Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah
alhikmah.ac.id – Hukumnya wajib berdasarkan dalil berikut:
Al-Qur’an: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (At-Taubah: 34). Dan yang dimaksudkan emas dan perak di sini adalah uang, karena adanya kalimat وَلَا يُنفقُونها dan yang diinfakkan adalah uang.
As-Sunnah: “Tidak ada seorangpun yang memiliki emas dan perak kemudian tidak membayar haknya, maka pasti di hari kiamat akan dibentangkan untuknya bentangan api, kemudian dipanaskanlah emas peraknya itu di jahannam, kemudian diguyurkan ke lambung, dahi, dan punggungnya. Setiap kali dingin dikembalikan lagi baginya pada hari yang panjang seharinya sekitar lima puluh ribu tahun, sehingga ia diputuskan di antara para hamba, sehingga diketahui jalannya ke surga atau ke neraka.” (Muslim)
Sebagaimana telah disepakati oleh ulama tentang kewajiban zakat dua jenis mata uang ini (emas dan perak) di sepanjang masa. Dan di antara hikmahnya adalah mendorong perputaran harta dan pengembangannya sehingga tidak habis dimakan zakat.
Persentasenya
Emas dan perak zakatnya sebesar 2,5 % sesuai dengan hadits Rasulullah saw: “Dalam riqqah ada zakatnya seperempatnya sepersepuluh”. Riqqah adalah uang dari perak. Hikamah keringanan prosentase zakat ini adalah karena zakat emas dan perak diwajibkan pada modal bersama dengan keuntungan, meskipun tidak beruntung. Dan tidak hanya pada keuntungan saja.
Nishab uang
Nishab perak sebesar 200 dirham, tanpa ada perbedaan pendapat, sesuai dengan hadits Rasulullah saw., “Tidak wajib zakat bagi waraq yang kurang dari 5 wiqyah.” (Muslim. Al-waraq adalah uang dirham yang menjadi alat tukar, dan 1 wiqyah berjumlah 40 dirham).
Sedangkan nishab emas berjumlah 20 dinar, atau 20 mitsqal, seperti pendapat jumhurul ulama, termasuk empat madzhab, bersandar pada beberapa hadits dan atsar yang saling menguatkan satu dengan yang lain. Demikian juga ijma’ sahabat dan orang-orang sesudahnya. Di antara hadits yang menjadi pegangan adalah hadits Ali bin Abi Thalib r.a., ” Jika kamu memiliki 200 dirham dan sudah melewati masa satu tahun, maka wajib mengeluarkan zakatnya 5 dirham. Dan kamu tidak wajib zakat emas sehingga berjumlah 20 dinar. Jika kamu memiliki 20 dinar dan sudah melewati masa satu tahun, maka wajib mengeluarkan zakatnya setengah dinar.” (Abu Daud, dan disahihkan oleh Ibnu Hazm, dan meng-hasan-kannya Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram). Dr. Yusuf Qardhawi men-tahaqiq- dalam bukunya Fiqhuzzakat nilai dirham dan dinar syar’i dengan ukuran modern, seperti ini: 1 Dirham = 2,975 gr, 1 dinar = 4,25 gr. Dari data ini, maka nishab perak sebesar: 2,975 x 200 = 595 gr dan nishab emas: 4,25 x 20 = 85 gr.
Uang Kertas
Uang kertas hari ini telah memainkan peran emas dan perak di masa lalu, maka sangat logis ketika zakat dianalogikan seperti kewajibannya dengan emas dan perak, karena telah menggantikan peran keduanya. Para ulama modern dari berbagai madzhab telah bersepakat tentang hal ini, meskipun berbeda pendapat tentang cara pelaksanaan zakat uang ini.
Syarat wajib zakat
1. Telah mencapai satu nishab pada seorang pemilik.
2. Telah melewati masa satu tahun, maka uang dikeluarkan zakatnya setahun sekali.
3. Setelah membayar hutang. Sebab, jika habis atau berkurang untuk membayar hutang, maka tidak wajib zakat.
4. Telah lebih dari kebutuhan pokok. “Sebab tidak wajib zakat kecuali dari orang kaya.”
Zakat Perhiasan dan Perabotan
1. Perabotan, benda antik, patung emas dan perak hukumnya haram. Walau demikian tetap diwajibkan zakat ketika sudah mencapai satu nishab menurut timbangannya atau nilainya.
2. Perhiasan bagi laki-laki, hukumnya haram kecuali cincin perak, tetapi jika sudah mencapai satu nishab maka diwajibkan zakat.
3. Perhiasan wanita yang terbuat dari permata dan mutiara, selain emas dan perak hukumnya mubah dan tidak wajib zakat. Karena tidak merupakan harta berkembang, dan hanya untuk konsumsi pribadi.
4. Sedangkan perhiasan wanita yang terbuat dari emas dan perak hukumnya mubah, dan untuk zakatnya ada dua pendapat:
- Menurut Madzhab Abu Hanifah dan Al-Auza’iy dan Ats-Tsauriy, perhiasan wanita yang terbuat dari emas dan perak wajib membayar zakat, berdasarkan pemahaman umum tentang emas dan perak, dan juga sebagian atsar yang ada tentang zakat perhiasan. Di antaranya hadits Ummu Salamah, “Saya pernah memakai perhiasan emas, lalu aku bertanya: Ya Rasulallah, apakah ia termasuk simpanan?” Rasulullah menjawab, “jika sudah mencapai nishabnya dan dikeluarkan zakatnya, maka tidak termasuk simpanan.” (Abu Daud)
- Menurut Madzhab Malik, Ahmad, dan Asy Syafi’i, perhiasan wanita tidak wajib zakat karena tidak ada nash dan tidak merupakan harta berkembang. Juga karena ada riwayat Imam Malik bahwa Aisyah r.a., isteri Rasulullah saw., bersama putri saudaranya di kamarnya yang mengenakan perhiasan dan tidak mengerluarkan zakatnya. (Al-Muwaththa’)
Perlu ditegaskan di sini bahwa perhiasan di zaman sekarang ini telah menjadi salah satu bentuk simpanan, maka wajib zakat karena kondisi ini. Sebab, maksud utama zakat itu karena adanya pemanfaatan harta seperti perhiasan dan keindahan. Sebagaimana jika melampaui batas kewajaran, maka akan masuk ke sikap berlebihan yang hukumnya haram. Batas berlebihan sangat relatif sesuai dengan kondisi seseorang dan masyarakat di sekitarnya. (dkwt)