Syariah Menjiwai Kesejatian Koperasi Indonesia (Bagian ke-3)

Share to :

alhikmah.ac.id – Efisiensi dan keadilan tidak dapat diwujudkan hanya dengan memiliki suatu mekanisme filter yang baik. Perlu juga upaya memotivasi individu untuk berbuat sesuai dengan itu. Kapitalisme mengasumsikan bahwa kepentingan pribadi akan memotivasi individu untuk memaksimalkan efisiensi sementara persaingan akan berperan sebagai pembatas kepentingan pribadinya dan membantu menjaga kepentingan sosial. Dengan demikian diasumsikan oleh Adam Smith bahwa sistem pasar akan mampu menyelaraskan kepentingan pribadi dan sosial. Sosialisme tidak mempunyai individu dan mengasumsikan bahwa mengejar kepentingan pribadi mesti akan merugikan kepentingan sosial. Karena itu diusulkan agar pemilikan dan keuntungan pribadi dihapuskan dan kontrol negara yang ketat atas alokasi dan distribusi sumber-sumber daya untuk mengawal kepentingan sosial ditegakkan, padahal mengejar kepentingan pribadi oleh individu tidak selalu buruk dan negatif bila dibekali moral.

Islam memberikan suatu perspektif jangka panjang untuk perbuatan manusia, tetapi Islam juga tidak menghendaki individu melupakan kepentingan mereka sendiri di dunia ini karena tidak realistis. (Q.S.7:32). Alec Nove mengatakan bahwa suatu masyarakat yang hanya memperhatikan keuntungan pribadi saja akan jatuh berkeping-keping. Korupsi dalam pengertian harfiah akan berkembang dimana ‘pembuat uang’ menjadi aspirasi utama dan kriteria utama keberhasilan. Demikian pula, Joseph schumpeter juga mengamati bahwa tidak ada sistem sosial yang dapat berjalan…dimana setiap orang tidak dibimbing oleh sesuatu apapun melainkan kepentingan utilitariannya sendiri yang berjangka pendek. Suatu keseimbangan dan keadilan (mizan, menurut istilah al-Qur’an 55:7-9) adalah mutlak untuk menjamin kesejahteraan sosial dan pembangunan potensi manusia yang berkelanjutan.

Rekonstruksi dan reformasi ekonomi harus memperhatikan berbagai aspek dan masalah:

Pertama, menghidupkan faktor manusia dengan motivasi individu dan menjadikannya mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan tujuan mewujudkan efisiensi dan keadilan.

Kedua, mengurangi pemusatan kekayaan dan kekuasaan ekonomi dan politik yang ada.

Ketiga, mentransformasikan semua institusi sosial, ekonomi dan politik termasuk keuangan publik dan intermediasi keuangan, menurut prinsip-prinsip syariah Islam, untuk membantu memperkecil pemborosan dan konsumsi yang tidak perlu dan meningkatkan investasi untuk memenuhi kebutuhan, ekspor dan meningkatkan lapangan kerja dan usaha.

Dengan demikian, yang diperlukan adalah reformasi umat manusia, dan transformasi semua pola konsumsi, investasi, pemilikan alat-alat produksi dan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik. Semakin besar kelangkaan sumber-sumber daya atau ketidakseimbangan dan semakin besar lebar jurang antara maqashid dan realitas, semakin besar pula restrukturisasi yang diperlukan. Unsur kunci restrukturisasi, yang dipandang sangat penting oleh Islam menurut Chapra (2000) ialah mencakup:

a. penggunaan dengan hati-hati sumber-sumber yang merupakan amanah,

b. masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri melalui pembayaran zakat dan sedekah-sedekah lain,

c. pewarisan dan,

d. reorganisasi sistem keuangan.

Suatu restrukturisasi yang menyeluruh semacam demikian boleh jadi tidak mungkin melainkan jika negara berperan aktif (political will) dalam semua sektor ekonomi (makro dan mikro, keuangan dan riil, perbankan dan non perbankan) agar memiliki kesesuaian terhadap prinsip syariah (sharia complience) yang menjamin dan menjanjikan keadilan ekonomi. Peranan pemerintah dalam ekonomi selalu menempati posisi penting dalam pemikiran politik Islam dari masa awal hingga kini dalam wacana al-ahkam as-sulthaniyah (hukum tata negara Islam), maqashid asy-syariah, as-siyasah asy-syar’iyyah (sistem politik syariah) dan al-hisbah (fungsi pengawasan publik).

Pemerintah dan swasta yang meliputi individu maupun masyarakat luas dalam hal ini wajib mentransformasikan nilai-nilai syariah dalam nilai-nilai koperasi secara sinergis dan integral yang meliputi 7 nilai syariah dalam bisnis yaitu:

Pertama, shiddiq yang mencerminkan kejujuran, akurasi dan akuntabilitas.

Kedua, istiqamah yang mencerminkan konsistensi, komitmen dan loyalitas.

Ketiga, tabligh yang mencerminkan transparansi, control, edukatif dan komunikatif.

Keempat, amanah yang mencerminkan kepercayaan, integritas, reputasi dan kredibilitas.

Kelima, fathanah yang mencerminkan etos profesional, kompeten, kreatif, inovatif.

Keenam, ri’ayah yang mencerminkan semangat solidaritas, empati, kepedulian, awareness.

Ketujuh, mas’uliyah yang mencerminkan responsibilitas.

Koperasi dalam tata nilai syariah sangat strategis dalam mengembangkan sumber daya dan mendistribusikannya secara adil. Hal itu karena di antara ketentuan syariah adalah kewajiban mengeluarkan harta (asset) yang tersedia untuk diputar, diusahakan dan diinvestasikan secara halal, karena uang dan harta itu ada bukan untuk ditahan dan ditimbun sehingga menjadi aset nganggur (idle) yang berarti sama dengan memubadzirkan nikmat dan tidak mensyukurinya. Akan tetapi uang itu dibuat untuk dipergunakan dan berpindah dari tangan ke tangan, sebagai alat tukar (medium of exchange) dan pembayaran, alat ekspansi dalam investasi. Sekali lagi, semata-mata sarana atau alat dan tidak boleh berubah menjadi tujuan, apalagi menjadi berhala yang disembah. Kalau demikian adanya maka akan menjadi penyebab kenistaan dan kehancuran, “Merugikan hamba dinar, merugilah hamba dirham.” Demikian sabda Rasulullah SAW.

Imam Ghazali di dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin berbicara tentang fungsi uang dalam kehidupan berekonomi dengan pembahasan yang lebih rinci dan detail dibandingkan para pakar ekonomi sekarang ini. Beliau mengungkapkan bahwa sesungguhnya Allah SWT menciptakan dirham dan dinar (uang) itu untuk dioperasionalisasikan oleh tangan manusia dan agar keduanya menjadi cermin, hakim dan wasit yang merefleksikan nilai harta yang ada secara adil dan apa adanya. Karena pada dasarnya keduanya mulia dan tidak ada tujuan pada mata uangnya dan disandarkannya pada segala sesuatu itu satu. Maka barang siapa yang memilikinya, maka ia tidak memiliki kecuali baju itu. Tidak seperti orang yang memilih baju, maka ia tidak memiliki kecuali baju itu. Sehingga setiap orang yang bekerja untuk memperoleh uang tetapi caranya tidak sesuai dengan hukum bahkan bertentangan dengan hukum, maka ia telah kufur terhadap nikmat Allah berupa emas dan perak. Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak membelanjakannya pada alokasi yang diridhai Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. “(At-Taubah:34).

Dalam konteks inilah, Allah SWT mewajibkan zakat emas dan perak dalam setiap tahun, baik dikembangkan oleh pemiliknya untuk mengembangkan dan menginvestasikannya, sehingga tidak “habis dimakan” oleh zakat pada setiap tahunnya. Inilah yang diperintahkan oleh hadits Rasulullah SAW kepada para pemelihara anak yatim terhadap harta mereka dengan perintah yang jelas, yaitu agar mereka mengembangkan harta tersebut sehingga mendatangkan kemanfaatan dan tidak “dimakan” oleh zakat.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai koperasi yang tampak jelas dalam jati diri koperasi (Co-operative Identity) sebagaimana dirumuskan oleh kongres International Co-operative Alliance (ICA) ke-100 di Manchester, Inggris pada bulan September 1995 yang disusun kembali oleh Prof. Dr. Ian MacPherson, tokoh perkoperasian internasional kelahiran Canada yaitu berupa 7 nilai; menolong diri sendiri, swa tanggung jawab, demokrasi, persamaan, keadilan, kesetiakawanan dan kejujuran serta meliputi 7 prinsip operasional yaitu keanggotaan terbuka dan sukarela, pengendalian oleh anggota secara demokrasi, partisipasi ekonomi anggota, otonomi dan kemerdekaan, pendidikan, pelatihan, dan informasi, kerjasama antar koperasi, dan kepedulian terhadap lingkungan, secara umum sudah selaras dan serasi dengan nilai-nilai syariah.

Namun semua nilai dan prinsip koperasi tersebut pada konteks kegiatan usahanya, hanya akan berjalan sinergis dengan nilai-nilai syariah jika dapat menghindarkan diri dari ketujuh pantangan bisnis dalam syariah. Bahkan koperasi dapat kehilangan identitas (jati dirinya) bila melakukan praktek riba dengan menggunakan skim bunga dalam kegiatan usaha maupun simpan pinjamnya karena bertentangan dengan spirit kemitraan, keadilan dan kepedulian terhadap lingkungan, dimana system bunga tidak peduli dengan apapun nasib debiturnya dan tidak adil dalam penetapan bunga atas pokok modalnya sebagaimana kesimpulan para peneliti dan praktisi keuangan dan ekonomi.

Di samping itu, perlu pendekatan komprehensif dalam upaya sinergi kedua nilai tersebut, sebab dalam ketiadaan suatu pendekatan yang komprehensif sedemikian ini tidak mungkin ada strategi yang efektif; yang ada hanyalah adonan dari kebijakan-kebijakan dan ramuan jati diri yang tidak serasi, tumpang tindih, tambal sulam dan sia-sia. Kesimpulan sempit bahwa bisnis yang berbasis nilai syariah hanya didasarkan pada tiga hal: norma-norma perilaku (moral), zakat, dan pengharaman bunga adalah kurang tepat. Sekalipun ketiga hal ini berperan penting dam restrukturisasi ekonomi, ketiganya bukan merupakan keseluruhan sistem ekonomi Islam. Bahkan efektivitas ketiganya adalah karena didukung dan diperkuat oleh mekanisme filter nilai yang tepat, sistem motivasi yang kuat, restrukturisasi yang efektif dan suatu peranan positif pemerintah dan kesadaran bersama para pelaku bisnis. Tanpa dukungan semisal di atas, ketiga hal ini tidak dapat memikul beban tanggung jawab untuk mewujudkan maqashid. Ini hanya laksana melihat tengkorak kepala, dada dan kaki dari sebuah kerangka dan mengatakan bahwa ini adalah manusia. Walaupun ketiganya merupakan bagian penting tubuh manusia, mereka hanya akan berarti bila ada nyawa dan semua sistem tubuh lainnya semisal otot, urat daging, hati dan otak, sehat, dan berfungsi dengan baik. Tidak satupun dari semua itu akan membentuk manusia jika dipisah-pisah. Ini menunjukkan perbedaan antara ramuan-ramuan yang terpisah dari keseluruhan resep. Ramuan-ramuan yang terpisah tidak akan memberikan rasa, aroma dan warna suatu makanan, tidak peduli betapa pun pentingnya suatu ramuan tersebut dalam resep itu.

Syariat dan filosofi zakat misalnya, bukan sekadar nilai yang harus ditaati oleh setiap muslim untuk kesejahteraan dirinya di dunia dan di hari akhir, semua itu juga memiliki peranan penting dalam restrukturisasi ekonomi dan mewujudkan maqashid syariah. Tata nilai koperasi dan syariah harus diterima dan diterapkan secara keseluruhan, bukan sepotong-potong (parsial), agar bisa benar-benar efektif mencapai visi dan misinya, karena penerimaan dan penerapan yang sepotong-potong atas nilai-nilai tidak akan menjamin teraktualisasikannya tujuan sebagaimana ditegaskan al-Qur’an.

Firman Allah SWT.: “Apakah kamu sekalian hanya beriman kepada sebagian kitab dan menolak sebagian yang lain? Maka tiada lain balasan bagi orang-orang di antara kamu sekalian yang berbuat demikian selain mereka akan dipermalukan di dunia dan di akhirat mereka akan menerima siksa yang pedih?”(QS. Al-Baqarah:85) “Hai orang-orang yang beriman! Masuk Islamlah kamu dengan keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena setan itu adalah musuh yang nyata.” (Q.s. 2:208). “Tuhan tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah diri mereka sendiri.” (Q.s. 13:11)

Dengan demikian diperlukan pendekatan, langkah dan kebijakan transformasi serempak, kompak dan terkoordinasi secara komprehensif dalam mengaktualisasikan total sistem nilai koperasi, ekonomi dan syariah dalam rangka mewujudkan ekonomi yang berkeadilan dan menyejahterakan bagi semua dan rahmatan lil ‘alamin. Wallahu A’lam wa Billahit Taufiq wal Hidayah. (dkw)

download

Picture of admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter