Syiah dan Kesalahpahaman “Pembelanya” ‎

Share to :

‎ Oleh: Fahmi Salim, MA

DALAM artikelnya di Republika (27/1/2012), saudara Haidar Bagir kembali menanggapi artikel ‎bantahan yang ditulis oleh Muhammad Baharun dan saya dengan judul “Sekali Lagi, Syiah dan ‎Kerukunan Umat (Tanggapan untuk Muhammad Baharun dan Fahmi Salim), (Republika, 27 ‎Januari 2012). Sebelumnya, perlu disampaikan, dalam setiap munazharah (debat ilmiah) perlu ada ‎kode etik (adabul baths). Dan salah satu kode etik yang selalu saya pegang dari Al-Azhar Mesir, — ‎almamater saya — adalah kaidah yang menyatakan, “in kunta naqilan fa’alayka bil-shihhat wa in ‎kunta mudda’iyan fa’alayka bi-d-dalil” (jika Anda menukil pendapat, maka harus benar-benar ‎diverifikasi dan jika Anda mendakwa maka harus mendatangkan dalil). ‎ Dalam konteks inilah, Haidar keliru. Saat menyebutkan satu-dua dakwaan atau nukilan, ia tidak ‎menyebut sumber apalagi memverifikasi kesahihannya. Jadi harap dimaklumi. Tak bermaksud ‎semena-mena, tetapi menaati kode etik, yang mungkin ditafsirkan lain. Ini berbeda dengan ulama ‎salaf yang dengan amanah telah menyebutkan sanad lengkap, dan menjadi tugas peneliti ‎selanjutnya untuk memverifikasi kebenarannya.‎ Pertama, masih soal Tahrif (distorsi dan ketidaklengkapan) Al-Qur’an di kalangan Syiah dan ‎Sunnah. Saya tegaskan bahwa Ahlusunnah secara mutlak menerima keotentikan, kelengkapan dan ‎kemutawatiran mushaf Usmani yang ada saat ini –tanpa ada pengurangan dan tambahan ‎sedikitpun. Namun tak jarang, kalangan Syiah menuduh balik bahwa indikasi tahrif banyak ‎ditemukan dalam riwayat-riwayat yang terdapat dalam kitab-kitab hadis standar di kalangan ‎sunnah. Saudara Haidar telah menyebutkan di antara contoh sebagiannya.‎ Contoh-contoh riwayat yang berbau ‘Tahrif’, yang disebut Haidar, sangat akrab di kalangan ‎pengkaji ilmu Al-Qur’an dalam kajian Nasikh-Mansukh. Berbagai literatur seperti Al-Burhan ‎‎(vol.2/41-46) karya Az-Zarkasyi, Al-Itqon (hlm.332&336) karya As-Suyuthi dan Manahil Irfan ‎‎(vol.2/154-155) karya Az-Zarqani memberi contoh hadis Sayidah Aisyah tentang hukum 10 kali ‎susuan yang dinasakh oleh 5 kali susuan (HR.Muslim) untuk kategori nasakh (konsep abrogasi) ‎baik pada hukum dan bacaan Al-Qur’an. Sedangkan riwayat Sayidina Umar tentang ayat rajam ‎‎(HR.Bukhari) dan riwayat Ubay ibn Ka’ab tentang ayat rajam (HR.Ibnu Hibban), dijadikan contoh ‎untuk kategori nasakh pada bacaan saja, dan hukumnya tetap berlaku.‎ Menilai riwayat-riwayat yang dikategorikan nasikh-mansukh menurut konsep ‘Ahlusunnah’, dan ‎menyamakan dengan ‘Tahrif’ adalah suatu kekeliruan yang mendasar. Ulama Ahlusunnah ‎memandang adanya nasakh di dalam Al-Qur’an, — yang tentunya adalah hak prerogatif Allah SWT ‎dan hanya bisa terjadi selama Rasulullah hidup dan atas kewenangannya –bukan suatu distorsi ‎‎(Tahrif) dan ketidaklengkapan Al-Qur’an.‎ Nukilan dari Aisyah, seperti dikutip Haidar, bahwa surah Al-Ahzab aslinya 200 ayat lalu tersisa ‎hanya 73 ayat dalam mushaf Usmani, ditinjau dari sanadnya dhoif. Karena hadits itu diriwayatkan ‎oleh Abu Ubaid (penulis Fadha’il Al-Qur’an) sampai ke Aisyah, yang rawinya Ibnu Lahi’ah dinilai ‎mukhtalit (hafalannya amburadul) setelah kitab-kitabnya hangus terbakar, sehingga sanadnya ‎dhoif/lemah (Mizan Al-I’tidal vol.2/475-477). Demikian pula nukilan dari Ubay ibn Ka’ab bahwa ‎jumlah surah Al-Ahzab setara dengan Al-Baqarah (286 ayat), ternyata seorang rawinya Al-Mubarak ‎ibn Fadhalah adalah mudallis yang dinilai dhoif/lemah, seperti penilaian Abu Dawud dan Abu ‎Zur’ah dalam Al-Mudallisin (vol.1/80).‎ Nah, tidak seperti dikesankan Haidar bahwa fakta itu ditengarai bentuk Tahrif, lagi-lagi jika mau ‎jujur, justru riwayat Aisyah dan Ubay di atas ditempatkan oleh As-Suyuthi dalam kategori nasakh ‎tilawah (lihat hlm.336). Artinya, Suyuthi ingin menegaskan bahwa sisa 127 ayat atau 213 ayat ‎semuanya telah dinasakh bacaan dan hukumnya. Kecuali ayat Rajam yang hukumnya tetap berlaku ‎meski bacaannya telah dinasakh. Inilah yang ditegaskan kembali oleh Al-Bayhaqi dalam As-Sunan ‎Al-Kubra (vol.8/211), Qadhi Abu Bakr Al-Baqillani dalam Al-Intishar lil Qur’an (vol.1/406), dan ‎Ibnu Hajar Asqallani dalam Fathul Bari (vol.12/144).‎ Jadi kesimpulannya, riwayat-riwayat itu hanya untuk konteks nasikh-mansukh, dan bukan ‎pembuktian terjadinya Tahrif dalam Qur’an menurut ulama sunni. Saudara Haidar sebagai ‎pendukung Syiah seharusnya memahami masalah ini. Menyamakan atau sengaja mengaburkan ‎konsep Naskh dengan Tahrif jelas kesalahan fatal. Jangan memaksakan cara pandang Syiah pada ‎referensi kaum Sunni.‎ Selanjutnya, yang kedua, soal riwayat pengutukan Ali ibn Abi Thalib. Saya tidak memungkiri ‎‎‘adanya’ cerita-cerita fantastis yang tertuang dalam buku-buku tarikh yang Saudara Haidar ‎sebutkan. Namun sekali lagi, sumber tertua pangkal dari cerita itu adalah riwayat Ibnu Sa’d dalam ‎Thabaqat. Jika Ali Al-Madaini bisa sedikit ditolerir, namun kelemahan riwayat lebih berat karena ‎faktor guru al-Madaini yaitu Luth ibn Yahya Al-Kufi. Dia lah yang saya maksud semua pakar dan ‎imam hadits menilainya lemah. Al-Dzahabi dalam Siyar A’lam An-Nubala (vol.7/301-302) menulis: ‎‎”Abu Mikhnaf Luth ibn Yahya Al-Kufi, penulis kitab tasnif dan tarikh, meriwayatkan dari Jabir al-‎Ju’fi, Mujalid ibn Sa’id, Sha’qab ibn Zuhair, dan sekelompok orang tak dikenal (majhulin)…Yahya ‎ibn Ma’in berkata: (orang ini Luth ibn Yahya) tidak tsiqoh, Abu Hatim berkata: hadisnya ‎ditinggalkan, Ad-Daruquthni berkata: tukang pemberi kabar yang lemah. Selain itu, Abu Mikhnaf ‎adalah tukang berita yang rusak dan tak dipercaya. (Mizan Al-I’tidal, vol.3/409)‎ Mengutip riwayat Sahih Muslim dari Sahl ibn Sa’ad (no.2409) juga kurang tepat dalam konteks ‎pengutukan. Sebab Imam Muslim justru memasukkan hadits itu dalam Bab Min Fadha’il Aly ibn ‎Abi Thalib (Keutamaan Ali R.A.).‎ Memang tidak mudah menyeleksi riwayat yang tertuang dalam buku-buku sejarah, juga ‎menganalisanya secara adil. Apalagi sering dijumpai oknum-oknum tertentu dengan motif politis ‎memperkeruh suasana dalam setiap periode penulisan sejarah. ‎ Penting dicatat, Ahlusunnah sepanjang sejarah tidak pernah membela, merestui dan apalagi ‎menjadikan pengutukan terhadap para sahabat dan ahlul bait Nabi – terlebih Sayidina Ali — sebagai ‎akidah atau dendam kesumat yang tertanam kuat secara resmi.‎ Bisa dibayangkan, dengan asumsi cerita kutukan terhadap Sayidina Ali selama 70 tahun (yang ‎diragukan kebenarannya) itu sudah sangat tercela, bagaimanakah lagi pengutukan terhadap ‎Khalifah Abu Bakr dan Umar, serta istri Nabi yang dilestarikan lebih dari 1000 tahun–dan entah ‎sampai kapan-?‎ Dalam I’tiqad Ahlusunnah, semua sahabat dan keluarga Nabi, tanpa terkecuali, adalah orang-orang ‎mulia yang terdidik dalam madrasah nubuwwah dan berjuang bertahun-tahun menegakkan panji ‎Islam bersama Rasulullah. ‎ Pengorbanan nyawa, harta dan keluarga sudah tak terhitung. Mustahil rasanya, manusia-manusia ‎yang disanjung berkali-kali dalam Al-Qur’an dan hadis nabi, mereka sontak berubah menjadi ‎manusia tak bermoral dan beragama seketika hanya karena rebutan tahta dunia. Kecuali jika kita ‎hendak katakan, bahwa Rasul telah gagal total dalam dakwahnya dan Allah SWT salah karena telah ‎memuji kualitas iman mereka. Ini sama artinya merendahkan Allah dan Rasul-Nya, Wal’iyadzu ‎billah!‎ Polemik ini semoga lebih membuka wawasan umat, bahwa masih ada ganjalan-ganjalan teologis ‎dan historis dalam hal hubungan muslim Sunni dan Syiah. Jurang perbedaan antara keduanya juga ‎lebar baik dalam aspek ushul akidah maupun furu’ agama.‎ Agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan bersama, juga demi keutuhan bangsa ini, maka ‎benarlah ajakan Saudara Haidar agar semua elemen Syiah tidak mendakwahkan ajarannya di ‎tengah mayoritas mutlak Sunni. Jika himbauan itu tidak diindahkan serius, terus terang saya kuatir ‎nasib persatuan bangsa ini, dimana muslim sebagai mayoritas, akan terkoyak dan tercabik-cabik. ‎Cukup sudah pengalaman konflik sektarian di Iraq, Libanon dan Pakistan menjadi pelajaran ‎berharga bagi kita semua.‎ Sayangnya, Penerbit Mizan yang dipimpin Saudara Haidar, sejak 1983 terus-menerus menerbitkan ‎buku berjudul Dialog Sunnah-Syi’ah –sebuah dialog fiktif yang dikarang Syarafuddin Al-Musawi- ‎yang mengandung fitnah dan penghinaan terhadap Istri Nabi Muhammad saw, terutama Aisyah ‎R.A.‎ Terakhir, apa yang saya tulis ini adalah bagian dari tawashaw bil-haq dan tawashaw bil-shabr secara ‎objektif, ikhlas, dan tajarrud pada al-haq seperti harapan Sdr. Haidar. Agar umat semakin cerdas ‎dan dewasa. Wallahu a’lam.

admin

admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Sign up for our Newsletter