alhikmah.ac.id – “Muhammad, keturunan bangsa Arab, telah menaiki surga paling tinggi dan kembali. Saya bersumpah demi Tuhan bahwa jika saya telah mencapai titik tersebut, saya seharusnya tidak akan pernah kembali.” Kita semua tahu tentang apa Abdul Quddus, seorang sufi dari Gangoh, India, ini berbicara. Ya, tentang Isra’ dan Mi’rajnya Nabi Muhammad saw.
Namun tidak begitu jelas apakah sang sufi sedang memuji Nabi Muhammad saw karena telah bersedia pulang ke bumi setelah mencapai surga tertinggi atau sedang menunjukkan beda antara nabi dengan sufi. Muhammad Iqbal, dalam karya besarnya, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, cenderung memahaminya sebagai ungkapan pembedaan nabi dengan sufi. Iqbal, kita tahu, memang cukup kritis terhadap para pegiat kesufian, meskipun dia sendiri adalah seorang mistikus.
Bagi Iqbal, itulah beda antara pengalaman profetik dengan pengalaman mistik. Mistik tidak berharap kembali dari “pengalaman manunggal” karena itulah cita-cita puncaknya. Andaipun kembali, maka kembalinya tidak berarti banyak bagi kemanusiaan secara luas.
Kenabian atau pengalaman profetik berbeda. Nabi Muhammad saw kembali untuk terlibat langsung dalam kehidupan kemanusiaan, bergaul dengan sejarah, bercengkerama dengan terjangan badai waktu dan kekuatan-kekuatan ruang. Jika bagi pengalaman mistik, itu adalah pengalaman teragung, maka bagi pengalmaan kenabian, itu adalah awal dari perjuangan yang sesungguhnya.
Secara etimologis, kata “nabi”, memang mengandaikan adanya sesuatu yang mendesak untuk disampaikan karena “nabi” bermakna “berita”. Tentu yang dimaksud adalah berita suci dari Tuhan yang sudah pasti memerlukan objek berita dan bukan hanya nabi objeknya, tetapi juga orang lain dalam bentuk masyarakat luas.
Adapun kata “sufi” bermakna kesucian. Dari kata “sufi” tertangkap seperangkat upaya yang sistematis, semacam penggemblengan diri, yang dilakukan untuk mencapai suatu derajat spiritual tertentu. Dari situ tampak bahwa kenabian adalah derajat tinggi yang memang didisain untuk turun ke bumi dan bergaul dengan umat manusia sebagai objek berita ketuhanan. Sedangkan sufi adalah derajat tinggi yang dilaksanakan dengan mengikis sedikit demi sedikit keterkaitan dengan umat manusia dan melambung ke atas, menuju ke ketuhanan. Jika kenabian sifatnya turun ke bawah menuju kemanusiaan; kesufian justeru naik ke atas menuju ketuhanan.
Beratnya beban Nabi ketika harus ditinggalkan oleh dua orang yang sangat melindungi dakwahnya yaitu Khadijah binti Khuwailid dan Abu Thalib serta boikot yang dilakukan oleh kaum kafir mendapatkan penghiburan lewat peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Namun ternyata semua itu hanyalah awalan dari perjuangan yang jauh lebih dahsyat.
Jika demikan halnya, mungkin pengistilahan hiburan untuk Isra’ dan Mi’raj menjadi kurang pas. Yang lebih tepat adalah pengisian spirit ketuhanan ke dalam mentalitas Nabi sebagai bahan bakar agar semangat perjuangan dakwah itu tetap menyala hingga mencapai tujuannya. Itulah spirit kenabian.