Desingan peluru dan ledakan bom berpadu memainkan iramanya. Langit Surabaya yang sebelumnya cerah berubah warna menjadi kelabu karena tertutup asap hitam yang membumbung. Sahutan takbir menggentarkan jiwa-jiwa pengecut yang bersembunyi di balik gundukan karung jerami. Jiwa-jiwa gagah berseru menyambut datangnya maut demi tegaknya satu kata. Merdeka.
Orasi Bung Tomo berhasil membakar semangat para pahlawan. Menggetarkan jiwa-jiwa yang rindu kebebasan. Menggemakan makna dari hidup tanpa penindasan. Timbul satu pertanyaan, hal apa yang membuat jiwa seseorang tergugah untuk mengorbankan nyawa terlepas dari motif merdeka itu sendiri?
Orasi. Seni memainkan untaian kata yang dirangkai dan dipadukan dengan intonasi tepat pada kalimat tertentu disertai irama tubuh yang membuat kata seakan hidup. Membakar semangat dari jiwa-jiwa semu. Menjadi senjata ampuh dikala peluru tidak mampu membunuh semangat mengebu.
Sejarah orasi tidak lepas dari pengaruh ajaran agama yang pada saat itu dilakukan oleh pengikut mahzab Hambali pada abad ke-10 dan ke-11. Seni berorasi menjadi elemen substansial dalam pengembangan keahlian ceramah dan khutbah. Selain untuk memudahkan komunikan menerima pesan yang disampaikan secara baik, seni memainkan peranan penting untuk menarik simpati dan peningkatkan antusiasme komunikan dalam menyerap kaidah-kaidah yang disampaikan secara tersirat dan berfungsi sebagai motor nonvisual penggerak massa. Menurut pandangan personal, ada tiga faktor yang menentukan keberhasilan suatu orasi:
Intonasi (intonation)
Sebuah suara terdengar sendu tanpa hadirnya nada. Sebuah orasi terdengar jenuh tanpa adanya seruan yang menggema. Tapi inilah seni. Semua hal dipadukan demi terciptanya serasi dan harmoni. Sebuah quote dari tokoh ternama akan terdengar biasa saat tertutur dengan nada yang luntur, namun sebuah quote dari orang biasa terdengar luar biasa saat intonasi memperkuat bahasa. Intonasi berperan sebagai pengiring irama yang mampu membawa emosi komunikan hanyut terbawa suasana. Saat emosi hanyut, jiwa akan lebih mudah terketuk dan memicu sensitivitas pada setiap hal yang menjadi alasan orasi yang disampaikan. Penggunaan intonasi harus sesuai dengan konteks yang menjadi tuntutan seorang komunikator, jika tidak tepat akan menimbulkan mispersepi. Sebagai contoh, saat terdapat kalimat yang mengandung konteks tegas namun disampaikan dengan nada lemah lembut akan menimbulkan kerancuan isi orasi yang disampaikan. Begitupun sebaliknya.
Penguasaan Materi (Purpose-Mastering)
Kefasihan seorang komunikator dalam berbahasa dan penyampaian pesan yang dimaksud menjadi parameter seberapa jauh penguasaan materi yang hendak disampaikan. Metode penyampaian secara menarik dan terarah menjadi elemen pendukung dalam membahasakan pesan sebagai attractor-element yang mampu membawa animo komunikan pada arah yang lebih positif, meminimalisir bias pada maksud yang dituju dan menjaga situasi tetap terkendali. Terfokus pada komunikator dan partisipasi aktif komunikan dalam merespon seruan.
Namun, apabila kualifikasi tersebut tidak mampu dipenuhi, akan menimbulkan sesuatu yang kontradiktif. Berimbas pada animo komunikan tidak mampu tersalur optimal. Salah satu akibat dari ketidaksempurnaan bahasa yang dituturkan. Parsial, bahkan bias. Memicu sikap pasif komunikan dalam merespon seruan. Hal ini dikarenakan sebagian individu tidak mampu menangkap secara optimal pesan yang disampaikan, merefleksikan inkompetensi komunikator tersebut terhadap penguasaan materi. Sebagai contoh, seorang orator yang menyampaikan orasinya terpaku pada kertas orasi tanpa memperhatikan tanda baca serta intonasi. Orasi semacam ini biasa dilakukan dengan motif komersil.
Gerakan Anggota Tubuh (Body Gesture)
Setiap individu memiliki karakter tersendiri melalui cara penyampaian orasi. Setiap karakter mampu menonjolkan tipikal seni yang mampu menarik pasang mata dan rasa ketertarikan melalui untaian kalimat yang dipadukan dengan irama anggota badan yang bergerak dinamis sebagai manifestasi ekspresi. Kefasihan seorang komunikator dalam memainkan kata, tidak lepas dari peran mimik wajah, gerakan tangan dan sorot mata. Semua peranan anggota tubuh ini membantu kelancaran seorang komunikator dalam menuturkan bahasa dan buah pikiran yang disampaikan mampu menjamah komunikan disetiap penjuru. Bahkan dari sudut pandang komunikan, hal ini merefleksikan bentuk apresiasi yang termanifestasikan dalam keseriusan penyampaian dari maksud yang hendak dicapai. Sebaliknya, bentuk penyampaian pesan yang cenderung stagnan, bahkan kaku maka hal yang timbul justru rasa jenuh pada komunikan. Berimbas pada hilangnya atensi komunikan.
Kata. Sebuah manifestasi visual sederhana namun jika digunakan oleh individu yang cerdas menjadi senjata ampuh yang mampu merubah peradaban. Kekuatan kata mampu merubah sudut pandang dunia kontemporer bahkan sejarah masa lalu. Kekuatan kata mampu menuntun pada arah yang konstruktif . Namun, saat akal sehat terlepas dari itu semua, kata menjadi alat yang menuntun pada hal yang destruktif. Tiba saatnya kata menunjukan kuasanya, maka dunia akan berubah.