Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah
alhikmah.ac.id – Zakat tanaman dan buah-buahan diwajibkan berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
- Al Qur’an,
يأيهاالدين ءامنوا أنفقوا من طيبت ما كسبتم ومما أخرخنا لكم من الارض ولا تيمموا الخبيث منه تنفقون ولستم بأخديه الا أنتغوا فيه واعلموا أنالله غني حميد
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Al-Baqarah: 267)
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-An’am: 141)
Para ahli tafsir mengatakan bahwa “Al-Haq” yang dimaksudkan di sini adalah zakat wajib. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah: Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Al Hasan Al Bashriy, Said bin Musayyib, Muhammad bin Al-Hanafiyah, Thawus, Qatadah, Adh-Dhahhak, At-Tabariy, Al-Qurthubi, dan Ibnu Katsir.
- Al Hadits
Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Nabi Muhammad saw. Bersabda, “Tanaman yang disiram dengan air hujan dan mata air atau disiram dengan aliran sungai, maka zakatnya sepersepuluh. Sedangkan yang disirami dengan ditimba maka zakatnya seperduapuluh.” (Al-Jama’ah kecuali Imam Muslim)
Dari Jabir r.a. dari Nabi Muhammad saw., “… tanaman yang disiram dengan air sungai sungai dan mendung zakatnya sepersepuluh, dan yang disiram dengan air timba zakatnya seperduapuluh (nishful usyur).” (Ahmad, Muslim, An-Nasa’i, dan Abu Daud).
Banyak lagi hadits lain yang menentukan batas nishab.
Hasil-hasil pertanian yang wajib zakat
Zakat sepersepuluh atau seperduapuluh itu wajib dikeluarkan dari seluruh tanaman yang diharapkan untuk pemanfaatan dan peningkatan nilai tanah, menurut Abu Hanifah, Daud Azh-Zhahiriy, Umar bin Abdul Aziz, Mujahid, dan Hammad bin Abi Sulaiman. Dalilnya:
- Firman Allah swt., “… dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Al-Baqarah: 267)
- Hadits Rasulullah saw., “Tanaman yang disiram dengan air hujan dan mata air atau disiram dengan aliran sungai, maka zakatnya sepersepuluh. Sedangkan yang disirami dengan ditimba, maka zakatnya seperduapuluh.” (Al-Jama’ah kecuali Imam Muslim)
Tanpa dibedakan antara satu jenis tanaman dengan tanaman lainnya. Ibnu Al Arabiy, seorang ulama Maliki menguatkan pendapat Abu Hanifah ini.[1] Dan mencantumkan dalil-dalil madzhab lain, kemudian memberikan jawaban dalam kitabnya “Ahkamul Qur’an” dan dalam syarahnya terhadap hadits At-Tirmidziy.
Nishab tanaman dan buah-buahan
Nishab zakat tanaman dan buah-buahan adalah sebesar lima wisq, sesuai dengan hadits Rasulullah saw., “Yang kurang dari lima wisq tidak wajib zakat.” (muttafaq alaih)
Pendapat ini adalah pendapat jumhurul ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in serta ulama berikutnya, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni.
Satu wisq = 60 sha’. Dan satu sha’ menurut ukuran Madinah adalah 4 mud. Satu mud adalah sepenuh dua telapan tangan orang dewasa ukuran sedang ketika menjulurkan tangannya.
Satu sha’ ukuran Madinah atau 4 mud itu adalah 5 rithl dan sepertiganya, sekitar 2176 gr. Maka satu nishab itu adalah: 300 sha’ x 2176 = 652,8 kg
Lima wisq = 300 sha’= + 653 kg
Persentasenya
- Sepersepuluh jika disiram tanpa biaya (dengan air hujan atau air sungai yang dialirkan).
- Seperduapuluh (nishful usyur) jika disiram dengan biaya.
- Jika setengah tahun disiram dengan tanpa biaya dan setengah tahun lainnya disiram dengan biaya maka zakatnya ¾ dari sepersepuluh. Jika disiram lebih banyak menggunakan salah satu sarananya, maka diperhitungkan dengan yang lebih banyak itu, atau dengan persentase yang memudahkannya.
- Diperkirakan dengan taksiran, yaitu jika buah sudah mulai tampak kualitasnya, maka penaksir memperkirakan buah anggur dan kurma itu untuk menentukan besaran zakat yang harus dikeluarkan, setelah itu pemilik kurma dan anggur itu dapat mempergunakan buahnya sesuka hati, dengan tetap menjamin zakat yang harus ia keluarkan. Cara ini akan meringankan pemilik harta, dan sekaligus melindungi hak fakir miskin. Cara ini diperbolehkan oleh jumhurul ulama. Berbeda dengan Abu Hanifah yang menganggap taksiran itu sebagai dugaan semata yang tidak dapat dijadikan sebagai patokan hukum.
Dan karena perkiraan perhitungan itu, pemilik tanaman menghitung biaya produksi untuk dikeluarkan dari hasil yang diperoleh, baik biaya itu dari hutang atau uang sendiri, sebagaimana ia menguranginya dengan hutang yang menjadi kewajibannya. Maka, jika sisa hasil panen itu mencapai satu nishab, setelah pengurangan ini, baru mengeluarkan zakat. Yang tidak boleh dimasukkan dalam pengurangan biaya itu adalah biaya penyiraman yang sudah masuk dalam hitungan seperduapuluh. Demikianlah pendapat Ibnu Al-Arabi, dalam Syarah At Tirmidzi. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i tidak ada pengurangan karena biaya dan hutang.
Zakat tanah yang disewakan
Ketika pemilik tanah menyerahkan tanahnya untuk ditanami dengan imbalan persentase tertentu dari hasil panen seperti 1/3, ¼ atau ½-nya, maka zakat menjadi kewajiban keduanya. Masing-masing berkewajiban zakat sesuai dengan hasil yang didapat ketika sudah mencapai satu nishab.
Sedangkan jika pemilik tanah menyerahkan tanahnya untuk ditanami dengan pembayaran harga tertentu (misalnya disewakan berapa rupiah semusim tanam atau setahun), maka siapakah yang mengeluarkan zakatnya? Pemilik tanah atau petani?
Madzhab Abu Hanifah mengatakan bahwa yang mengeluarkan zakat adalah pemilik tanah. Madzhabul jumhur berpendapat bahwa yang mengeluarkan zakat adalah petani. Bisa juga keduanya mengeluarkan zakat sesuai dengan hasil dari tanah yang dimanfaatkan. Pemilik tanah berzakat dari sewa tanah yang diperoleh, dan petani berzakat dari hasil yang diperoleh setelah dikurangi biaya produksi, termasuk biaya sewa tanah. Dengan cara itu zakat telah dikeluarkan dengan sempurna dari seluruh hasil tanah.
Catatan Kaki:
[1] Madzhab Malik dan As-Syafi’i berpendapat bahwa zakat itu wajib dikeluarkan dari tanaman yang dijadikan makanan pokok, dan bisa disimpan. Menurutnya tidak wajib zakat untuk semua jenis buah-buahan, pisang, kelapa, dan sejenisnya. Menurut madzhab Imam Ahmad bahwa zakat buah itu wajib dikeluarkan untuksemua buah yang bisa ditimbang/ditakar, awet, dan kering. Makanan pokok tidak menjadi syarat. Tidak wajib zakat pula pada buah-buahan seperti apel, atau sayur mayur seperti terong, kacang dan timun. (dkwt)