alhikmah.ac.id – Bacaan Al-Qur’an berbeda dengan bacaan perkataan mana pun, karena isinya merupakan kalam Allah, yang ayat-ayatnya disusun dengan rapai dan dijelaskan secara terperinci, yang berasal dari Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Karena itu membacanya tidak lepas dari adab yang bersifat zhahir maupun batin. Di antara adabnya yang bersifat zhahir ialah secara tartil. Makna tartil dalam bacaan ialah pelan-pelan dan perlahan-lahan, memperjelas huruf dan harakatnya, menyerupai permukaan gigi-gigi yang rata dan yang tertata rapi.
Menurut Asy-Syuyuthy, disunatkan tartil ketika membaca Al-Qur’an, sebagaiamana firman Allah,
“Dan bacalah Al-Qur’an itu secara tartil (perlahan-lahan),” (Al-Muzzamil : 4)
Begitulah menurut Al-Hafizh Asy-Syuyuthy. Sekiranya ada orang yang mengatakan wajib bacaan secara tartil, maka itu lebih dekat dengan zhahir yang ditunjukkan perintah Al-Qur’an ini. Sebab hukum dasar dalam perintah Al-Qur’an adalah wajib. Seruan dalam ayat ini pada dasarnya tertuju kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, lalu kepada umatnya yang bersifat mengikuti. Karena itu Az-Zarkasyi berkata, “Setiap orang Muslim harus membaca Al-Qur’an secara tartil. “Pernyataan ini lebih pas dengan apa yang disampaikan Asy-Syuyuthy.
Abu Daud dan lain-lainnya meriwayatkan dari Ummu Salamah, bahwa dia bisa mengikuti bacaan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Jika dia mengikuti bacaan yang di tafsiri, maka dia membacanya huruf demi huruf.
Di dalam riwayat Al-Bukhory disebutkan dari Anas, bahwa dia pernah ditanya tentang bacaan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Maka dia menjawab “Bacaan beliau dengan mad.” Lalu dia membaca Bismillahir-rahmanir-rahim, “Beliau membaca mad pada Allah, Ar-Rahman, dan Ar-Rahim.”
Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku membaca surat-surat yang pendek dalam satu rakaat.” Maka Ibnu Mas’ud berkata, “Itu bacaan yang cepat seperti kecepatan membaca syair. Sesungguhnya ada segolongan orang yang membaca Al-Qur’an, yang tidak melebihi tenggorokannya. Tapi jika bacaan itu merasuk ke dalam hati dan mantap di dalamnya, maka itu akan bermanfaat.”
Al-Jiry mentakhrij di dalam akhlak para penghafal Al-Qur’an, dari Ibnu Mas’ud, dia berkata, “Janganlah kalian mengacak-acaknya sebagaimmana kalian mengacak-acak buah korma yang buruk, dan janganlah kalian mempercepatnya seperti membaca syair. Berhentilah jika ada yang mengagumkan, gerakkanlah hati dan janganlah hasrat salah seorang di antara kalian adalah akhir surat.”
Al-Ajiry juga mentakhrij dari hadits Ibnu Umar secara mafru’, “Dikatakan kepada penghafal (pembaca) Al-Qur’an (pada hari kiamat), ‘Bacalah dan tingkatkan dalam derajat-derajatnya, dan bacalah secara tartil sebagaimana kamu membacanya di dunia’, karena sesungguhnya manzilahmu terletak pada akhir ayat yang pernah kamu baca’.”
Al-Ajiry mengatakan didalam Syarhul-Muhzdzdzab, “Para ulama sepakat bahwa membaca cepat-cepat adalah makruh.”
Para ulama juga berpendapat, membaca satu juz secara tartil lebih baik daripada membaca dua juz secara cepat dengan tempo waktu yang sama dengan bacaan secara tartil. Dianjurkannya membaca secara tartil dimaksudkan untuk pendalaman, karena yang demikian itu lebih dekat dengan pengangungan dan lebih berpengaruh di dalam hati. Anjuran ini lebih ditekankan kepada orang non-Arab yang kurang memahami maknanya.
Ada perbedaan pendapat, apakah yang lebih baik membaca secara tartil namun sedikit, ataukah membaca cepat dan hasilnya banyak? Menurut pendapat sebagian imam yang kami anggap paling baik, bahwa pahala membaca secara tartil lebih besar, sedangkan pahala membaca banyak adalah lebih banyak bilangannya. Sebab setiap huruf mendatangkan sepuluh kebaikan.
Di dalam kitab Al-Burhan karangan Az-Zarkasyi disebutkan, kesempurnaan tartil kemantapan lafazh-lafazhnya dan kejelasan huruf-hurufnya serta tidak ada kerancuan antara satu huruf dengan huruf lainnya. Setidak-tidaknya begitu. Tapi yang lebih sempurna lagi ialah membaca menurut manzilah-manzilahnya. Jika seseorang membaca ancaman, maka dia melafazhkan layaknya orang yang mengancam, dan jika membaca pengagungan, maka dia melafazhkannya layaknya orang yang mengagungkan.
Al-Ghazaly berkata, “Ketahuilah bahwa membaca tartil kitu dianjurkan, bukan karena dimaksudkan untuk memperhatikan. Orang non-Arab tidak memahami makna Al-Qur’an, dianjurkan untuk membaca Al-Qur’an secara tartil, karena yang demikian itu lebih dekat kepada pengagungan dan penghormatan serta lebih mudah meresap ke dalam hati daripada membacanya secara cepat.”