Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah
Kami selalu membangun dan berkemauan
Kami pasti akan mati tapi kami pantang hina
Kami punya tangan dan mau bekerja
Kami punya hari esok dan harapan
Dan Kami selamanya orang merdeka dan pantang menyerah
dakwatuna.com – Tsabat bermakna teguh pendirian dan tegar dalam menghadapi ujian serta cobaan di jalan kebenaran. Dan tsabat bagai benteng bagi seorang kader. Ia sebagai daya tahan dan pantang menyerah. Ketahanan diri atas berbagai hal yang merintanginya. Hingga ia mendapatkan cita-citanya atau mati dalam keadaan mulia karena tetap konsisten di jalan-Nya. Dalam Majmu’atur Rasail, Imam Hasan Al Banna menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tsabat adalah orang yang senantiasa bekerja dan berjuang di jalan dakwah yang amat panjang sampai ia kembali kepada Allah SWT. dengan kemenangan, baik kemenangan di dunia ataupun mati syahid. “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah SWT. maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah janjinya”. (Al Ahzab: 23).
Sesungguhnya jalan hidup yang kita lalui ini adalah jalan yang tidak sederhana. Jauh, panjang dan penuh liku apalagi jalan dakwah yang kita tempuh saat ini. Ia jalan yang panjang dan ditaburi dengan halangan dan rintangan, rayuan dan godaan. Karena itu dakwah ini sangat memerlukan orang-orang yang memiliki muwashafat ‘ailiyah, yakni orang-orang yang berjiwa ikhlas, itqan dalam bekerja, berjuang dan beramal serta orang-orang yang tahan akan berbagai tekanan. Dengan modal itu mereka sampai pada harapan dan cita-citanya.
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang memerlukan pertolongan dan orang-orang yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji dan orang-orang yang bersabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar imannya dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. (Al Baqarah: 177).
Di samping itu, dakwah ini juga senantiasa menghadapi musuh-musuhnya di setiap masa dan zaman sesuai dengan kondisinya masing-masing. Tentu mereka sangat tidak menginginkan dakwah ini tumbuh dan berkembang. Sehingga mereka berupaya untuk memangkas pertumbuhan dakwah atau mematikannya. Sebab dengan tumbuhnya dakwah akan bertabrakan dengan kepentingan hidup mereka. Oleh karena itu dakwah ini membutuhkan pengembannya yang berjiwa teguh menghadapi perjalanan yang panjang dan penuh lika-liku serta musuh-musuhnya. Merekalah orang-orang yang mempunyai ketahanan daya juang yang kokoh.
Kita bisa melihat ketsabatan Rasulullah SAW. Ketika beliau mendapatkan tawaran menggiurkan untuk meninggalkan dakwah Islam tentunya dengan imbalan. Imbalan kekuasaan, kekayaan atau wanita. Tetapi dengan tegar beliau menampik dan berkata dengan ungkapan penuh keyakinannya kepada Allah SWT.
‘Demi Allah, wahai pamanku seandainya mereka bisa meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan dakwah ini. Niscaya tidak akan aku tinggalkan urusan ini sampai Allah SWT. memenangkan dakwah ini atau semuanya akan binasa’.
Demikian pula para sahabatnya ketika menjumpai ujian dan cobaan dakwah mereka tidak pernah bergeser sedikit pun langkah dan jiwanya. Malah semakin mantap komitmen mereka pada jalan Islam ini. Ka’ab bin Malik pernah ditawari Raja Ghassan untuk menetap di wilayahnya dan mendapatkan kedudukan yang menggiurkan. Tapi semua itu ditolaknya sebab hal itu justru akan menimbulkan mudarat yang jauh lebih besar lagi.
Kita dapat juga saksikan peristiwa yang menimpa umat Islam pada masa Khalifah Al Mu’tsahim Billah tentang fitnah dan ujian ‘khalqul Qur’an’. Imam Ahmad bin Hambal sangat tegar menghadapi ujian tersebut dengan tegas ia menyatakan bahwa Al Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk sebagaimana yang didoktrin oleh Khalifah. Dengan tuduhan sesat dan menyesatkan kaum muslimin Imam Ahmad bin Hambal menerima penjara dan hukum pukulan dan cambukan. Dengan ketsabatan beliau kaum muslimin terselamatkan aqidah mereka dari kesesatan.
Demikian pula kita merasakan ketegaran Imam Hasan Al Banna dalam menghadapi tribulasi dakwahnya. Ia terus bersabar dan bertahan. Meski akhirnya ia pun menemui Rabbnya dengan berondongan senjata api. Dan Sayyid Quthb yang menerima eksekusi mati dengan jiwa yang lapang lantaran aqidah dan menguatkan sikapnya berhadapan dengan tiang gantungan. Beliau dengan yakin menyatakan kepada saudara perempuannya, ‘Ya ukhtil karimah insya Allah naltaqi amama babil jannah. Duhai saudaraku semoga kita bisa berjumpa di depan pintu surga kelak’.
Namun memang tidak sedikit kader yang kendur daya tahannya. Ada yang berguguran karena tekanan materi. Tergoda oleh rayuan harta benda. Setelah mendapatkan mobil mewah, rumah megah dan sejumlah uang yang dimasukkan ke dalam rekeningnya. Membuat semangat dakwahnya luntur. Bahkan ia akhirnya sangat haus dan rakus pada harta benda duniawi yang fana itu. Dan ia jadikan harta benda itu sebagai tahannya. Ada pula yang rontok daya juangnya karena tekanan keluarga. Keluarganya menghendaki sikap hidup yang berbeda dengan nilai dakwah. Keluarganya ingin sebagai keluarga kebanyakan masyarakat yang sekuler. Dengan gaya dan stylenya, sikap dan perilakunya Sehingga ia pun mengikuti selera keluarganya. Ada juga yang tidak tahan karena tekanan politik yang sangat keras. Teror, ancaman, kekerasan, hukuman dan penjara selalu menghantui dirinya sehingga ia tidak tahan kemudian ia pun meninggalkan jalan dakwah ini.
Oleh karena itu sikap tsabat mesti berlandaskan keistiqamahan pada petunjuk Allah SWT. (Al Istiqamah alal Huda). Berpegang teguh pada ketaqwaan dan kebenaran hakiki, tidak mudah terbujuk oleh bisikan nafsu rendah dirinya sekalipun. Sehingga dirinya kukuh untuk memegang janji dan komitmen pada nilai-nilai kesucian. Ia tidak memiliki keinginan sedikit dan sekejap pun untuk menyimpang lalu mengikuti kecenderungan hina dan tipu muslihat setan durjana. Dan sikap ini harus terus di-ri’ayah dengan taujihat dan tarbawiyah sehingga tetap bersemayam dalam sanubari yang paling dalam. Dengan bekalan itu seorang kader dakwah dapat bertahan berada di jalan dakwah ini.
Melalui sikap teguh ini perjalanan panjang menjadi pendek. Perjalanan yang penuh onak dan duri tidak menjadi hambatan untuk meneruskan langkah-langkah panjangnya. Bahkan ia dapat melihat urgensinya sikap tsabat dalam dakwah. Adapun urgensi tsabat dalam mengemban amanah dakwah ini di antaranya:
1. Dalalah salamatil Manhaj (Bukti jalan hidup yang benar)
Jalan hidup ini sangat beragam. Ada jalan yang baik ada pula yang buruk. ada yang menyenangkan ada pula yang menyusahkan. Dan sikap tsabat menjadi bukti siapa-siapa yang benar jalan hidupnya. Mereka berani menghadapi jalan hidup bagaimanapun selama jalan itu menghantarkan pada kemuliaan meski harus merasakan kepahitan atau kesusahan.
Sikap tsabat ini melahirkan keberanian menghadapi realita hidup. Pantang menyesali kondisi diri apalagi menyalahkan keadaan. Ia tidak cengeng dan ngambekan karena beragam persoalan yang mengelutinya. Malah ia mampu mengendalikan permasalahan dan menemukan harapan besar untuk ia raih. Amatlah pantas perintah Allah SWT. pada orang beriman tatkala menghadapi musuh agar mengencangkan jiwa yang tegar dan konsisten pada keyakinannya. “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menghadapi satu pasukan maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah nama Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”. (Al Anfal: 45). Dengan demikian mereka yang tsabat dalam jalan dakwah ini menjadi pilihan hidupnya. Lantaran ia tahu dan berani menerima kenyataan yang memang harus ia alami. Dan muncullah sikap sang ksatria yang gagah berani meniti jalan hidupnya bersama dakwah ini.
Pujangga termasyhur, Al Buhturi dalam baris syairnya ia mengungkapkan bahwa jiwa yang berani hidup dengan menghadapi resiko apapun dan tetap tegar berdiri di atas pijakannya adalah ‘nafsun tudhi’u wa himmatun tatawaqqadu, jiwa yang menerangi dan cita-cita yang menyala-nyala’. Sebab jiwa yang semacam itu menjadi bukti bahwa ia benar dalam mengarungi bahtera hidupnya.
2. Mir’atus Syakhshiyatil Mar’i (Cermin kepribadian seseorang)
Sikap tsabat membuat pemiliknya menjadi tenang. Dan ketenangan hati menimbulkan kepercayaan. Kepercayaan menjadi modal utama dalam berinteraksi dengan banyak kalangan. Karena itu sikap tsabat menjadi cermin kepribadian seorang muslim. Dan cermin itu berada pada bagaimana sikap dan jiwa seorang mukmin dalam menjalani arah hidupnya. juga bagaimana ia menyelesaikan masalah-masalahnya.
Semua orang sangat membutuhkan cermin untuk memperbaiki dirinya. Dari cermin kita dapat mengarahkan sikap salah kepada sikap yang benar. Dan cermin amat membantu untuk mempermudah menemukan kelemahan diri sehingga dengan cepat mudah diperbaikinya. Amatlah beruntung bagi diri kita masih banyak orang yang menjual cermin. Agar kita semakin mudah mematut diri. Karenanya, Rasulullah SAW. mendudukkan peran seorang mukmin bagi cermin bagi mukmin lainnya. Karenanya seorang ulama memberi hadiah pada kawannya yang diberi amanah kepemimpinan sebuah cermin antik yang besar. Rupanya hadiah itu membuat sang teman ini menangis dan menginsafi diri. Lalu memahami betul bahwa hadiah cermin antik tersebut bukan untuk pajangan rumahnya melainkan sebagai upaya nasihat. Nasihat yang tulus dari ulama shalih bijak untuk mengingatkan temannya agar dapat memperbaiki diri dalam mengemban amanah kepemimpinannya.
Dan sikap tsabat adalah cermin bagi setiap mukmin. Karena tsabat dapat menjadi mesin penggerak jiwa-jiwa yang rapuh. Ia dapat mengokohkannya. Tidak sedikit orang yang jiwa mati hidup kembali lantaran mendapatkan energi dari ketsabatan seseorang. Ia bagai inspirasi yang mengalirkan udara segar terhadap jiwa yang limbung menghadapi segala kepahitan. Seorang ulama mengingatkan kita, ‘berapa banyak orang yang jiwa mati menjadi hidup dan jiwa yang hidup menjadi layu karena daya tahan yang dimiliki seseorang‘. Dan di situlah fungsi dan peran tsabat.
3. Dharibatut Thariq ilal Majdi war Rif’ah (upaya untuk menuju kesuksesan dan kejayaan)
Setiap kesuksesan dan kejayaan memerlukan sikap tsabat. Istiqamah dalam mengarungi aneka ragam bentuk kehidupan. Tentu tidak akan ada kesuksesan dan kejayaan secara cuma-cuma. Ia hanya akan dapat dicapai manakala kita memiliki pra syaratnya. Yakni sikap tetap istiqamah menjalani hidup ini. Tidak neko-neko. Seorang murabbi mengingatkan binaannya dengan mengatakan, ‘Peliharalah keteguhan hatimu, karena ia bentengmu yang sesungguhnya. Barang siapa yang memperkokoh bentengnya niscaya ia tidak akan goyah oleh badai sekencang apapun. Dan ini menjadi pengamanmu’. Begitulah nasihat banyak ulama kita yang mengingatkan agar kita berupaya secara maksimal mengokohkan kekuatan hati dan keteguhan jiwa agar mendapatkan cita-cita kita.
Juga terhadap jalan dakwah. Kegemilangan jalan suci ini hanya dapat diraih dari sikap konsisten terhadap prinsip dakwah ini. Yang tidak mudah bergeser karena tarikan-tarikan kepentingan yang mengarah pada kecenderungan duniawiyah. Tanpa sikap tsabat, pelaku dakwah ini akan terseret pada putaran kehancuran dan kerugian dunia dan akhirat. “Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami. Dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat hatimu niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka. Kalau terjadi demikian benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu siksaan berlipat ganda di dunia ini dan begitu pula siksaan berlipat pula sesudah mati dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami”. ( Al Isra’: 73 – 75). Sikap ini menjadi daya tahan terhadap bantingan apapun dan dari sanalah ia mencapai kejayaannya. Sebagaimana yang diingatkan Rasulullah SAW. pada Khabab bin Al ‘Arts agar tetap bersabar dan berjiwa tegar menghadapi ujian dakwah ini bukan dengan sikap yang tergesa-gesa. Apalagi dengan sikap yang menginginkan jalan dakwah ini tanpa hambatan dan sumbatan.
4. Thariqun litahqiqil Ahdaf (Jalan untuk mencapai sasaran)
Untuk mencapai sasaran hidup yang dikehendaki tidak ada jalan lain kecuali dengan bermodal tsabat. Teguh meniti jalan yang sedang dilaluinya. Meski perlahan-lahan. ‘alon-alon asal kelakon’. Tidak tertarik untuk zig-zag sedikit pun atau sesekali. Melainkan mereka lakukan terus-menerus meniti jalannya dengan sikap tetap istiqamah. Bahkan dalam dunia fabel dikisahkan kura-kura dapat mengalahkan kancil mencapai suatu tempat. Kura-kura meski jalan pelan-pelan namun akhirnya menghantarkan dirinya pada tempat yang dituju.
Imam ‘Athaillah As Sakandary menasihatkan muridnya untuk selalu tekun dalam berbuat agar meraih harapannya dan tidak cepat lelah atau putus asa untuk mendapatkan hasilnya. ‘Barang siapa yang menggali sumur lalu berpindah pada tempat yang lain untuk menggali lagi dan seterusnya berpindah lagi maka selamanya ia tidak akan menemukan air dari lubang yang ia gali. Tapi bila kamu telah menggali lubang galilah terus hingga kamu dapatkan air darinya meski amat melelahkan’ (Kitab Tajul ‘Arus). Karenanya ketekunan dan ketelatenan menjadi alat bantu untuk mencapai cita-cita dan harapan yang dikehendakinya. Dan kedua hal itu merupakan pancaran sikap tsabat seseorang.
Tsabat meliputi beberapa aspek yakni: Pertama, Tsabat Ala dinillah, teguh terhadap agama Allah SWT. Keteguhan pada masalah ini dengan tidak menanggalkan agama ini dari dirinya walaupun kematian menjadi ancamannya. Sebagaimana wasiat yang selalu dikumandangkan oleh Khatib Jum’at agar senantiasa menjaga keimanan dan ketaqwaan sehingga mati dalam keadaan muslim. Ini pula yang menjadi wasiat para Nabi kepada keturunannya. “Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya. Demikian pula Ya’kub. ‘Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu. Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. ( Al Baqarah: 132).
Wasiat ini untuk menjadi warning pada kaum muslimin agar tetap memelihara imannya. Jangan mudah tergiur oleh kesenangan dunia lalu mengganti keyakinannya dengan yang lain. Menjual agamanya dengan harga mie instan atau sembako. Atau menukar prinsip hidupnya dengan kemolekan tubuh wanita. Atau ia mau mengganti aqidahnya dengan lowongan kerja dan karirnya. Na’udzu billahi min dzalik.
Kedua, Tsabat Alal Iltizam bidinillah, Tetap komitmen pada ajaran Allah SWT. baik dalam ketaatan maupun saat harus menerima kenyataan hidup. Ia tidak mengeluh atas apa yang menimpa dirinya. Ia tegar menghadapinya. Bangunan komitmennya tidak pernah pudar oleh kenyataan pahit yang dirasakannya. Keluhan dan penyesalan bukanlah solusi. Malah menambah beban hidup. Oleh karena itu keteguhan dan kesabaran menjadi modal untuk menyikapi seluruh permasalahannya. Rasulullah SAW. Bersabda: ‘As Shabr fihim ala dinihi kal qabidh alal jumari’.
Mereka yang menjaga komitmennya pada ajaran Allah senantiasa memandang bahwa apa saja yang diberikan-Nya adalah sesuatu yang baik bagi dirinya. Persepsi ini tidak akan membuat goyah menghadapi pengamalan pahit segetir apapun. Dan sangat mungkin merubahnya menjadi kenangan manis yang patut diabadikan dalam kumpulan album kehidupannya. Sebab segala pengalaman pahit bila mampu diatasi dengan sikap tegar maka ia menjadi bahan nostalgia yang amat mahal.
Ketiga, Tsabat Ala Mabda’ id Dakwah, teguh pada prinsip dakwah yang menjadi rambu-rambu dalam memberikan khidmatnya pada tugas agung ini. Memprioritaskan dakwah atas aktivitas lainnya sehingga dapat memberikan kontribusinya di jalan ini. Tanpa kenal lelah dan henti. Ia selalu terdepan pada pembelaan dakwah. Walau harus menderita karena sikapnya. Ketenangan dan kegusaran hatinya selalu dikaitkan dengan nasib dakwah. Ia tidak akan merasa nyaman bila dakwah dalam ancaman. Karena itu ia berupaya untuk selalu disiplin pada prinsip dakwah ini. Bergeser dari prinsip ini berakibat fatal bagi dakwah dan masa depan umat. Perhatikanlah peristiwa Uhud, Bir Ma’unah dan lainnya. Peristiwa yang amat memilukan dalam sejarah dakwah tersebut di antaranya disebabkan oleh ketidakdisiplinan kader pada prinsip dan rambu dakwah.
5. Izzatu Junudid Da’wah (harga diri seorang kader dakwah)
Saat ini kita memasuki era di mana tantangan dan peluang sama-sama terbuka. Dapat binasa lantaran tidak tahan menghadapi tantangan atau ia berjaya karena mampu membuka pintu peluang seluas-luasnya. Karena itu kita dituntut untuk bersikap tsabat dalam kondisi dan situasi apapun. Senang maupun susah, sempit ataupun lapang. Tidak pernah tergoda oleh bisikan-bisikan kemewahan dan kegemerlapan lalu tertarik padanya dan lari dari jalan dakwah.
Tsabat tidak mengenal waktu dan tempat, dimana pun dan kapan pun. Kita tetap harus mengusung misi dan visi dakwah kita yang suci ini. Untuk menyelamatkan umat manusia dari kehinaan dan kemudaratan. Dengan jiwa tsabat ini kader dakwah memiliki harga diri di mata Allah SWT. maupun di mata musuh-musuhnya. Melalui sikap ini seorang kader lebih istimewa dari pada kebanyakan orang. Dan ia menjadi citra yang tak ternilai harganya.
Imam Hasan Al Banna menegaskan, ‘janganlah kamu merasa kecil diri, lalu kamu samakan dirimu dengan orang lain. Atau kamu tempuh dalam dakwah ini jalan yang bukan jalan kaum mukminin. Atau kamu bandingkan dakwahmu yang cahayanya diambil dari cahaya Allah dan manhajnya diserap dari sunnah Rasul-Nya dengan dakwah-dakwah lainnya yang terbentuk oleh berbagai kepentingan lalu bubar begitu saja dengan berlalunya waktu dan terjadinya berbagai peristiwa. Kuncinya adalah Tsabat dalam jalan dakwah ini’. Kalau begitu bagaimana bangunan tsabat yang kita miliki?. Wallahu ‘alam bishshawwab.
“Duhai pemilik hati, wahai pembolak balik jiwa, teguhkanlah hati dan jiwa kami untuk senantiasa berpegang teguh pada agama-Mu dan ketaatan di jalan-Mu”. (dkwt)