menghendaki hal itu. Kesimpulan ini dibuktikan oleh keterkejutan beliau dengan turun­nya wahyu pertama, konsultasinya dengan Khadijah mengenai rahasia peristiwa yang dialaminya di Gua Hira, pendapat Waraqah bin Naufal, dan pernyataan Jibril tentang Nabi diangkat menjadi Rasulullah.

Ketiga

Mendakwahkan sesuatu yang asing dan belum terpikirkan oleh publik, haruslah terlebih dahulu dengan cara diam-diam (tatap muka) hingga menda­patkan pendukung yang bersedia berkorban sega­lanya untuk itu. Jika pemimpin dakwah mendapat rintangan, diambilalihlah tugas itu oleh pengikut-­pengikut setianya. Dengan demikian dapat terjamin keberlangsungan dakwah.

Keempat

Seruan Nabi saw. mengagetkan masyara­kat. Karena itu mereka bereaksi dan menentangnya mati-matian. Targetnya ialah menghabisi diri Nabi dan sahabat-sahabatnya. Hal ini merupakan sang­gahan historis terhadap propaganda kalangan nasionalis yang mengatakan, risalah (misi) Muhammad merupakan manifestasi citra dan cita bangsa Arab zaman itu. Pendapat serupa memang menggeli­kan dan hanya di dasarkan atas kegilaan akan ide nasionalis, sehingga menempatkan Islam sebagai sesuatu yang tumbuh dan kepribadian dan pemi­kiran bangsa Arab semata. Nyata sekali pandangan nasionalis oriented ini mengingkari kenabian Rasu­lullah dan menolak mentah-mentah risalah Islam, walaupun kebenarannya telah disanggah dan diba­talkan oleh fakta sejarah.

Kelima

Ketetapan dan keyakinan orang-orang yang telah beriman, walaupun mereka harus merasakan bermacam-macam siksaan, semua itu merupakan bukti kebenaran iman dan ketulusan hati mereka untuk memegang teguh aqidah dengan kebesaran jiwanya. Dalam keyakinan itu mereka menemukan kesenangan, kejernihan jiwa dan akal yang jauh lebih hebat ketimbang azab dan siksa yang ditujukan kepadanya.

Bagi orang mukmin yang benar-benar beriman dan bagi dai yang betul-betul ikhlas, rohanilah yang lebih diutamakan ketimbang jasad. Mereka lebih mementingkan tuntutan-tuntutan rohaniahnya daripada kesenangan dan kenikmatan fisik mate­rial. Inilah rahasia suksesnya dakwah kaum mukminin itu. Dan, dengan itul pulalah mereka berhasil membebaskan masyarakat manusia dari kegelapan dan kebodohan.

Keenam

Pernyataan Nabi yang disampaikan melalui pamannya dan penolakan terhadap tawaran harta dan kedudukan yang ditawarkan oleh tokoh-tokoh Quraisy, kedua-duanya mengandung arti dan bukti kebenaran risalah dan kesungguhan Nabi memenuhi keperluan manusia. Oleh karena itu seharusnya seorang dai bersungguh-sungguh untuk tetap men­jalankan dakwahnya, sekalipun ia dimusuhi oleh pecinta-pecinta kebatilan dan dibujuk rayu oleh mereka itu dengan harta benda, pangkat, serta kedudukan. Bagi sang dai, penderitaan dalam dakwah haruslah dianggap sebagai kenikmatan dan pelajaran. Ridha Ilahi janganlah ditukarkan dengan kemegahan duniawi.

Ketujuh

Seorang pemimpin dakwah seyogyanya selalu mengadakan pertemuan rutin dengan pengikut­-pengikutnya. Kalau bisa dilakukan secara terbuka, terbukalah. Jika tidak bisa, maka lakukanlah pertemuan dengan tertutup. Isi setiap pertemuan itu dengan pelajaran-pelajaran yang menambah keyakinan mereka akan dakwahnya. Ajarkan kepada­nya taktik, strategi, dan etika dakwah.

Kedelapan

Seorang dai harus memperhatikan karib kerabatnya dengan menyampaikan ajakan-ajakan untuk perbaikan. Jika mereka menolak, maka serah­kanlah kepada Allah. Sebab, orang lain pun akan tahu buruk atau baiknya mereka yang menolak itu.

Kesembilan

Seorang dai haruslah membela jiwa, kepen­tingan, dan akidah para pengikutnya. Ia harus memberikan alternatif yang tepat guna menyelamat­kan mereka. Sebab keselamatan pengikut-pengikut itu berarti jaminan keberlangsungan dakwah itu sendiri.

Kesepuluh

Dipilihnya tempat hijrah pertama dan kedua, negeri Habasyah, menunjukkan adanya kaitan antara agama dan penganut agama. Kaitan itu jauh lebih kuat ketimbang kaitannya dengan masyarakat yang tidak beragama atau yang mengabdikan diri kepada benda (berhala). Agama-agama samawi itu sebe­narnya bersatu tujuan, terutama tujuan sosialnya, dan bersamaan pula keamanannya, yakni iman kepa­da Allah, Rasul-rasul dan Hari Akhirat. Inilah yang membuat jaringan keakraban antara sesama penga­nut agama samawi yang asli itu jauh lebih kuat, ketimbang ikatan atau hubungan kefamilian, darah, atau daerah antara mereka dengan penganut-penga­nut ajaran keberhalaan dan dengan orang-orang yang kufur terhadap ajaran Allah swt.

Kesebelas

Pecinta-pecinta kebathilan tidak akan mudah menyerah di hadapan pembela-pembela kebenaran (haq). Jika mereka itu gagal dengan satu cara untuk melawan dan melenyapkan dakwah yang haq, akan dicari cara-cara yang lain. Ini memang sudah menjadi hukum kehidupan dan merupakan ujian apakah pembela-pembela kebenaran itu cukup mampu dan tangguh untuk mengunggulkan yang haq dan memusnahkan yang bathil.(dkwt)

download

Picture of admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter