Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah
alhikmah.ac.id – Di atas telah kami sebutkan bahwa yang tersisa dari wilayah Palestina yang dikuasai orang Arab (Palestina) paska perang tahun 1948 sekitar 23% dari total luas tanah suci Palestina. Wilayah ini terbagi menjadi dua bagian: pertama disebut wilayah Tepi Barat sungai Yordan yang luasnya 5878 kilometer persegi (21,77%) dari total luas tanah Palestina, dan kedua disebut wilayah Jalur Gaza yang luasnya 363 kilometer persegi (1,33%) dari total luas tanah Palestina. Sedianya negara Palestina akan didirikan di kedua wilayah ini menurut keputusan Liga Arab dan PBB. Namun pihak Yordania menggabungkan wilayah Tepi Barat ke dalam wilayahnya pada tahun 1950. Sementara Mesir menjadikan wilayah Jalur Gaza di bawah kuasa administratifnya secara langsung tanpa menggabungkan dengan wilayahnya. Kondisi ini terus berlangsung sampai pasukan Zionis Israel melakukan aksi pendudukan atas wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza pada Juni 1967.
Pada tahun 1948, Jumlah penduduk Tepi Barat diperkirakan sekitar 400 ribu jiwa. Dan akibat pengusiran yang dilakukan Zionis Israel terhadap orang-orang Palestina dalam perang tahun 1948, maka sebanyak 280 ribu jiwa lari ke Tepi Barat dan menetap di 21 kamp pengungsi dan sebagiannya tersebar di kota-kota dan desa-desa Tepi Barat. Di pihak lain, jumlah penduduk Jalur Gaza, menjelang tragedi tahun 1948, sekitar 75 ribu jiwa. Paska tragedi ini jumlah penduduk Jalur Gaza menjadi 200 ribu jiwa pada tahun 1949, dan pada tahun 1950 jumlahnya sekitar 288 ribu jiwa. Para pengungsi Palestina ’48 tinggal di 8 kamp pengungsi Jalur Gaza juga di kota-kota dan desa-desa Jalur Gaza. Bisa dibilang 69% penduduk Jalur Gaza adalah para pengungsi Palestina ’48. Namun jumlah mereka mengalami penurunan akibat eksodus ke luar. Pada tahun 1967 jumlah pengungsi Palestina di Jalur Gaza sekitar 59% dari total jumlah penduduknya Jalur Gaza.120
Sumber-sumber ekonomi di Tepi Barat dan Jalur Gaza tidak cukup untuk menanggung pertambahan jumlah penduduk yang tiba-tiba ini. Demikian juga kondisi ekonomi Yordania dan Mesir tidak memungkinkan untuk menyediakan infrastruktur yang mampu menyerap SDM dan potensi para pengungsi Palestina. Ratusan ribu pengungsi Palestina hidup dalam kenestapaan dan penderitaan yang tidak bisa digambarkan, mereka tinggal di kemah-kemah selama bertahun-tahun, bahkan sebagian ada yang tinggal di gua-gua, semua derita terkumpul dalam satu tenda, bila musim panas tiba serasa terpanggang oleh panas dan bila musim dingin tiba disergap oleh udara dingin yang menusuk-nusuk daging dan tulang, diguyur hujan dan sakitnya dalam pembuangan serta ditambah hilangnya pekerjaan dan sumber penghidupan.
Meski demikian, para pengungsi Palestina di Jalur Gaza menolak dengan segenap tekad rencana penempatan dan pemukiman mereka di tempat lain di luar Palestina. Hati mereka telah dan akan terus terikat untuk kembali ke tanah dan kampung halaman mereka yang terampas. Meski kerasnya kondisi yang dialami, orang-orang Palestina tetap menunjukkan keinginan mereka yang besar untuk belajar dan meningkatkan kualitas akademik. Dalam beberapa tahun saja tingkat orang Palestina yang berpendidikan lebih baik di tingkat regional Arab bahkan menyaingi tingkat pendidikan di negara-negara Eropa.
Di bawah tekanan kondisi ini dan kebutuhan negara-negara teluk akan kader-kader berpendidikan dan tangan-tangan terampil, bersamaan dengan munculnya minyak dan kebangkitan ekonomi di negara-negara teluk, maka banyak orang-orang Palestina yang pindah ke negara-negara teluk untuk memperbaiki kondisi mereka dan turut memberikan saham dalam pertumbuhan negara-negara tersebut, tanpa harus melupakan bahwa kerja itu demi persoalan mereka yang membuat mereka pergi dari Palestina. Oleh karena itu, jumlah penduduk di Tepi Barat dan Jalur Gaza pada tahun 50-an dan 60-an tidak merefleksikan pertumbuhan alami orang-orang Palestina akibat hijrahnya puluhan ribu orang ke timur Yordania dan negara-negara teluk.
Pada tahun 1966 (sesaat menjelang perang tahun 1967), jumlah orang Palestina di Tepi Barat 830 ribu jiwa dan di Jalur Gaza 455 ribu jiwa. Namun setelah pendudukan Zionis Israel atas Tepi Barat dan Jalur Gaza pada Juni 1967, jumlah orang Palestina di Tepi Barat (berdasarkan hitungan pihak Zionis Israel) sekitar 665 ribu jiwa (66 ribu di antaranya warga al Quds Timur) dan di Jalur Gaza 354 ribu jiwa. Ini artinya apabila diperhatikan pertambahan penduduk alami selama setahun (40 ribu jiwa), maka jumlah orang-orang Palestina yang terusir atau meninggalkan Tepi Barat dan Jalur Gaza akibat perang tahun 1967 mencapai lebih 300 ribu jiwa. Mereka semua dilarang (diharamkan) kembali ke Palestina, dan bergabung dengan saudara-saudara mereka yang telah bekerja di negara-negara teluk, di Yordania atau yang lainnya sehingga menambah jumlah pengungsi Palestina yang ada di luar Palestina.121
Di bawah penjajah Israel, rezim Zionis sengaja melaksanakan rencana-rencana pengosongan wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza dari penduduknya secara sistematis dan bertahap. Hal itu direalisasikan dengan menempatkan penduduk di bawah kondisi keamanan, ekonomi dan kehidupan yang tidak bisa mereka tanggung. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan ini, pihak penjajah Zionis Israel mengadopsi kebijakan-kebijakan berikut:
- Membuat teror, menebar ruh ketakutan dan kecemasan di tengah-tengah penduduk melalui pos-pos perlintasan militer, penyerbuan-penyerbuan di malam hari, operasi-operasi pembunuhan dan penyiksaan.
- Menjepit penduduk secara ekonomi, politik, social dan kejiwaan.
- Dengan sengaja merendahkan penduduk dan menghinakan mereka serta menebarkan ruh keputusasaan di antara mereka. Sampai terkenal bahwa serdadu Zionis Israel meminta orang umum di jalan untuk mengikatkan tali sepatu serdadu atau menirukan suara-suara binatang semisal anjing bahkan sampai menyuruhnya untuk mencium dubur keledai dan lain sebagainya.
- Menebar kerusakan dan narkoba di tengah-tengah penduduk, terutama di kalangan para pemuda, serta mempermudah jalan-jalan menuju perbuatan zina, asusila dan pelacuran.
- Penggusuran lahan-lahan warga yang bagus untuk pertanian dan pelarangan terhadap orang-orang Palestina untuk mendapatkan hak mereka atas air untuk mengairi lahan-lahan pertanian mereka, membanjiri pasar-pasar Palestina dengan hasil-hasil pertanian dan industri Israel yang murah guna melumpuhkan ekonomi domestik Palestina, untuk mencegah orang-orang Palestina memproduksi dan bersandar di atas kakinya sendiri, menjadikan mereka sebagai bangsa yang bergantung kepada kerja nomor dua dan sampingan yang disediakan oleh Zionis Israel. Sehingga kehidupan para pekerja Palestina di bawah “kemurahan” keputusan Zionis Israel dan menjadi alat murahan guna mensukseskan proyek-proyek dan instansi-instansi Zionis Israel.
- Pembangunan permukiman-permukiman Yahudi, mendatangkan puluhan ribu kaum pemukim pendatang dan mempersenjatai mereka, memutus jalur yang menghubungkan antara Tepi Barat dan Jalur Gaza serta mencabik-cabiknya.
- Mengadopsi politik pembodohan dengan menyerang kampus-kampus Palestina dan menutupnya, mereduksi dan memangkas kesempatan kerja bagi lulusan sekolah sehingga belajar menjadi tidak memiliki tujuan praktis.
Untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan ini pihak penjajah Zionis Israel mengeluarkan instruksi militer nomor 2 pada Juni 1967. Instruksi ini intinya adalah pemusatan kekuasaan di tangan penguasa militer. Pada ayat 3a dari isi instruksi ini disebutkan, “Semua kekuasaan hokum, undang-undang, penunjukan dan pengelolaan berkaitan dengan kawasan atau penduduknya, dari sekarang dan seterusnya, dibebankan pada saya sendiri secara pribadi, atau kepada siapa saja yang saya tunjuk untuk tujuan ini, atau siapa saja yang bertugas menggantikan saya.” Zionis Israel tidak mempedulikan undang-undang internasional yang melarang membuat perubahan di wilayah-wilayah terjajah, mereka terus gencar melakukan siasat yahudisasi.122 Seorang koresponden harian Inggris Guardian telah menulis tentang orang-orang Palestina Jalur Gaza dan Tepi Barat, “Sejak tahun mereka tidak pernah menikmati hak-haknya sama sekali, tidak ada lembaga apapun yang mewakilinya, juga tidak ada negara yang memungkinkan mereka mengadukan nasib dan penderitaannya, tidak ada pihak tertentu yang melindungi mereka. Semua gerakan dan aktivitas mereka harus tunduk kepada kekuasaan represif penguasa militer penjajah Israel. Yang serban memungkinkan untuk menahan mereka, menyekap atau mengusirnya tanpa ada campur tangan pihak manapun yang mampu. Juga boleh menghancurkan rumah-rumah mereka, menghancurkan fasilitas-fasilitas hak milik mereka, menggusur tanah dan lahannya, membakar hasil pertanian dan membongkar tanaman mereka.”123
Siasat-siasat politik ini tidak bisa sukses secara umum dalam membungkam rakyat dari menuntut hak mereka dan teguh mempertahankan tanahnya. Bahkan sebaliknya, 20 tahun setelah mengalami penderitaan meletuslah intifadhah besar di Tepi Barat pada 8 Desember 1987, yang menunjukkan sebuah fenomena agung tentang semangat keteguhan dan perlawanan dalam sejarah modern. Meski demikian, Zionis Israel berhasil merealisasikan sebagian proyek mereka. Di antaranya adalah terusirnya sekitar 220 ribu jiwa dari Tepi Barat dan Jalur Gaza selama tahun 1967 – 1985 untuk menuntut ilmu, mencari rezki atau mencari hidup yang lebih terhormat, yang sebagian besarnya adalah pemuda. Ditambah sekitar 20 ribu pemuda terpaksa meninggalkan Palestina setiap tahunnya untuk mencari kerja.124 Zionis Israel berhasil melatih ratusan antek yang telah dirusak jiwa mereka dengan pelacuran dan obat-obat terlarang, muncullah berbagai bentuk penyimpangan dan kerusakan, terutama pada awal-awal tahun 70-an. Namun kemunculan shahwah islamiyah (kebangkitan Islam) dan penyebarannya telah berhasil menghadapi fenomena ini dan membatasinya, yang kemudian dihancurkan selama intifadhah.
Data yang dibuat Pusat Data dan Statistik pemerintah Palestina menunjukkan bahwa data awal pada tahun 1997 mengenai jumlah penduduk di Tepi Barat (termasuk di al Quds atau Jerusalem) adalah satu juta 870 ribu jiwa. Sementara di Jalur Gaza satu juta 21 ribu jiwa. Berdasarkan tingkat pertumbuhan alami (normal) maka jumlah penduduk di Jalur Gaza dan Tepi Barat pada tahun 2001 adalah 3 juta 371 jiwa. Oleh karena tingkat pertambahan penduduk yang tinggi maka masyarakat Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza merupakan masyarakat pemuda, di mana jumlah anak-anak (di bawah 15 tahun) mencapai 50% dari total jumlah penduduk. Meskipun ini menggagalkan proyek-proyek pengusiran dan pengosongan yang dilakukan penjajah Zionis Israel dan hampir menghancurkan proyek mereka untuk meyahudikan tanah suci, namun keluarga-keluarga Palestina menanggung beban ekonomi besar, yang pada dasarnya mereka mengalami kesulitan yang luar biasa besarnya.125
Berikut adalah daftar data penduduk Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza berdasarkan pendataan terakhir yang dilakukan pemerintah Palestina pada tahun 1997. Ditambah tingkat pertumbuhan alami penduduk Palestina yaitu sekitar 3,4% per tahun, bersama dengan prediksi jumlah penduduk Palestina hingga tahun 2005.126
Tahun | 2000 | 2001 | 2002 | 2003 | 2005 |
Tepi Barat | 2.137.210 | 2.203.672 | 2.278.596 | 2.356.606 | 2.519.004 |
Jalur Gaza | 1.127.723 | 1.167.099 | 1.206.781 | 1.247.811 | 1.334.105 |
Total | 3.266.933 | 3.370.771 | 3.485.377 | 3.604.417 | 3.853.109 |
Pada awal-awal aksinya, penjajah Zionis Israel memasukkan Jerusalem Timur ke dalam kekuasaannya sehingga warga al Quds (Jerusalem) secara resmi (menurut penjajah Israel) bagian dari entitas Zionis Israel. Demikian juga telah terjadi perluasan wilayah geografis al Quds hingga meliputi 20% wilayah Tepi Barat. Ini diikuti rezim penjajah Zionis Israel dengan menguasai lagi wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza melalui rencana strategis yang terprogram, sehingga bersamaan dengan akhir tahun 1999 Zionis Israel berhasil menguasai sekitar 62,7% wilayah Tepi Barat dan 43% dari wilayah Jalur Gaza. Di Tepi Barat mereka telah membangun lebih 160 kompleks koloni permukiman Yahudi yang dihuni sekitar 200 ribu pemukim Yahudi. Mereka juga telah membangun 16 (sekarang 21) kompleks koloni permukiman Yahudi yang dihuni sekitar 5 ribu pemukim Yahudi. Target dan tujuan dari siasat-siasat ini adalah yahudisasi tanah dan penduduk Palestina secara historis, dan menguasai semua wilayah yang memiliki urgensi strategis dan keamanan guna mengukuhkan penguasaan militer atas Tepi Barat dan Jalur Gaza, serta menggenjet kota-kota dan desa-desa Palestina dengan sabuk koloni permukiman. Sehingga menjadi pulau-pulau kecil terisolasi yang kehilangan kesatuan dan identitas bersamanya. Juga pengokohan realita baru di atas tanah Palestina yang menjadi sangat tidak mungkin merubahnya dengan kompromi politik apapun di masa yang ada datang. Demikianlah, di saat jumlah penduduk di Tepi Barat dan Jalur Gaza bertambah berlipat-lipat, serta bertambah banyak kebutuhan mereka, rezim penjajah Zionis Israel merampas tanah dan harta milik mereka untuk menambah penderitaan dan sakit mereka.
Di pihak lain, penguasa militer Zionis Israel telah menguasai seluruh sumber air di Tepi Barat, melarang penggalian sumur-sumur baru, atau memperdalam sumur-sumur lama dan membatasi bagian air bagi orang-orang Palestina. Pada tahun 1990 misalnya (contoh yang mewakili tahun-tahun yang lainnya), orang-orang Palestina hanya diberi jatah 17% air tanah di wilayah mereka di Tepi Barat sementara 83% sisanya digunakan di dalam wilayah entitas Zionis Israel atau di permukiman-permukiman Yahudi di Tepi Barat. Orang Palestina juga dilarang mengairi lahan pertanian lebih dari 6% dari tanah mereka, sementara pemukim Yahudi boleh mengairi 69% dari tanah yang mereka kuasai. Setiap orang Palestina hanya dibatasi 127 m3 setiap tahunnya sementara bagi pemukim Yahudi bisa mendapatkan 1600 m3, artinya 12 kali lipat dari orang Palestina.127 Meski telah ada perjanjian kompromi damai (Oslo 1993) dan adanya pemerintahan Palestina di sejumlah wilayah Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza, namun orang-orang Zionis Israel tetap dengan “hak mereka” melarang penggalian apapun buat sumur tanpa izin dari mereka. Menteri pengairan Palestina Nabiel Syarif mengakui pihaknya pernah melakukan pertemuan satu meja dengan perunding Zionis Israel selama 3 tahun untuk menggali satu sumur dekat Jenin, namun dia tidak mendapatkan izin untuk itu!!128
Begitulah, semuanya menjadi mustahil bagi orang-orang Palestina untuk menghasilkan dan mengembangkan tanah-tanah pertanian mereka secara intensif. Dalam waktu yang sama rezim penjajah Zionis Israel membanjiri Palestina dengan produk-produk pertanian murah sementara mereka melarang orang-orang menjual keluar (ke wilayah Israel) hasil pertanian mereka dan mengenakan produk pertanian Palestina dengan pajak yang sangat tinggi. Dengan begitu biaya produksi pertanian Palestina menjadi sangat tinggi dan tidak efisien secara ekonomi. Instansi-instansi Zionis Israel terutama bidang konstruksi membuka kesempatan kerja bagi orang-orang Palestina. Maka dengan terpaksa puluhan ribu orang Palestina meninggalkan pertanian dan bekerja sebagai tenaga rendahan untuk ekonomi Israel.
Sekitar 100 – 120 ribu pekerja Palestina bekerja di wilayah Palestina terjajah 1948 atau yang disebut “Israel”, dengan mendapatkan gaji sepertiga atau seperlima dari gaji pekerja Yahudi, karena keistimewaan yang dimiliki pekerja Yahudi. Banyak calo Yahudi yang menggoda wanita dan anak-anak agar meninggalkan rumah dan sekolah mereka demi mendapatkan tenaga kerja yang murah. Hal ini sudah barang tentu memiliki dampak social yang negative sangat besar. Kebanyakan dari mereka bekerja dengan gaji harian, yang mungkin saja dipecat dari pekerjaannya setiap saat. Mereka tidak memiliki jaminan social dan kesehatan, mereka juga akan kehilangan pekerjaan mereka manakala wilayah Palestina ’48 ditutup dengan alasan keamanan atau karena sebab-sebab aksi serangan berani mati maupun karena moment-moment nasional.., sampai akhirnya dibuka kembali buat mereka. Demikianlah maka pasar “Israel” telah menguasai sekitar 39% tangan-tangan pekerja Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza, dan ini menjadikan kehidupan ribuan orang beserta ratusan ribu orang yang ditanggungnya termasuk istri dan anak-anak mereka ter sandera oleh pihak Zionis Israel.129 Meski angka ini berkurang saat meletus intifadhah tahun 1987 – 1993 menjadi 12,3%, namun angka itu kembali meningkat setelah perjanjian Oslo tahun 1993. Di pihak lain, rakyat Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza dilanda angka pengangguran sangat tinggi yang rata-ratanya selama tahun-tahun pendudukan lebih 20%. Pada tahun 1997 tingkat angka pengangguran mencapai 31,5% di antaranya 18,2 di Tepi Barat dan 13,6% di Jalur Gaza. Dan sampai akhir tahun 1998 masih ada 20% keluarga Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza hidup di bawah garis kemiskinan.130
Penjajah Zionis Israel terus menguasai ekonomi Palestina hingga menjadikannya kelompok marjinal dan mengekor ekonomi Israel. Kesepakatan kompromi damai tidak banyak bisa membebaskan pengepungan ini, karena masih 90% perdagangan luar negeri berada di bawah keinginan, syarat dan ikatan Zionis Israel ditambah lebih 80% sumber air Palestina yang dikuasai penjajah, mereka menguasai apa saja yang keluar masuk pelabuhan, bandara dan perbatasan.
Sejak pendudukan Zionis Israel, institusi-institusi pendidikan berada di bawah kendali penguasa militer, meski tetap dibiarkan system pendidikan Yordania (di Tepi Barat) dan Mesir (di Jalur Gaza) secara formalistic. Maka wewenang untuk menunjuk para guru atau memecat nya ada pada pihak penguasa militer Israel. Hal yang sama juga pada penetapan kurikulum, pengujian buku-buku sekolah, penetapan program-program baru atau pembatalan program yang ada serta pembangunan sekolah-sekolah baru. Berbagai bidang terabaikan dan tidak mendapatkan perhatian sama sekali dengan tidak adanya kepada perpustakaan dan teknik yang teruji sejak tahun 1967. Berbagai kurikulum dihapuskan dari banyak sekolah yang ada, di antaranya adalah pendidikan jasmani, keterampilan dan latihan rumah. Jumlah sekolah negeri terus berkurang dari 884 pada tahun 1967 menjadi 790 pada tahun 1979 meskipun jumlah penduduk terus bertambah. Ditetapkan daftar besar mengenai buku-buku yang dilarang di sekolah yang jumlahnya mencapai 1600 pada tahun 1986, terutama yang berkaitan dengan sejarah Palestina atau peradabannya. Juga dilarang pengajaran buku-buku metodologi yang menjadi kurikulum di sekolah-sekolah. Di antaranya adalah pelarangan penggunaan 9 dari 27 buku di tingkat sekolah dasar, 8 dari 20 buku tingkat menengah pertama di sekolah-sekolah UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees, sebuah lembaga bantuan PBB untuk pengungsi Palestina, ptj). Berdasarkan instruksi militer nomor 854 yang dikeluarkan pada 6 Juli 1980, diberikan kepada komandan militer Zionis Israel untuk melakukan intervensi di kampus-kampus dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi, baik berkenaan dengan system, metode maupun manajemen sarana pendidikan dan pengajaran. Sehingga tidak ada bedanya dengan sekolah-sekolah dasar dari sisi control dan pengawasan militer.131
Perlu menjadi catatan bahwa semua langkah-langkah dan kebijakan penjajah Zionis Israel tidak pernah membuat putra-putra Palestina abai begitu saja terhadap kegandrungan mereka kepada studi dan belajar. Justru itu menambah tekad mereka untuk belajar yang disertai dengan perjuangan politik, jihad, mogok dan demo-demo agar proses belajar mengajar dapat terus berjalan, bahkan mengalami pertumbuhan meski di bawah penjajahan. Pada tahun ajaran 1997/1998 jumlah sekolah negeri mencapai 1175, milik UNRWA mencapai 265 dan sekolah khusus mencapai 171 buah, ditambah 789 buah tamah kanak-kanak. Orang-orang Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza juga berhasil mendirikan 8 perguruan tinggi (6 di Tepi Barat dan 2 di Jalur Gaza). Pada tahun akademik 1992/1993 kampus-kampus ini menampung 20500 mahasiswa, meski beberapa kali mendapatkan ancaman penutupan. Seperti Universitas Beer Zeit, kampus ini ditutup selama 5 bulan pada tahun 1982, Universitas an Najah ditutup selama 4 bulan pada tahun 1983 dan selama 4 bulan lagi pada tahun 1984 kemudian 2 bulan lagi pada tahun 1985 dan terus bertambah masa penutupan selama intifadhah berlangsung sejak tahun 1987. Tekanan juga terus berlangsung terhadap para mahasiswa dan dosen dengan melakukan penangkapan terhadap mereka, pengawasan sangat ketat terhadap anggaran dan sumber dana pendidikan, pelarangan terhadap akademisi dari luar yang memiliki kemampuan mengajar di kampus-kampus Palestina kecuali dengan batasan-batasan yang membuat sesuatunya serba tidak mungkin (mustahil). Pada tahun 1985 pihak penjajah Zionis Israel melarang 39 dosen Palestina memberikan kuliah di Universitas Islam Gaza, dengan dalih mereka orang Palestina dari luar. Hal ini mengakibatkan pengusiran para dosen, termasuk rector pengganti yang kala itu dijabat oleh Dr. Muhammad Sheyam. Di samping kampus-kampus tersebut masih ada lagi 16 institut (kuliah masyarakat), 14 di antaranya di Tepi Barat dan 2 di Jalur Gaza.132
Sebagaimana bidang pendidikan, bidang kesehatan juga mengalami pengabaian dan terlantar di bawah penjajah Israel. Meski jumlah penduduk terus bertambah, namun jumlah rumah sakit pemerintah menurun dari 14 buah pada tahun 1967 menjadi 10 buah pada tahun 1993. Sementara anggaran untuk pelayanan kesehatan kurang dari 2% bila dibandingkan dengan anggaran kesehatan pihak Zionis Israel. Untuk sampai pada batas minimal, anggaran kesehatan Palestina ini harus ditingkatkan sampai 15 kali lipat. Anggaran bidang kesehatan pada tahun 1990 di Tepi Barat hanya 10 juta dolar dan itu hanya sebanding dengan 15% dari anggaran satu rumah sakit di Tel Aviv.133
Pihak penguasa militer penjajah Zionis Israel sengaja tidak menciptakan perkembangan apapun dalam peralatan perlengkapan dan sarana medis atau pelatihan dan memasukkan paramedic yang memiliki keahlian. Sumber-sumber lembaga kesehatan internasional WHO menyebut peralatan dan sarana medis yang ada sudah tidak layak pakai, tidak lebih ungkapan yang patut untuk menyebutnya kecuali sebagai barang peninggalan (bekas).134
Terjadi perbaikan dalam pelayanan kesehatan setelah pemerintah otoritas Palestina berkuasa di beberapa wilayah di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Bersambung…
___
Referensi: Dr. Muhsin Muhammad Shaleh, Warsito, Lc (pent), Ardhu Filistin wa Sya’buha (Tanah Palestina dan Rakyatnya), Seri Kajian Sistematis tentang Issu Palestina (1).
___
Catatan kaki:
120 Lihat al mausu’ah al filistiniyah 2/559 – 560, George Qashifi, al Rihan al Dimografi fi Filistin (Beirut: Muasasah al Dirasat al Filistiniyah, 1990) hlm. 13.
121 Ibid. hlm. 559.
122 Don Perest, The West Bank: History, Society and Economiy (Boulder: West View, 1986) halm.80.
123 Devid Glimor, al Matrudun, terjemahan dalam bahasa Arab oleh Syakir Ibrahim (Kairo: Madbuli, 1993) hlm. 141.
124 Harian al Anba’ edisi 3 Februari 1986.
125 Harian al Itihad, Uni Emirat Arab, ediri 8 November 1999. Perkiraan penduduk pada tahun 2001 hampir persis dengan yang dinyatakan Hasan Abu Lubda, direktur Pusat Data dan Statistik Palestina, bahwa pada akhir September 2001 jumlah penduduk Tepi Barat 2 juta 210 ribu jiwa sedang jumlah penduduk Jalur Gaza 1 juta 120 ribu. Lihat harian al Khalij edisi 29 September 2001.
126 Angka 3,4% adalah prosentase pertambahan umum alami penduduk Palestina, bagaiamana pun juga itu adalah angka pertambaha perkiraan yang mendekati kebenaran. Namun perlu disebutkan di sini bahwa angka ini termasuk angka yang rendah bagi pertambahan penduduk Palestina di Jalur Gaza secara khusus, yang merupakan daerah yang paling banyak angka pertumbuhannya di dunia yang meningkat angka pertambahannya hingga 4% setiap tahun. Berdasarkan perkiraan pertambahan 4%, maka jumlah penduduk Palestina di Jalur Gaza tahun 2001 adalah 1.194.426 dan pada tahun 2003 adalah 1.291.891, pada tahun 2005 menjadi 1.397.309 jiwa, wallahu a’lam.
127 Maha Abdul Hadi, al Audha’ al Iqtishadiyah wa al Furash al Mutahah: al Audha’ al Iqtishadiyah wal Insaniyah fii al Dhifah al Gharbiyah wa Qutha’ Ghaza (Aman: Markaz Dirasat al Syarq al Awsath, 1999) hlm. 14 – 16.
128 Harian al Khalij edisi 3 Maret 2000.
129 Lihat: Nabiel al Sahli, “Sukan al Dhifah wal Qutha’ di harian al Syarq al Awsath edisi 14 Agustus 1996.
130 Lihat harian al Khalij edisi 10 Maret 2001 dan makalah Abdul Ghani al Syami “Taqrir Ihshai Filistini Rasmi” di al Audah edisi September 1998.
131 Seputar kondisi pengajaran di Tepi Barat dan Jalur Gaza, lihat: Muhammad Halaj, al Tarbiyah wa al Ta’lim al Filistiniyani fi al Aradhi al Muhtalah dan Abdul Fatah al Jayusi, al Shumud wa al Tahaddi (Aman: Darul Karmel, 1988), hlm. 84 – 88 dan 103 – 106. Harian al Ra’yu al ‘Am, Kuwait edisi 14 Juli 1986.
132 Lihat al Audah edisi September 1998 dan harian al Ra’yu al ‘Am edisi 15 Juli 1986.
133 Samir Yusuf, “al Wadh’ al Shihi fi al Dhifah al Gharbiyah wa al Qutha’ Karitsatun Haqiqiyah, di harian al Dustur edisi 31 Oktober 1993.
134 Al Jayusi, Ibid. hlm. 112 – 113. (dkwt)