Syariah Menjiwai Kesejatian Koperasi Indonesia (Bagian ke-1)

Share to :

alhikmah.ac.id – Prinsip sentral syariah Islam menurut Ibnul Qayyim dalam I’lam al-Muwaqqi’in (vol.III/14) adalah hikmah dan kemaslahatan umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini terletak pada keadilan yang merata, rahmat (kasih sayang dan kepedulian), kesejahteraan dan kebijaksanaan. Apa saja yang merubah keadilan menjadi kezhaliman, rahmat menjadi kekerasan, kemudahan menjadi kesulitan, dan hikmah menjadi kebodohan, maka hal itu tidak ada kaitannya dengan syariah.

Tujuan utama ketentuan syariat (maqashid as-syariah) adalah tercermin dalam pemeliharaan pilar-pilar kesejahteraan umat manusia yang mencakup ‘panca maslahat’ dengan memberikan perlindungan terhadap aspek keimanan (hifz din), kehidupan (hifzd nafs), akal (hifz ‘aql), keturunan (hifz nasl) dan harta benda mereka (hifz mal). Apa saja yang menjamin terlindunginya lima perkara ini adalah maslahat bagi manusia dan dikehendaki syariah sebagaimana kesimpulan Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa, (vol.I/139-140)

Doktrin ukhuwah (persaudaraan) yang merupakan bagian integral dari konsep tauhid dan khilafah akan tetap menjadi konsep hampa (pepesan kosong) yang tidak memiliki substansi, jika tidak dibarengi dengan keadilan sosio-ekonomi (Sayyid Quthb, Al-‘Adalah al-Ijtima’iyah fil Islam:1964). Keadilan telah dipandang oleh para fuqaha sebagai substansi maqashid asy-syariah, sehingga mustahil melihat masyarakat islami, yang tidak menegakkan keadilan di dalamnya. Islam tegas sekali dalam menegakkan tujuannya untuk menghapuskan segala bentuk kezhaliman (dzulm) dari masyarakat manusia, yang merupakan istilah universal Islam untuk pengertian komprehensif anti segala bentuk ketidakadilan, kesenjangan sosial, eksploitasi, penindasan, dan pelanggaran hak-hak, sehingga seseorang menjauhkan hak orang lain atau tidak memenuhi kewajibannya terhadap mereka.

Penegakan keadilan dan penghapusan segala bentuk ketidakadilan telah ditekankan Islam dalam al-Qur’an sebagai misi utama (risalah) para Rasul Allah (Al-Hadid:25) Tidak kurang dari seratus ungkapan yang berbeda redaksinya dalam al-Qur’an mengandung makna keadilan, baik secara langsung seperti ungkapan ‘adl, qisth, mizan, atau dalam berbagai bentuk redaksi yang menyiratkan secara implisit. Di samping itu terdapat lebih dari dua ratus peringatan dalam al-Qur’an yang menentang ketidakadilan seperti dzulm, itsm, dhaal, dan lainnya sebagaimana ungkap Madjid Khaduri dalam The Islamic Conception of Justice (1984: 10) Bahkan al-Qur’an menempatkan keadilan “paling dekat kepada takwa (Al-Maidah:8) karena begitu pentingnya ia dalam struktur keimanan Islam. Secara alami, ketakwaan adalah faktor yang paling penting karena menjadi batu loncatan bagi semua amal shalih termasuk keadilan. Rasulullah bahkan lebih menekankan lagi dengan menyamakan ketiadaan keadilan dengan “kegelapan absolut” (Lihat QS. An-Nur:40) dan beliau memperingatkan: “Jauhilah segala kezhaliman (adz-dzulm) karena kezhaliman itu adalah kegelapan (dzulumat) pada hari kiamat.” (HR. Muslim).

Karena itu tidak mengherankan jika Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam al-Hisbah fil Islam (1967:94) berani menyatakan bahwa negara yang adil meskipun kafir lebih disukai Allah daripada negara tidak adil meskipun beriman, dan dunia akan dapat bertahan dengan keadilan meskipun tidak beriman, tetapi tidak akan bertahan dengan ketidakadilan meskipun Islam. Ketidakadilan dan Islam berbeda satu sama lain dan tidak dapat hidup berdampingan tanpa salah satu harus dihapuskan atau dilemahkan.

Komitmen Islam yang begitu intens kepada makna kekeluargaan, persaudaraan dan keadilan menuntut semua sumber-sumber daya di tangan manusia sebagai suatu amanah (titipan sakral) dari Allah dan harus dimanfaatkan untuk mengaktualisasikan maqashid asy-syariah di antaranya dengan memenuhi empat nilai dasarnya berupa:

1. Pemenuhan kebutuhan pokok;

2. mata pencaharian yang layak;

3. distribusi pendapatan dan kekayaan secara adil; dan

4. pertumbuhan dan stabilitas.

Tujuan pemenuhan kebutuhan pokok mengamanatkan bahwa di antara implikasi dan konsekuensi logis dari doktrin ukhuwah adalah sumber daya nikmat yang ada harus dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pokok semua individu sehingga setiap orang mendapatkan standar hidup yang manusiawi, layak dan terhormat sesuai dengan martabat manusia sebagai khalifah Allah. (Chapra: 1995) Rasulullah saw bersabda: “Tidak beriman orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan dan ia tahu hal itu.” (HR. Al-Bukhari). Para fuqaha telah sepakat bahwa hukumnya fardhu kifayah bagi masyarakat muslim untuk memperhatikan pemenuhan kebutuhan pokok orang-orang miskin. Semangat solidaritas dan kebersamaan itu menurut Imam Asy-Syathibi dalam Al-Muwafaqat: II/177 merupakan raison d’etre masyarakat itu sendiri. Seluruh cendikiawan muslim masa kini seperti Abul A’la Al-Maududi, Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Musthafa As-Siba’I, Abu Zahrah, Baqir Ash-Shadr, Yusuf Al-Qardhawi sepakat berpendapat demikian. (lihat Shiddiqi dalam “Guarantee of a Minimum Level of Living in Islamic State”, dalam M. Iqbal (1988), hlm. 251-303; Abdus Salam al-Abadi dalam al-Milkiyah Asy-Syakhsiyah fis Syari’ah al-Islamiyah” (1974-75) vol.III/81-95; Ibrahim Ahmad Ibrahim dalam Nidhamun Nafaqot fis Syari’ah al-Islamiyah (1349), dan M. Anas Zarqa’ dalam “Islamic Distributive Schemes” dalam M. Iqbal (1988), hlm. 163-219). Menurut Jamaluddin Zarabozo (1980) bahwa pendekatan memenuhi dan menjamin kebutuhan pokok merupakan pendekatan Islam terhadap pembangunan.

Mata pencaharian yang layak dan terhormat harus didapat, karena martabat tinggi manusia yang menyandang status khalifah di muka bumi mengandung pengertian bahwa pemenuhan kebutuhan pokok harus dilakukan lewat upaya-upaya individu itu sendiri. Karena itu para fuqaha telah menekankan kewajiban personal bagi setiap muslim (fardhu ‘ain) untuk memperoleh penghidupannya sendiri dan keluarganya. (QS. Al-Jum’ah:10) Tidak terpenuhinya kewajiban ini menjadikan seorang muslim tidak dapat mempertahankan kondisi kesehatan badan dan mentalnya serta efisiensi dan efektivitasnya yang diperlukan dalam melaksanakan kewajiban ubudiyahnya. (Lihat, Kitab al-Kasb, Asy-Syaibani dalam As-Sarkasi, Al-Ghazali dalam Ihya’, vol. II/60-64) Oleh karena itu setiap muslim boleh jadi tidak dapat memenuhi kewajiban mencari pencaharian yang layak kecuali jika ada peluang wira usaha atau lapangan pekerjaan, maka dapatlah disimpulkan bahwa kewajiban kolektif masyarakat muslim adalah menjamin peluang yang sama bagi setiap orang untuk memperoleh penghasilan dan penghidupan yang terhormat sesuai dengan kemampuan dan usahanya.

Distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata perlu diwujudkan, karena meskipun terwujud pemenuhan kebutuhan pokok, mungkin saja masih terjadi kesenjangan pendapatan dan kekayaan. Kesenjangan-kesenjangan dalam suatu masyarakat muslim diakui sepanjang penyebabnya adalah perbedaan keterampilan, keahlian, inisiatif, usaha dan factor resiko. Namun kesenjangan yang sudah tidak proporsional dan terlalu ekstrim sudah tidak sesuai lagi dengan ajaran Islam yang menekankan bahwa sumber daya yang ada bukan saja karunia Allah bagi seluruh umat manusia (QS. al-Baqarah:29), melainkan juga sebagai suatu amanah yang harus dijaga (QS. al-Hadid:7) Karena itu tidak ada alasan bagi konsentrasi sumber daya di segelintir orang. Kurangnya program yang efektif seperti optimalisasi zakat, infak, sedekah dan wakaf secara efektif untuk mereduksi kesenjangan-kesenjangan akan mengakibatkan penghancuran, dan bukan penguatan rasa persaudaraan dan solidaritas yang dikehendaki Islam (QS. al-Hasyr:7)

Islam sangat menekankan distribusi yang adil sehingga ada beberapa kaum Muslimin yang berpandangan bahwa persamaan kekayaan adalah penting di sebuah masyarakat Muslim. Abu Dzar, seorang sahabat Nabi saw, berpendapat bahwa adalah tidak baik bagi seorang muslim untuk memiliki kekayaan di luar kebutuhan pokok keluarganya. Namun, kebanyakan sahabat Nabi tidak setuju dengan pendapat Abu Dzar yang ekstrim ini. Bagaimanapun Abu Dzar bukanlah pendukung gagasan persamaan pendapatan. Ia mendukung persamaan hak dan peluang untuk mendapatkan kebutuhan dasar. Ia menegaskan bahwa hal ini dapat dicapai bila seluruh surplus melebihi pengeluaran yang semestinya (al-‘afw) digunakan oleh orang kaya untuk memperbaiki nasib saudara-saudaranya yang miskin. Ini adalah pandangan umum para cendikiawan muslim bahwa jika pola perilaku sosial dan ekonomi direstrukturisasi sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, kesenjangan pendapatan dan kekayaan yang ekstrim dalam sebuah masyarakat Muslim akan terhapus.

Pertumbuhan (material dan spiritual) serta stabilitas ekonomi harus diupayakan mengingat bahwa tidak mungkin bagi umat Islam untuk merealisasikan tujuan-tujuan pemenuhan kebutuhan dan suatu tingkat usaha dan kerja yang tinggi tanpa menggunakan sumber daya yang tersedia dengan sangat efisien, dan membangkitkan suatu tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Bahkan tujuan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil akan terwujud lebih cepat dan dengan pengorbanan yang kecil dari orang kaya jika suatu tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dicapai dan orang miskin dijadikan mampu mendapat suatu bagian lebih besar dari buah pertumbuhan itu. Suatu kinerja yang lebih baik dari stabilitas ekonomi juga akan membantu mengurangi penderitaan ketidakadilan yang diciptakan oleh resesi, inflasi dan pergerakan harga dan kurs valuta yang tak menentu. Dengan begitu, bahkan dalam sebuah masyarakat muslim, yang tidak bersandar pada ‘optimalitas pareto’ dalam merumuskan kebijakan-kebijakan dan tidak menekankan pertumbuhan ekonomi untuk kepentingannya sendiri, realisasi suatu tingkat optimum pertumbuhan ekonomi dan penurunan ketidakstabilan ekonomi adalah penting untuk memenuhi implikasi khalifah dan ‘adalah (keadilan).

Tujuan ekonomi menurut para ekonom kontemporer sebagaimana versi Wonnacot dalam Economic Goals-nya yang meliputi lima hal yaitu: penciptaan lapangan kerja, distribusi pendapatan yang merata (adil), penciptaan efisiensi, memantapkan stabilitas harga, dan memacu pertumbuhan ekonomi, dalam konteks maqashid syariah yang harus diimplementasikan secara integral, belum seluruhnya mengcover tujuan syariah yang rahmatan lil ‘alamin khususnya menyangkut aspek hifz din bahkan termasuk hifz mal dalam pengertiannya yang luas sehingga memerlukan lebih jauh integrasi nilai-nilai syariah untuk mewujudkan kesejahteraan yang utuh dan hakiki.

Koperasi yang sejatinya berbasis prinsip syirkah/syarikah merupakan wadah kemitraan, kerjasama, kekeluargaan, dan kebersamaan usaha yang sehat, baik dan halal adalah sesuatu yang sangat dipuji Islam berdasarkan firman Allah Swt: “Dan bekerjasamalah dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah saling bekerja sama dalam dosa dan permusuhan.” (QS.Al-Maidah:2) dan firman-Nya yang lain dalam surat An-Nisa’:12 dan Shaad:24. Nabi saw bahkan tidak sekadar membolehkan bentuk usaha ini melainkan memberi motivasi dengan sabdanya dalam hadits Qudsi: “Aku (Allah) merupakan pihak ketiga yang menyertai (untuk menolong dan memberkati) kemitraan antara dua pihak, selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak lainnya. Jika salah satu pihak telah melakukan pengkhianatan terhadap mitranya, maka Aku keluar dari kemitraan tersebut.” (HR. Abu Dawud dan Hakim) dan sabdanya yang lain: “Allah akan mengabulkan doa bagi dua orang yang bermitra selama di antara mereka tidak saling mengkhianati.” (HR.al-Bukhari)

Oleh karena itu tidak mengherankan jika kita temukan jejak koperasi berdasarkan prinsip syariah telah ada dan dikenal sejak abad III Hijriyah di Timur tengah dan Asia Tengah yang secara teoritis dikemukakan oleh filsuf Islam, al-Farabi. Bahkan As-Syarakhsi dalam al-Mabsuth sebagaimana dinukil oleh M. Nejatullah Siddiqi dalam Patnership and Profit Sharing in Islamic Law meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah ikut dalam suatu kemitraan usaha semacam koperasi di antaranya dengan Saibin Syarik di Madinah. (dkw)

– bersambung…

download

Picture of admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter